Pendaftaran calon anggota legislatif mulai dibuka sejak 4 Juli hingga 17 Juli 2018. Sebelum itu, partai politik penting melakukan tebang pilih siapa yang akan mereka calonkan.
Tahapan pendaftaran calon anggota legislatif (caleg) telah memanas, setidaknya sejak April lalu. Saat itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk pertama kali melempar gagasan larangan bekas narapidana kasus korupsi menjadi caleg. Setelah melewati perdebatan panjang, akhirnya KPU tetap pada simpulan untuk memasukkan larangan tersebut dalam Peraturan KPU Nomor 14 dan Nomor 20 Tahun 2018 demi menghadirkan daftar caleg yang lebih bersih dan layak pilih.
Komitmen KPU tersebut didukung lebih dari 100.000 orang melalui petisi daring change.org/koruptorkoknyaleg. Dukungan publik tersebut tidak lepas dari fenomena maraknya kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif.
Setidaknya dalam kurun waktu empat tahun terakhir sudah ada 17 anggota legislatif di tingkat nasional yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua di antaranya adalah Ketua DPR Setya Novanto dan Ketua DPD Irman Gusman.
Catatan merah anggota legislatif perihal korupsi tidak hanya terjadi di tingkat nasional. Di daerah pun hampir serupa, lebih dari 100 anggota DPRD jadi tersangka kasus korupsi.
Kasus terakhir yang paling menghebohkan adalah terlibatnya 38 anggota DPRD Sumatera Utara dan 18 anggota DPRD Kota Malang, Jawa Timur, dalam kasus korupsi bersama kepala daerah. Kasus tersebut tidak hanya menunjukkan para wakil rakyat daerah yang korup, tetapi juga gagal dalam menjalankan peran.
Maraknya anggota legislatif terlibat korupsi membuat citra lembaga wakil rakyat semakin memburuk. Hasil survei Global Corruption Barometer menyebutkan, DPR dinilai publik sebagai lembaga paling korup pada tahun 2016. Survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2017 juga menyebutkan bahwa kepercayaan publik terhadap DPR semakin rendah.
Memperbaiki citra, kinerja, dan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif menjadi penting untuk segera dilakukan. Pemilu 2019 merupakan momentum yang tepat bagi lembaga legislatif berbenah diri. Pembenahan tersebut perlu dimulai sejak tahap paling awal, yaitu sejak penyeleksian daftar caleg.
Kebutuhan daftar caleg yang lebih bersih dan layak pilih seharusnya tidak hanya disadari KPU, tetapi juga partai politik. Sebagai satu-satunya peserta pemilu, hanya partai politik yang mempunyai kuasa untuk dapat mendaftarkan para caleg. Pada dasarnya, kompetisi dan peluang untuk mengubah wajah legislatif periode 2019-2024 dimulai dari seleksi internal partai politik, suatu tahap di mana partai menentukan siapa saja yang akan mereka daftarkan ke KPU.
Seleksi internal partai politik
Terdapat tiga hal penting untuk partai politik lakukan dalam proses ini. Pertama, melakukan evaluasi dan pemetaan kebutuhan kelembagaan legislatif ke depan. Misalnya, partai perlu melihat kuantitas dan kualitas produk legislasi yang dihasilkan, tingkat kehadiran anggota dalam rapat dan sidang yang digelar DPR/DPRD, bagaimana tingkat kepercayaan publik terhadap DPR/DPRD berdasarkan sejumlah hasil survei, dan lain sebagainya. Minimnya undang-undang yang disahkan dan sepinya rapat atau sidang DPR berulang kali menjadi sorotan publik pada periode ini.
Kedua, menyusun kriteria caleg berdasarkan evaluasi di atas dan penilaian publik. Rendahnya tingkat kepercayaan publik harus dijadikan alarm bahwa publik menghendaki formasi anggota Dewan yang lebih baik.
Salah satu kriteria yang penting dipertimbangkan ialah bersih dari dugaan korupsi. Dalam hal ini, partai seharusnya selangkah lebih maju dari KPU, dengan tidak mencalonkan tersangka atau terdakwa korupsi, sebagaimana yang marak partai lakukan pada Pemilu 2014.
Indonesia Corruption Watch mencatat, terdapat sedikitnya 59 anggota DPR/DPRD terpilih berstatus hukum tersangka, terdakwa, atau terpidana pada Pemilu 2014. Enam di antaranya merupakan anggota DPR yang berkantor di Senayan, Jakarta, dan ditunda pelantikannya. Hal ini tentu tidak sejalan dengan semangat perbaikan legislatif periode selanjutnya. Pencalonan tersangka dan terdakwa korupsi juga tidak sejalan dengan deklarasi antikorupsi yang kerap digaungkan partai.
Ketiga, melakukan evaluasi terhadap individu anggota DPR dan DPRD. Tren yang kerap muncul pada pemilu legislatif adalah partai politik banyak mencalonkan anggota dewan petahana. Sebagai contoh, lebih dari 50 persen anggota DPR dari partai dengan jumlah kursi terbanyak di DPR merupakan anggota petahana. Bukan tidak boleh, pencalonan anggota petahana perlu diawali dengan evaluasi terhadap kinerja mereka.
Faktanya, tidak semua anggota legislatif bekerja dengan baik dan layak dipilih kembali. Selain mengenai bagaimana anggota mematuhi partai, penilaian terhadap caleg petahana penting untuk mempertimbangkan aspek kinerja, kedisiplinan, etik, dan dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi atau kejahatan lain. Sejumlah anggota DPR periode 2014-2019 yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait dengan kasus lama.
Adanya seleksi yang baik di partai dapat menyuguhkan daftar caleg yang lebih layak pilih dan sesuai kebutuhan kelembagaan legislatif. Dikombinasikan dengan aktifnya publik memberikan tanggapan saat daftar calon sementara (DCS) diumumkan dan penyelenggaraan pemilu yang bersih, kita berharap bukan tidak mungkin lembaga legislatif ke depan akan membaik.
Almas Sjafrina Peneliti Indonesia Corruption Watch
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 13 Juli 2018 di halaman 7 dengan judul “Tebang Pilih Calon Anggota Legislatif”.