September 13, 2024

Lelaki dalam Keterwakilan Perempuan

Keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pencalonan sebagai syarat kepesertaan partai politik di Pemilu DPR/DPRD 2014 bisa dijamin Komisi Pemilihan Umum. Padahal komposisi anggota KPU dari pusat sampai daerah masih timpang gender. Pada periode 2004-2009, keterwakilan perempuan DPR di bawah 12% bisa menghasilkan undang-undang progresif gender dibanding 2009-2014 dan 2014-2019 dengan keterwakilan perempuan hampir 20%. Aliansi keterlibatan lelaki sadar gender perlu diwujudkan untuk menjamin keterwakilan perempuan.

Hadar Nafis Gumay merupakan satu dari sedikit lelaki berperspektif gender dalam penyelenggara pemilu. Sebagai anggota KPU (pusat) 2012-2017, ia bersama koleganya Ida Budhiati meyakinkan anggota KPU lain untuk membatalkan kepesertaan partai Pemilu 2014 pada daerah pemilihan yang caleg perempuan kurang dari 30%.

“Jumlah anggota KPU RI ada tujuh. Perempuannya cuma satu tapi jika anggota KPU lelakinya punya perspektif gender itu akan membantu penguatan keterwakilan perempuan,” kata direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini (2/9).

KPU 2012-2017 yang persentase perempuan anggotanya hanya 14% menjamin afirmasi 30% perempuan dalam pencalonan Pileg 2014. PKPU No.3/2013 akan menghukum kepesertaan partai di setiap dapil jika daftar calon dapil bersangkutan tak memenuhi 30% pencalonan perempuan. Peraturan pelaksan pemilu oleh KPU ini memastikan satu tafsir tegas 30% pencalonan perempuan dalam UU No.8/2012 yang di Pemilu 2004 dan 2009 cenderung ditafsirkan bukan kewajiban dan biasa dilanggar tanpa sanksi.

Semua partai calon peserta Pemilu 2014 mau tak mau harus memenuhi syarat pencalonan itu. Terbukti, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai yang tak memenuhi 30% pencalonan perempuan DPRD Sumatera Barat, digagalkan kepesertaannya dalam surat suara daerah pemilihan Sumbar. Capaian regulasi dan komitmen KPU menjadi faktor keberhasilan penjagaan keterwakilan perempuan dalam pencalonan dan keterpilihan.

Sebelumnya, meski caleg perempuan di Pemilu 2004 hanya terpilih 11%, DPR 2004-2009 yang berisi lelaki 89% berhasil mengeluarkan banyak undang-undang progresif gender. Di antaranya, UU No.23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), UU No.21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana dan Perdagangan Orang (PTPPO), UU No.13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta UU No.42/2008 tentang Pemilu Legislatif.

Ketua Pansus UU PTPPO, Latifah Iskandar berpendapat, legislator perempuan 2004-2009 yang berlatarbelakang aktivis bisa meyakinkan legislator lelaki dan elite partai. Anggota Dewan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini berpendapat, sistem Pemilu 2004 lebih memungkinan partai merekrut perempuan berlatar belakang aktivis. Dasar rekrutmen serta kinerja pascaketerpilihan dewan adalah kualitas.

“Rata-rata semua fraksi yang anggotanya laki-laki dan perempuan  mendukung (UU PTPPO) walaupun rapat-rapat Pansus lebih banyak dihadiri perempuan,” kata Latifah (9/9).

Mengetahui keterlibatan dan kontribusi lelaki itu menjadi penting mengingat kesulitan pencapaian keterwakilan perempuan secara kuantitas. Komitmen kesetaraan gender sudah pada angka 50-50, tapi Indonesia baru mencapai angka 18% untuk DPR. Penekanan sekurang-kurangnya atau minimal 30% selain tak tercapai juga menghasilkan legislator perempuan yang lebih merepresentasikan dinasti politik, elite partai, atau selebritas kecantikan.

Direktur eksekutif Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Sri Budi Eko Wardani berpendapat,ada kecenderungan keterwakilan perempuan menjadi paradoks. Jumlah terus bertambah tapi kebijakan progesif gender malah berkurang.

“Perempuan terpilih hanya dipakai tubuhnya oleh elite partai,” kata Dani (2/9).

Ani Soetjipto dalam “Politik Harapan” berpendapat, sistem pemilu berpengaruh dalam dinamika keterwakilan perempuan berpolitik. Sistem Pemilu 2004 mendorong gerakan perempuan berkonsolidasi merekomendasikan sejumlah perempuan potensial kepada elite (lelaki di) partai politik. Keterwakilan perempuan berkarakter aktivis yang dihasilkan Pemilu 2004 pun menjaga soliditas dan fungsi kaukus perempuan dan mempengaruhi politisi lelaki dalam menghasilkan undang-undang progresif gender. Soliditas ini kurang bekerja di sistem dan keterpilihan Pemilu 2009/2014 yang lebih mendorong kompetisi individu.

Dari kultural ke struktural

Sebetulnya, wacana lelaki mendukung kesetaraan gender di Indonesia bukanlah hal baru. Di tataran kultural, keterlibatan lelaki dalam gerakan perempuan bisa dibilang sudah kondusif. Sudah banyak LSM perempuan yang merekrut lelaki sebagai pegiat. Tulisan/publikasi dan kampanye lelaki mendukung gerakan perempuan sudah cukup banyak.

Jurnal Perempuan Edisi XII/November-Desember 1999 sudah membahasnya dengan judul “Pria Feminis, Why Not?”. Selain tulisan para feminis mengenai potensi positif keterlibatan lelaki dalam cita kesetaraan dengan sejumlah catatan, jurnal pun berisi tulisan para lelaki yang mendukung feminisme dari ragam aspek. Frans Magnis Suseno meyakinkan secara teologis bahwa perempuan bisa menjadi imam. Ketua Ikatan Dokter Indonesia, Agus Purwadianto memaparkan kemungkinan medis lelaki menjadi feminis. Lalu ada lelaki anonim yang berpendapat, kesan marah-marah feminis bisa dikurangi dengan keterlibatan lelaki sehingga membantu meyakinkan masyarakat untuk setuju kesetaraan gender.

Pada tahun 2000, Yayasan Jurnal Perempuan, Komunitas Filsafat Universitas Indonesia, dan Unifem mendeklarasikan “Cantik” (cowok-cowok antikekerasan) dalam memperingati Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (25 November). Kampanye ini pada 2001 ditindaklanjuti dengan mempublikasikan kumpulan tulisan lelaki pro-feminisme berjudul “Feminis Laki-laki: Solusi atau Persoalan?”. Wahyu Susilo, Nur Iman Subono, Rocky Gerung, Veven Sp. Wardhana, Donny Gahral Adian, Haryatmoko, Kris Budiman, dan Ivan A. Hadar menjadi kontributor.

Satu dekadean “Aliansi Laki-laki Baru” baru dibentuk. Pengenalanannya ke publik dilakukan pada 2010 oleh YJP dan 2014 difasilitasi Komnas Perempuan dan LSM perempuan seperti Yayasan Pulih. Sejumlah LSM gerakan perempuan sepakat, lelaki perlu dilibatkan dalam cita kesetaran untuk keadilan. Salah satunya mendukung keterwakilan perempuan di struktur pemerintahan. []

USEP HASAN SADIKIN