Belum ada yang berubah dari pelaksanaan kampanye pemilihan kepala daerah gelombang ketiga saat ini. Kampanye terkesan biasabiasa saja dan tidak ada sesuatu yang membuat publik ingin terlibat.

Begitu juga dengan gagasan dan ide yang ditawarkan juga tidak ada yang istimewa. Malah pasangan calon lebih banyak memilih kampanye tanpa dialog dan diskusi dengan masyarakat sebagai pemilih. Belum lagi masalah debat calon kepala daerah yang diselenggarakan dan disiarkan di berbagai media massa terkesan formal dan basa-basi.

Dapat dikatakan kampanye pilkada belum dimanfaatkan dengan maksimal oleh setiap pasangan calon untuk menyerap aspirasi masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah.  Malah yang terjadi dalam banyak kesempatan, tim pemenangan calon kepala daerah malah mengumpulkan masyarakat hanya untuk mendengar ceramah dari calon kepala daerah.

Tidak adanya perubahan metode dan substansi kampanye pilkada dari waktu ke waktu menimbulkan pertanyaan: apakah kampanye dalam pilkada ini masih relevan dilaksanakan?

Tujuan kampanye

Dalam realitanya kampanye dalam sebuah pemilihan memiliki tujuan yang sangat ideal, yaitu mendekatkan hubungan antara calon kepala daerah dan pemilihnya melalui pertukaran informasi dan pengetahuan sesuai posisi masing-masing. Dalam kampanye, publik akan tahu bagaimana sosok calon kepala daerah yang akan mereka pilih. Pengetahuan itu tidak hanya menyangkut bagaimana pemikiran calon kepala daerah terkait dengan program dan kegiatan pemerintahan yang akan dilaksanakan, tetapi juga bagaimana kemampuan calon meyakinkan pemilih.

Kampanye juga bertujuan membangun komitmen bersama antara calon dan masyarakat untuk melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat. Karena itu, dalam kampanye ada komitmen-komitmen yang terbangun sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kampanye tidak hanya membutuhkan kandidat yang punya gagasan cerdas terhadap persoalan di daerah, tetapi juga masyarakat akan memahami fungsi kepala daerah dalam kehidupan mereka.

Sayangnya kampanye hari ini tidak lebih sebagai pelengkap tahapan pelaksanaan pilkada. Banyak calon kepala daerah justru mengabaikan aspek ini sehingga pilihan kampanye yang dilakukan justru meninggalkan suasana dialogis dan bagaimana membangun ikatan psikologis dengan pemilihnya. Justru yang banyak terlihat adalah tim pemenangan yang sibuk memasang baliho dan spanduk di pemukiman penduduk. Tidak ada pesan politik khusus yang disampaikan untuk masyarakat kecuali hanya gambar pasangan calon yang sedang tersenyum dan berharap mendapatkan simpati masyarakat.

Oleh karena itu, bisa dikatakan tidak banyak pembelajaran yang dapat diambil dari proses kampanye yang dilakukan oleh kandidat kepala daerah saat ini. Apalagi pilkada di daerah kabupaten yang terbatas akses informasi terkait aktivitas politik dan pemerintahan. Di sini justru yang terlihat adalah pelaksanaan kampanye yang jauh dari kualitas sebuah proses demokrasi yang diharapkan bisa mencerdaskan masyarakat.  Kampanye politik di daerah cenderung bersifat mobilisasi, sementara substansi materinya tidak lebih adalah doktrin kepada masyarakat untuk memilih pasangan calon tertentu.

Keadaan ini diperburuk oleh kemampuan calon kepala daerah dalam meyakinkan masyarakat kelas bawah.  Begitu juga dengan tim kampanye pasangan calon yang terjebak praktik kampanye hitam dengan menyerang kandidat lain dengan informasi palsu dan kabar bohong untuk mengendalikan persepsi pemilih.  Tujuannya agar persepsi yang diterima masyarakat yang akan memilih calon tertentu berubah jadi kebencian dan sikap bermusuhan.

Pembelajaran politik

Itulah sebabnya mengapa pilkada yang dilaksanakan dari waktu ke waktu tidak mengalami perubahan yang berarti bagi perbaikan kualitas demokrasi di daerah.  Dari sisi kampanye politik yang dilaksanakan saja sudah dapat diketahui ada persoalan yang mendasar dengan pendidikan politik di negeri ini.  Jelas hal ini tidak hanya masalah pendidikan politik publik, tetapi juga masalah pendidikan politik elite yang ternyata juga belum siap menjadi pemimpin publik.

Memang banyak cara dalam melakukan kampanye tersebut, termasuk memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi.  Bahkan, kecenderungan sekarang kampanye dengan menggunakan media sosial menjadi pilihan semua calon.  Dalam kampanye pilkada yang menggunakan teknologi komunikasi dan informasi akan sulit diketahui kejujuran dan ketulusan terkait apa yang disampaikan calon kepala daerah.

Kampanye dialogis

Kampanye dengan cara konvensional tidak akan hilang begitu saja.  Dialog yang dilakukan antara calon kepala daerah dengan calon pemilih tetap penting dalam demokrasi langsung yang dilaksanakan.  Justru dengan dialog ini akan diketahui aspek kejujuran dan ketulusan calon kepala daerah ketika memimpin nantinya.

Di sinilah aspek pembelajaran politik dalam kampanye tersebut berlangsung.  Apakah calon kepala daerah yang mendatangi mereka berkata jujur dan berbuat tulus kepada masyarakat ataukah sekadar basa-basi politik saja untuk mendapatkan dukungan mereka?

Melihat kecenderungan ini tentu harus ada upaya perbaikan dalam tahapan kampanye politik yang dilakukan para calon kepala daerah.  Para pemangku kepentingan seperti partai politik, KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara perlu memberi perhatian pada tahapan kampanye ini agar tak sekadar jadi ritual pilkada saja.

Paling tidak ada kita berharap melalui kampanye yang berkualitas akan ada perubahan sikap politik masyarakat ke arah yang lebih baik setelah mengikuti kampanye tersebut.  Dengan begitu, motivasi masyarakat sebagai aktor akan semakin meningkat mengikuti aktivitas politik, dan tentunya menjadi pemilih yang cerdas dalam menerima setiap informasi yang datang kepadanya.

Asrinaldi A, Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 11 April 2018 di halaman 7 dengan judul “Kualitas Kampanye Pilkada”. https://kompas.id/baca/opini/2018/04/11/kualitas-kampanye-pilkada/