Pilkada serentak yang digelar 27 Juni lalu menandai terjadinya regenerasi dan perubahan kepemimpinan di tingkat lokal.
Perubahan pertama tampak dari kemenangan tokoh nonpartai politik pada tiga provinsi, yaitu Ridwan Kamil, Nurdin Abdullah, dan Khofifah Indar Parawansa. Kemenangan tiga tokoh tersebut menjadi penting mengingat ketiganya memiliki rekam jejak yang baik, punya pengalaman memimpin dan inovasi politik di tingkat lokal, serta berasal dari kelompok profesional.
Pilkada lalu juga menunjukkan kegagalan petahana gubernur/wakil gubernur dalam mempertahankan kursinya. Dari 10 petahana gubernur/wakil gubernur yang mencalonkan diri di pilkada provinsi, delapan di antaranya kalah. Hanya dua petahana berhasil menang, yaitu Ganjar Pranowo di Jawa Tengah dan Lukas Enembe di Papua. Sementara pilkada di tujuh provinsi digelar tanpa diikuti petahana.
Perubahan kedua, adanya semangat perubahan politik pemilih di tingkat provinsi yang ditunjukkan dengan gagalnya sejumlah calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan dinasti politik lokal. Di antaranya, kekalahan Dodi Reza Alex Noerdin (putra Gubernur Sumatera Selatan dua periode), Karolin Margret Natasa (putri Gubernur Kalimantan Barat dua periode) dan Ichsan Yasin Limpo (adik Gubernur Sulawesi Selatan dua periode).
Dua perubahan tersebut akan memengaruhi konfigurasi kepemimpinan nasional setelah Pemilu 2019. Para kepala daerah terpilih pada 2018 tersebut akan menjabat pada periode 2019- 2024. Waktu tersebut menjadi penting mengingat akan dilaksanakan pemilu presiden pada 2024. Artinya, pada 2024, Indonesia akan memiliki stok kepemimpinan nasional yang berlimpah, yang salah satunya berasal dari kepala daerah di tingkat provinsi, baik yang berasal dari parpol maupun kalangan profesional.
Perubahan politik di tingkat lokal pada 2018 ini melanjutkan fenomena kemenangan Joko Widodo pada 2014, ketika faktor perubahan politik di tingkat lokal akan memengaruhi prestasi politik di tingkat nasional. Gelombang perubahan di tingkat lokal ini sejatinya memberi sinyal baru perubahan sirkulasi elite di tingkat pusat, terutama suksesi dan pergantian kepemimpinan di internal parpol. Gelombang perubahan di beberapa provinsi membawa pesan yang sama, yaitu soal pentingnya integritas, inovasi, kompetensi, dan pengalaman kepemimpinan. Pentingnya pengalaman memimpin itu juga ditunjukkan dari hasil pilkada di tingkat provinsi lalu. Delapan dari 17 gubernur yang terpilih pernah menjabat sebagai kepala daerah di tingkat kabupaten/kota.
Kelompok profesional
Perubahan perilaku pemilih dan perubahan teknologi diperkirakan akan memengaruhi perubahan struktur elite di internal parpol. Perubahan perilaku pemilih tampak dari alasan memilih pemilih yang sangat dipengaruhi faktor kompetensi dan kredibilitas calon dibandingkan faktor identitas dan asal partai. Sejumlah hasil riset yang dilakukan SMRC dan Lembaga Survei Indonesia sejak 2004 menunjukkan pemilih yang semakin rasional. Sementara perubahan teknologi informasi mengubah cara calon dan parpol dalam berkampanye kepada masyarakat.
Survei nasional yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) sejak 2015 sampai 2017 menunjukkan adanya peningkatan akses publik terhadap internet dan media sosial. Pada survei Agustus 2017, misalnya, sekitar 30,9 persen atau lebih dari 50 juta pemilih sudah punya akun Facebook.
Dengan perubahan ini, parpol dipaksa beradaptasi dengan perubahan dan mengakomodasi kelompok profesional baru dalam struktur kepemimpinan partai. Karena jika partai masih mengandalkan orang-orang lama yang tak terkoneksi dengan dunia digital, partai diperkirakan akan kesulitan berkomunikasi dengan pemilih pemula dan pemilih milenial. Ke depan, parpol yang tak mempunyai koneksi ke teknologi baru akan kesulitan menghadapi perubahan demografi pemilih. Tak heran apabila beberapa parpol sejak lama sudah mulai mempersiapkan konsultan profesional untuk mengelola konten di media sosial dan pengembangan teknologi informasi.
Peran penting teknologi ini diingatkan oleh Bull dan Aguilar (2016) bahwa kemampuan dalam mengontrol kapital dan politik tidaklah cukup tanpa kemampuan mengontrol pengetahuan dan teknologi. Hari ini, elite profesional adalah kelompok yang paling cepat beradaptasi dengan perubahan teknologi. Beberapa kepala daerah terpilih, misalnya, mempunyai kemampuan dalam mengelola isu dan memiliki jumlah pengikut yang banyak di medsos. Mereka juga punya concern pada isu-isu yang tersegmentasi, seperti pembenahan tata kota, sosial, dan pemberdayaan masyarakat perdesaan. Elite baru ini juga memelopori pentingnya isu-isu politik pada level mikro.
Apabila parpol terbuka dan transparan dalam hal rekrutmen kader dan kepala daerah, saya kira akan membuat kalangan profesional bergabung dengan parpol. Selama ini, kelompok profesional masih enggan bergabung karena proses penjaringan yang masih tertutup dan rentan penggunaan uang dan politik patronase.
Regenerasi politik
Perubahan politik ke depan saya kira akan dimulai dan didorong dari daerah dan tak lagi dari pusat kekuasaan. Dalam lima tahun terakhir, kita memiliki kepala daerah yang berprestasi dan berdedikasi. Meskipun sebagian juga bermasalah karena tersangkut masalah hukum dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, hal itu tak membuat kita berhenti optimis untuk terus mencari orang-orang baik dari daerah.
Dari sisi usia, misalnya, sensus parpol yang dilakukan CSIS pada 2015 dengan mewawancarai semua ketua partai pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota menunjukkan, mayoritas pimpinan partai di daerah berusia di bawah 45 tahun. Pilkada 2018 ini juga menunjukkan, beberapa gubernur terpilih mempunyai inovasi dan kepemimpinan politik yang berintegritas.
Politik Indonesia kontemporer sudah banyak mengalami perubahan, terutama dari sisi pemilih yang semakin cerdas dan bijak dalam berpolitik. Harapan perubahan justru harus terus didorong dari parpol, terutama terkait aspek regenerasi, rekrutmen, dan kaderisasi partai. Beberapa partai sudah mulai terbuka dan fleksibel dalam melihat tren perubahan pemilih, tetapi sebagian lainnya masih tertutup. Parpol memang harus mencari jalan tengah dalam hal rekrutmen pemimpin, yaitu dengan mengombinasikan antara kader dan nonkader profesional.
Arya Fernandes Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2018 di halaman 7 dengan judul “Pilkada Serentak dan Kepemimpinan Nasional”.