August 8, 2024

Titi Anggraini: Bedakan Syarat Sebagai Capres-Cawapres, Syarat Pengusulan Capres-Cawapres, dan Tata Cara Pengusulan

Pada sidang pemeriksaan pendahuluan terhadap perkara No.49 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dan para ahli kepemiluan, hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Wahiduddin Adams, mengkritisi argumentasi yang disampaikan oleh para pemohon. Menurutnya, dasar hukum Pasal 222 tentang ambang batas pencalonan presiden di Undang-Undang (UU) Pemilu No.7/2017 adalah Pasal 6 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bukan Pasal 6A sebagaimana didalilkan oleh pemohon. Pasal 6 memuat syarat menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), sementara Pasal 6A memuat tata cara pencalonan presiden dan wakil presiden.

“Pasal 6 itu mendelegasikan untuk syarat. Nah, argumentasi pemohon belum disandingkan dengan Pasal 6. Padahal, Pasal 6 itu syarat-syarat, pasal 6A itu tata cara. Pasal 222 UU No.7/2017 itu dasar hukumnya adalah Pasal 6 UUD 1945, bukan 6A,” kata Wahiduddin di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat (3/7).

Mengenai hal tersebut, Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan bahwa dasar hukum yang diacu dalam permohonannya, yakni Pasal 6A UUD 1945, telah benar. Hakim MK semestinya dapat membedakan konsep syarat menjadi capres dan cawapres, syarat pengusulan capres dan cawapres, serta tata cara pengusulan capres dan cawapres. Pasal 6 memuat syarat sebagai capres dan cawapres, Pasal 6A ayat (2) memuat syarat pengusulan capres dan cawapres, dan Pasal 6A ayat (5) memuat tata cara pengusulan capres dan cawapres.

“Kami menilai putusan MK belum melihat secara utuh pemaknaan terhadap konsep yang membedakan syarat menjadi capres dan cawapres, syarat pengusulan capres dan cawapres, dan tata cara pengusulan capres dan cawapres. Pasal 222 itu, dia memotong asas konstitusionalitas di dalam Pasal 6A ayat (2) tentang syarat pengusulan capres dan cawapres,” terang Titi pada konferensi pers di gedung MK usai sidang pemeriksaan pendahuluan.

Argumentasi permohonan yang diajukan kali ini atau yang membedakan dengan permohonan-permohonan selanjutnya, kata Titi, adalah penitikberatan pada tafsir Pasal 6A ayat (2) yang dinilai sebagai kebijakan hukum tertutup. Pasal 6A ayat (2) tak memaktubkan perintah untuk mengatur lebih lanjut di UU. Kasus ini berbeda dengan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) yang memaktubkan perintah untuk mengatur lebih lanjut di UU.

“Jadi, kami ingin mengatakan, untuk ambang batas pencalonan presiden, itu tidak dibuka ruang oleh UUD 1945. Karena, sudah eksplisit bahwa setiap partai politik atau gabungan partai politik boleh mengajukan capres dan cawapres, baik sendiri-sendiri maupun bergabung,” tutup Titi.

Pasal 222 UU No.7.2017 berbunyi, “Pasangan calon (presiden dan wakil presiden) diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.”