JAKARTA, KOMPAS — Hampir 50 persen anggota DPR yang selama ini diproses hukum oleh KPK telah menjadi anggota legislatif lebih dari satu periode. Korupsi yang mereka lakukan umumnya berupa suap.
Berdasarkan data dari KPK, ada 65 anggota DPR dari periode 1999-2019 yang telah diproses hukum oleh KPK. Dari jumlah itu, 30 orang terpilih sebagai wakil rakyat tidak hanya sekali.
Terakhir, KPK menetapkan anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Amin Santono, sebagai tersangka suap terkait usulan Dana Perimbangan Keuangan Daerah pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun 2018. Amin menjabat sebagai anggota DPR sejak periode 2009-2014.
Selain Amin, juga ditangkap Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permukiman Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Yaya Purnomo serta dua pihak swasta, yaitu Eka Kamaluddin dan Ahmad Ghaist.
Terkait kasus ini, Partai Demokrat memberhentikan Amin dari keanggotaan di Partai Demokrat dan di DPR.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Minggu (6/5/2018), dalam pesannya kepada Kompas juga menegaskan segera membebastugaskan Yaya Purnomo. Penangkapan Amin dan Yaya merupakan hasil kerja sama antara KPK dan Inspektorat Jenderal Kemenkeu.
Penasihat KPK, Mohammad Tsani Annafari, mengatakan, potensi korupsi di bidang anggaran, seperti yang terjadi dalam kasus Amin, di ataranya disebabkan adanya kelemahan di sistem. Perbaikan mendesak dilakukan dengan menerapkan sistem elektronik dalam perencanaan (e-planning) dan penganggaran (e-budgeting). ”E-planning dan e-budgetingmerupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas yang dapat digunakan untuk pencegahan,” ujar Tsani.
Saat ini, KPK terus membahas skema e-planning dan e-budgeting dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BPPN, Kementerian Dalam Negeri, dan Kemenkeu.
Partai politik
Perbaikan juga mendesak dilakukan di partai politik, terutama dalam seleksi anggota legislatif. Pasalnya, korupsi yang dilakukan anggota DPR ini tidak bisa dilepaskan dari parpol.
”Jangan partai menerima dan kemudian menyodorkan nama-nama yang pernah terkait dengan kasus korupsi untuk maju sebagai calon. Jika tetap mengusung nama-nama dengan rekam jejak yang kotor, publik bisa kembali mempertanyakan keberpihakan partai kepada upaya pemberantasan korupsi,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch, Almas Sjafrina.
LAS/IAN/BOW
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 7 Mei 2018 di halaman 3 dengan judul “Petahana Rawan Korupsi”. https://kompas.id/baca/polhuk/2018/05/07/petahana-rawan-korupsi/