Politik uang masih tetap menjadi ancaman dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak jilid tiga. Jumlahnya makin banyak menjelang hari pemungutan suara.
Politik uang merupakan istilah khas Indonesia untuk menerangkan semua jenis perilaku korupsi dalam pemilu, dari korupsi politik hingga klientelisme, dan dari vote buying hingga kecurangan (Daniel Bumke: 2001). Dalam aturan mengenai pilkada, politik uang dikaitkan dengan jual-beli suara. Pasal 73 Ayat (1) UU No 10/2016 menjelaskan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.
Awalnya politik uang identik dengan ”serangan fajar” mengacu pada pembagian uang yang dilakukan malam hingga waktu subuh pada hari pemungutan suara. Selanjutnya muncul istilah politik uang ”pascabayar”, menyusul perubahan modus pembagian uang atau barang. Jika sebelumnya diberikan di awal, dalam modus baru dilakukan setelah pemungutan suara. Agar dapat kompensasi, pemilih yang harus membuktikan telah memilih calon kepala daerah dengan menunjukan foto kertas suara yang telah dicoblos.
Penyelenggara dan organisasi masyarakat sipil pun bukan tanpa upaya untuk memerangi politik uang. Mulai dari memperkuat aturan, menggencarkan sosialisasi mengenai bahaya dan sanksi bagi pemberi maupun penerima, hingga mengajak calon kepala daerah membuat komitmen bersama atau fakta integritas agar berkompetisi secara adil dan jujur. Namun, nyatanya, politik uang tetap mewarnai penyelenggaraan pilkada.
Beberapa hasil survei menunjukkan bahwa uang masih berpengaruh bagi pemilih dalam menentukan pilihan. Survei LSI Denny JA pada Pilgub DKI Jakarta 2017 memperlihatkan 47,8 persen pemilih terpengaruh politik uang (https://megapolitan.kompas.com/read/2017/ 02/10). Begitu pula survei Indo Barometer di Pilgub Banten 2017. Sebanyak 45,6 persen mengaku akan menerima politik uang dan memilih calon yang memberi uang/barang tersebut.
Makelar suara
Tidak ada calon kepala daerah atau tim sukses resmi yang ”nekat” melakukan politik uang. Selain mudah dikenali lawan politik, risikonya juga besar. Apabila terbukti melakukan politik uang, pencalonannya bisa dibatalkan. Karena itu, ”tugas kotor” tersebut dikerjakan makelar suara.
Pada dasarnya makelar suara merupakan tim sukses bayangan. Tugas utama mereka memengaruhi pemilih umumnya dengan cara-cara tidak halal, seperti politik uang atau intimidasi. Karena itu, nama mereka tidak didaftarkan secara resmi di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Makelar suara bisa individu atau kelompok yang berasal dari berbagai kalangan. Umumnya memiliki jaringan dan pengaruh luas di masyarakat, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, pengusaha lokal, aktivis, hingga organisasi perangkat daerah dan perangkat desa, seperti kepala desa hingga pengurus rukun tetangga/rukun warga (RT/RW).
Peran dan posisi makelar suara sangat strategis. Dari sisi keamanan, mereka tidak terkait secara formal dengan calon atau tim sukses resmi. Hal tersebut membuat calon kepala daerah tetap aman sekalipun makelar tertangkap dan terbukti melakukan politik uang.
Dari sisi strategi pemenangan, mereka merupakan penyedia peta dan informasi mengenai pemilih yang dibutuhkan tim sukses untuk memudahkan intervensi dan mobilisasi logistik. Selain itu, makelar suara bisa mengamankan distribusi uang atau barang kepada pemilih sehingga lebih terkendali, cepat, dan tepat sasaran. Terakhir, peran penting makelar suara adalah memastikan agar pemilih memberikan suaranya untuk calon kepala daerah yang mereka usung.
Melawan politik uang
Politik uang berdampak buruk bagi penyelenggaraan pilkada, pemilih, dan sekaligus masa depan daerah. Persaingan antarcalon jadi tidak adil, pemilih dibuat makin pragmatis, dan calon yang menang karena politik uang berpotensi melanjutkan kecurangannya dengan menyalahgunakan kewenangan ketika berkuasa.
Memperberat sanksi merupakan langkah maju karena dapat membuat takut calon dan tim sukses. Namun, efek jera dari rasa takut tidak akan muncul apabila tidak ada yang dihukum karena sulitnya pembuktian. Artinya, harus ada upaya untuk memperkuat pengawasan.
Praktik politik uang sama seperti suap yang proses pembuktiannya rumit. Pemberi dan penerima sama-sama berkepentingan untuk menutupi perbuatan mereka sehingga kerap tidak meninggalkan jejak.
Karena itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dapat memaksimalkan kerja sama dengan aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga-lembaga tersebut memiliki banyak instrumen dan keahlian dalam mengungkap kasus-kasus suap. Pun mesti mendorong sebanyak mungkin anggota masyarakat agar menjadi ”agen” pengawasan. Kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial, dan keagamaan jadi hal penting. Semakin banyak yang turut mengawasi, semakin sulit makelar suara menjalankan aksinya.
Dari sisi hulu, sumber logistik politik uang harus dipotong. Sejatinya aturan pembatasan sumbangan, pelarangan sumbangan dari sumber tertentu, dan kewajiban melaporkan dana kampanye bisa membatasi calon kepala daerah menggunakan cara- cara haram agar menang seperti politik uang. Namun, sayang, aturan tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal. Laporan dana kampanye terkesan hanya urusan administrasi.
Calon kepala daerah dan tim sukses bisa dengan leluasa memanipulasi laporan pendapatan dan belanja kampanye. Akibatnya laporan dana kampanye tidak mencerminkan kondisi transaksi yang sebenarnya. Apalagi audit oleh kantor akuntan publik hanya menitikberatkan pada aspek kepatuhan dalam penyajian laporan.
Calon kepala daerah harus dipaksa mencatat dan melaporkan dana kampanye secara jujur dan terbuka. Caranya dengan mendorong audit investigatif atas laporan dana kampanye. Calon yang terbukti melakukan manipulasi atau tidak mencatatkan semua transaksi keuangan diberi sanksi berat, seperti dibatalkan pencalonan atau kemenangannya.
Terakhir, yang tidak kalah penting adalah pendidikan kepada masyarakat. Bukan hanya menjelaskan sanksi pidana bagi penerima politik uang, tetapi juga yang utama menjadikan pilkada sebagai bagian dari upaya melawan korupsi dan mewujudkan kesejahteraan. Karena itu, imbauan menolak politik uang harus diikuti ajakan melaporkan pelakunya. Bukan malah sebaliknya: menganjurkan masyarakat menerima kebutuhan pokok atau uang dari para makelar suara.
Ade Irawan Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 29 Juni 2018 di halaman 7 dengan judul “Politik Uang dan Makelar Suara”. https://kompas.id/baca/opini/2018/06/29/politik-uang-dan-makelar-suara/