September 13, 2024

Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Maksimal Dua Periode, Gugatan Perindo Salah Kaprah

Partai Persatuan Indonesia (Perindo) melanjutkan gugatannya atas Pasal 169 huruf n Undang-Undang (UU) No.7/2017 yang berisi ketentuan bahwa salah satu syarat menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) adalah tidak pernah menjadi presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan. Dalam permohonannya Perindo meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyatakan Pasal tersebut inkonstitusional terhadap Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebagaimana diketahui, Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, mengajukan diri sebagai Pihak terkait permohonan Perindo.

Memandang permohonan Perindo sebagai ancaman bagi konstitusi dan demokrasi, enam pihak yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Konstitusi dan Demokrasi, selanjutnya disebut Koalisi, ikut mengajukan diri sebagai Pihak terkait.  Enam pihak yang dimaksud yakni Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember (Puskapsi FH Unej), Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalasa, Pusat Kajian Hukum dan Demokrasi (Puskahad) FH Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Jimmy Zeravianus Usfunan, Dosen Hukum Tata Negara FH Universitas Udayana, dan Oce Madril, Dosen Hukum Administrasi Negara, FH Universitas Gajah Mada.

Empat metode penafsiran, satu kesimpulan

Pada konferensi pers yang digelar pada Senin (30/7) di Gedung MK, Denny Indrayana selaku kuasa hukum Koalisi menyebutkan bahwa pengajuan sebagai Pihak terkait ditujukan sebagai bentuk penghormatan terhadap semangat reformasi akan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Koalisi menilai Pasal 169 huruf n yang digugat oleh Perindo tak bertentangan dengan konstitusi.

“Kami ingin menegaskan bahwa norma Pasal 169 huruf n yang merupakan copy paste dari Pasal 7  UUD 1945 sudah jelas, terang-benderang. Kami menyodorkan empat metode yang membuktikan pasal itu tak membutuhkan penjelasan lebih lanjut dan tak perlu ada lagi perdebatan,” tegas Denny di Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat.

Empat metode yang disebutkan oleh Denny yakni pertama, metode penafsiran gramatika atau tata bahasa. Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan” dinilai sebagai norma yang jelas dan tegas.  Pasal 7 tak hanya membatasi masa jabatan presiden, tetapi juga wakil presiden.

“Masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah lima tahun. Banyak pasal yang menyebutkan itu di UUD 1945. Dan juga, kata “hanya bisa dipilih satu kali setelahnya” itu membantah mau berturut-turut atau tidak berturut-turut. Ini norma yang sudah sangat jelas,”  ujar Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini.

Kedua, metode penafsiran historis. Maksud pembentuk perubahan UUD 1945 untuk membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen perumusan Ketetapan  Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No.13/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI yang dijadikan sebagai perubahan pertama atas Pasal 7 UUD 1945. Pembentuk amandemen UUD 1945 menekankan bahwa seseorang tak dapat menjabat lebih dari dua kali masa jabatan sebagai presiden dan wakil presiden.

Ketiga, metode penafsiran original intent. Dalam risalah pembahasan perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002 yang dimuat dalam Buku Keempat tentang Kekuasaan Pemerintah Negara Jilid I halaman 472 sampai 486, pembentuk UU menegaskan bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden paling lama adalah dua periode, baik secara berturut-turut maupun bersela. Terhadap hal tersebut, semua fraksi di MPR mengusulkan pembatasan ditujukan bagi presiden dan wakil presiden.

“Kalau baca naskah perubahan yang komprehensif, di sidang MPR itu ada dua alternatif. Satu, (masa jabatan dua periode tidak boleh) berturut-turut dan tidak berturut-turut. Dua, hanya berturut-turut. Kesepakatan fraksi memilih alternatif pertama, yakni berturut-turut maupun tidak berturut-turut. Akhirnya, sejarah kontitusi kita membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden. Keduanya dianggap satu paket,” urai Feri Amsari, Direktur Pusako Universitas Andalas.

Keempat, penafsiran konseptual. Koalisi memandang bahwa yang memiliki kekuasaan tak hanya presiden, melainkan juga wakil presiden. Seluruh negara dengan sistem presidensil, kecuali Amerika Serikat dan Guatemala, mengatur pembatasan jabatan wakil presiden bersamaan dengan pembatasan jabatan presiden.

“Salah satu alasan dari Perindo dan JK adalah mengatakan bahwa posisi wapres itu setara dengan menteri, dan bahwa wakil presiden hanya pembantu presiden yang tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Padahal, dalam sistem presidensil itu, jabatan presiden dan wakil presiden dijabat secara bersama-sama. Menteri diangkat oleh presiden, sedangkan wakil presiden dipilih langsung melalui pemilu. Makanya, tidak tepat kalau dikatakan jabatan wakil presiden setara dengan menteri,” terang Agus Riewanto, Direktur Eksekutif Puskahad UNS.

Ketidaktepatan susbtansi permohonan yang diajukan Perindo

Titi berpendapat, permohonan Perindo tak tepat diajukan kepada MK. Pasalnya, Pasal 169 huruf n merupakan norma yang sama dengan norma yang diatur di dalam Pasal 7 UUD 1945. Oleh karena itu, mengubah Pasal 169 huruf n sama dengan merubah konstitusi.

“Memang para pihak punya hak mengajukan uji materi. Tapi, permohonan dua pihak ini bukan sekadar pengujian terhadap UU, tetapi juga menguji UUD 1945,” kata Titi.

MK diharapkan menolak permohonan Perindo dan konsisten terhadap putusan yang pernah dikeluarkan terhadap permohonan yang diajukan oleh M. Hafiz pada 2008. Hafiz meminta agar MK memutuskan maksimal dua periode jabatan wakil kepala daerah tidak berturut-turut, dan MK mengatakan bahwa masa jabatan kepala daerah perlu dibatasi untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

“Kami harap MK bisa melihat ini secara utuh karena tidak ada lagi debat soal masa jabatan presiden dan wakil presiden. Kami menjamin ini tidak ada urusannya dengan proses politik Pemilu 2019. Tidak ada hubungan dengan siapapun,” tandas Titi.

Koalisi membuka petisi “Cukup Dua Periode” melalui situs change.org atau https://www.change.org/p/humas-mkri-tolak-masa-jabatan-wapres-lebih-dari-2-kali. Dalam tiga hari, telah ada lebih dari 1.500 orang yang menandatangani.