August 10, 2024

Menanti Jalan Progresif Demokrasi, Dapatkah Cakada Berstatus Tersangka Didiskualifikasi?

Empat calon kepala daerah (cakada) di Pilkada 2018 tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT) dan dua cakada lainnya ditetapkan sebagai tersangka karena pengembangan kasus korupsi. Maraknya cakada bermasalah integritas menodai proses demokrasi lokal karena membuktikan setidaknya dua hal. Pertama, bahwa partai politik gagal melakukan proses rekrutmen cakada yang baik dan benar. Kedua, tiadanya aturan yang cukup untuk menyelamatkan kepentingan pemilih untuk mendapatkan calon pemimpin dengan kualitas standar tinggi.

Kehadiran solusi progresif dibutuhkan.

Pengalaman di 2017

“Sejarah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak seorang pun pernah mempertanyakan,” kata Leo Tolstoy, sastrawan Rusia abad ke-19. Sejarah umpama bank realitas yang dapat dipanggil sewaktu-waktu untuk memberikan pelajaran terhadap waktu kini.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan bahwa para pemangku kebijakan dalam situasi saat ini perlu berkaca dari Pilkada 2017 guna menentukan jalan keluar progresif bagi permasalahan demokrasi yang ditimbulkan akibat tetap majunya cakada berstatus tersangka di Pilkada 2018.

Di Pilkada 2017, ada enam calon tersandung hukum. Satu, Ahmad Marzuki, petahana Bupati Jepara yang diduga menyelewengkan dana bantuan partai politik (banparpol) tahun 2011-2012. Status tersangka Marzuki dibatalkan melalui proses praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. Kasus Marzuki tak menghalangi dirinya mempertahankan kursi Jepara 1.  Marzuki, sang tersangka, menang Pilkada.

Dua, Burhanuddin, petahana calon bupati (cabup) Takalar. Burhan ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penjualan tanah negara. Status tersangka mengubur impian Burhan.

Tiga, Samsu Umar Abdul Samiun, cabup Buton. Meski terkait dalam skandal suap hakim Mahkamah Konstitusi, Aqil Mochtar, Samsu memenangkan Pilkada melawan kotak kosong. Namun, kemenangan tipis dengan selisih 5 persen dari kotak kosong menunjukkan bahwa Samsu tak memegang legitimasi kuat dari rakyat.

“Ini angka kemenangan paling rendah di Pilkada paslon (pasangan calon) tunggal. Jadi, dia memang menang di atas kertas, tapi secara legitimasi dia kalah,” ujar Titi pada diskusi “Penetapan Status Tersangka Calon Kepala Daerah: Menimbang Perppu Usulan KPK” di Media Center Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Menteng, Jakarta Pusat (16/4).

Samsu dilantik dalam statusnya sebagai tersangka, divonis bersalah pada 29 September 2017, dan resmi diberhentikan pada 29 Maret 2018. Wakilnya, Bakrie, menduduki kursi Samsu sebagai Bupati Buton.

Empat, Atty Suharti, petahana Wali Kota Cimahi. Tersangka dugaan suap tender proyek pembangunan pasar ini kalah di Pilkada Cimahi 2017. Atty ditahan KPK pada 2 Desember 2016.

Lima, Basuki Tjahaya Purnama, tersangka kasus penghinaan agama. Basuki kalah di Pilkada DKI Jakarta 2017.

Enam, Ahmad Dhani, calon bupati Bekasi. Musisi terkenal Indonesia ini menjadi tersangka kasus penghinaan presiden dan kalah di Pemilihan Bupati (Pilbup) Bekasi.

Dari enam calon bersatus tersangka di Pilkada 2017, hanya dua calon yang memenangkan Pilkada. Satu menang dan kasusnya diberhentikan oleh PN Semarang, dan satu calon lain menang tipis namun terbukti bersalah. Kasus Samsu menjadi peristiwa unik dalam sejarah Pilkada Indonesia dimana calon berstatus hukum yang menang dilantik untuk dinonaktifkan segera.

“Jadi, situasi-situasi seperti ini sudah kita alami sebelumnya. Ada calon berstatus tersangka, dia menang, lalu terbukti dia bersalah, dan dilantik di Hotel Prodeo. Di Pilkada 2018, apa akan terulang hal yang sama? Padahal, kasus seperti ini mencoreng wajah demokrasi kita,” kata Titi.

Realitas kekinian terbentur pasal-pasal di Undang-Undang (UU) Pilkada

Titi berpendapat bahwa Pasal 53 UU No.8/2015 yang mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik dilarang menarik paslon dan paslon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkannya ia sebagai paslon oleh KPU, telah kehilangan maknanya dalam konteks kekinian. Pasal tersebut menjadi batu penghalang bagi para pihak yang ingin mencari jalan keluar.

“Dulu, pasal ini hadir untuk melindungi pemilih dari dinamika politik di internal partai. Takutnya ada cekcok di internal partai sehingga ketua partai ingin mengganti paslon. Jadi, itu positif dulu awalnya. Pasal ini tidak berpikir jauh bahwa akan ada situasi lain kalau calon Pilkada akan ada yang kena OTT,” jelas Titi.

Aturan bertambah pelik dengan hadirnya pasal pidana sebagai sanksi penarikan dukungan dan pengunduran diri. Pasal 191 menyatakan, ganjaran perbuatan melanggar tersebut adalah penjara minimal 24 bulan dan maksimal 60 bulan dan denda minimal 25 miliar rupiah dan maksimal 50 miliar rupiah.

“Nah ini yang jadi asal mula sengkarut situsi saat ini. Siapa yang mau denda sih? Jadi partai berdalih lebih baik gak usah mundur. Ini yang jadi hambatan ketika calon ditahan karena menjadi tersangka,” tukas Titi.

Mencari jalan progresif agar Pilkada menghasilkan pemimpin berkualitas

Titi menawarkan tafsir progresif terhadap Pasal 78 ayat 1 yang berbunyi, “Penggantian bakal calon atau calon dapat dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik atau calon perseorangan, dalam hal dinyatakan tidak memenuhi syarat kesehatan, berhalangan tetap, atau dijatuhi hukuman pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.” Menurutnya, frasa “berhalangan tetap” dapat ditujukan kepada cakada yang ditetapkan sebagai tersangka karena yang bersangkutan tak dapat menjalankan kewajiban kampanye sebab berada di dalam tahanan.

“Paslon ditahan KPK, dia gak menjalankan tugasnya sebagai paslon untuk kampanye. Bisa dong dikatakan berhalangan tetap? Frasa ini terbuka untuk ditafsirkan ulang, seperti KPU yang menerjemahkan berhalangan tetap di PKPU No.15/2017 jika paslon dinyatakan TMS (tidak memenuhi syarat) kesehatan,” ucap Titi.

Titi berpendapat, diredefinisikannya berhalangan tetap melalui revisi PKPU No.15/2017 dengan memasukkan status tersangka sebagai berhalangan tetap dapat dilakukan untuk melindungi kepentingan pemilih. Prinsipnya, Pilkada harus menghasilkan pemimpin terbaik yang memiliki integritas.

“Jika tidak ditafsirkan ulang, ada masalah-masalah demokrasi yang muncul. Pemilih diajukan calon bermasalah integritas. Demokrasi Indonesia tercoreng. Lalu partai juga tersandera karena tertangkapnya paslon usungan mereka dalam OTT membuat mereka dilabeli sebagai partai pengusung koruptor,” tandas Titi.

Lebih progresif dari gagasan pertama, Titi dan Direktur Eksekutif Komite Pemantau Legislatif (Kopel), Syamsuddin Alimsyah, mengajukan solusi kedua, yakni mendiskualifikasi calon yang berstatus tersangka karena OTT. OTT bukan peristiwa kebetulan, melainkan perilaku tak berintegritas yang apesnya ketahuan oleh penegak hukum. OTT merupakan bukti bahwa calon tak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah.

“Bagi saya, sosok tersangka, terutama yang terjaring OTT, sudah tidak bisa maju. Ini soal integritas. Memang ada asas praduga tak bersalah, tapi itu wilayah penegakan hukum. Di ranah Pilkada, kita ingin kepala daerah yang berintegritas. Sekarang ini, sudah ada dua alat bukti bahwa mereka melakukan tindakan tidak bermoral secara hukum,” tegas Syam pada diskusi yang sama.

Syam juga mengutarakan bahwa para pemangku kebijakan mesti menerima sinyal yang diberikan oleh KPK soal gagasan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Anomali sikap KPK  dimaknai oleh Syam sebagai pembacaan situasi oleh KPK yang telah mengetahui adanya calon-calon kepala daerah yang akan menyusul enam cakada yang telah ditangkap.

Pendapat Ketua KPU RI

Gagasan revisi PKPU No.15/2017 untuk memasukkan status tersangka ke dalam kategori berhalangan tetap ditolak oleh Ketua KPU RI, Arief Budiman. Arief berpendapat, status tersangka dapat bermuara kepada dua keputusan, yakni bersalah atau tidak bersalah. KPU mesti berpegang pada asas praduga tak bersalah sekalipun KPU meyakini status tersangka yang ditetapkan oleh KPK berdasarkan pada fakta hukum yang kuat.

“Rasa-rasanya tidak ada ruang untuk itu. Karena tersangka itu selalu ada prinsip asas praduga tak bersalah. Bukan tidak mungkin misal di praperadilan, dan ada fakta juga kasus yang ditangani KPK, kemudian si tersangka menang,” terang Arief.

Selain itu, Arief juga enggan memperbolehkan calon tersandung hukum dapat diganti oleh partai atau gabungan partai. Arief ingin menjadikan kasus ini sebagai pelajaran sekaligus hukuman kepada terutama partai politik, agar tak main-main dalam mengusung calon.

“Biarkan ini jadi pelajaran agar mereka (partai) tidak sembarang mencalonkan orang. Kalau karena OTT partai bisa mengganti calon, nanti partai justru menganggap kasus ini sebagai kasus yang tidak serius. Mereka akan berpikir, gak papa, kalau OTT kan bisa diganti,” kata Arief.

Arief menunjukkan bahwa ia cenderung lebih setuju jika calon yang ditetapkan sebagai tersangka didiskualifikasi, dan bukan dapat diganti. Hal ini memberikan pelajaran lebih jera kepada partai politik. Namun, sanksi diskualifikasi tak dapat diterapkan di Pilkada 2018.

“Kalau mau melindungi semuanya, peraturan mesti lebih ketat, bisa diskualifikasi. Tapi, tidak bisa diterapkan sekarang. Ini masukan untuk regulasi kita ke depan. Diskualifikasi ini bagus biar  lebih ketat nanti di Pilkada selanjutnya,” ujar Arief.

Pertaruhan Pilkada berbiaya besar ada pada hasil atau pemimpin untuk pemilih. KPU bertugas untuk mengedepankan kepentingan pemilih.