September 13, 2024

Jumlah Pemantau Pemilu Makin Sedikit, Perludem: Masyarakat Sipil Tak Boleh Melemah

“Kami di Perludem,  mendaftarkan diri untuk akreditasi sebagai pemantau karena dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi pada pemilu kita akhir-akhir ini, yakni negara kuat tapi masyarakat sipil melemah. Maka, kami mendaftar untuk menunjukkan bahwa meskipun negara kuat, gerakan masyarakat sipil juga menguat,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, pada konferensi pers di Media Centre Bawaslu RI, Gondangdia, Jakarta Pusat (11/7).

Lewat orasi akademisnya, Titi menyebutkan bahwa sejak Pemilu 1999 hingga menjelang Pemilu 2019, jumlah lembaga pemantau pemilu semakin berkurang. Kehadiran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dinilai sebagai salah satu faktor yang memengaruhi penurunan jumlah pemantau pemilu, karena peran pengawasan yang mestinya dipegang oleh masyarakat sipil, kini diemban oleh Bawaslu.

“Yang ada mungkin tinggal sepuluh saja. Bahkan, yang punya akar sejarah pemantauan, mungkin kurang dari lima. Ini disebabkan oleh negara yang makin kuat. Masyarakat menganggap aktor-aktor negara itulah yang akan menjadi penangung jawab dari hulu ke hilir.” Jelas Titi.

Titi menjelaskan, Bawaslu adalah masyarakat sipil yang dinegarakan karena peran-peran yang dijalankan Bawaslu merupakan peran-peran masyarakat sipil. Namun, meski peran pengawasan telah diserahkan kepada Bawaslu, masyarakat sipil tetap perlu merawat demokrasi, sebab demokrasi tak stagnan, melainkan selalu menghadapi berbagai ancaman. Salah satunya, adanya oknum yang hendak mengembalikan pemilihan kepala daerah langsung kepada pemilihan kepala daerah tak langsung.

“Masih ada saja yang menghendaki pilkada tidak langsung. Padahal, Pilkada 2018 membuktikan di banyak daerah, masyarakat semakin memahami bahwa hak pilih di pilkada bisa ikut menentukan kepemimpinan politik yang akan mengatur hidupnya. Ini ditandai dengan lunturnya politik dinasti di beberapa daerah. Misal, di Kota Serang, Bojonegoro, Sumatera Selatan, juga Kalimantan Barat,” terang Titi.

Menurutnya, masyarakat sipil perlu mengkonsolidasikan gerakan untuk bersama-sama mengawal Pemilu 2019. Pasalnya, Pemilu 2019 merupakan tonggak sejarah pemilu di Indonesia dimana berbagai teori akan diuji.

“Apakah betul efek ekor jas akan berfungsi di Pemilu 2019, yang memadukan sistem pemilu serentak dengan sistem proporsional terbuka,” tukas Titi.

Titi mencatat beberapa tantangan Pemilu 2019. Pertama, sengitnya pertarungan politik untuk melampaui ambang batas parlemen 4 persen. 14 partai politik akan memperebutkan pemilih dan mengejar kursi parlemen.

Kedua, kuatnya godaan terhadap penyelenggara pemilu dan rumitnya beban penyelenggaraan yang akan ditanggung. Hasil pemilu lima kotak akan direkapitulasi oleh hanya tiga orang anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), suatu potret kegagalan pembentuk Undang-Undang (UU) Pemilu dalam menangkap kerumitan sistem pemilu serentak.

Ketiga, hambatan pada transparansi dan akuntabilitas proses penyelenggaraan. “Belum apa-apa, upaya KPU untuk menunjukkan transparansi dan akuntabilitas mengalami hambatan. Situng (Sistem Informasi Hasil Penghitungan) yang mestinya jadi alternatif akuntabilitas, diretas. Nah, apa hubungannya dengan Pemilu 2019?” tutur Titi.

Keempat, perbedaan pandangan terhadap ketentuan di dalam UU Pemilu di antara sesama penyelenggara. Titi membahas perbedaan pandangan antara KPU dan Bawaslu mengenai syarat menjadi caleg di UU Pemilu yang diturunkan oleh KPU ke dalam Peraturan KPU (PKPU) No.20/2018. Menurutnya, PKPU yang telah diundangkan mesti ditaati oleh semua pihak, termasuk Bawaslu.

“Selama tidak ada yang membatalkan PKPU itu, semua harus mengikuti.Kami harap Bawaslu mengikuti PKPU ini sebagai upaya kita untuk memiliki hasil Pileg yang berkualitas dan berkontribusi bagi tata kelola negara yang baik,” tutup Titi.