August 8, 2024

Disabilitas Mental Tetap Didata di Daftar Pemilih

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asyarie, mengatakan bahwa pada prinsipnya, semua disabilitas termasuk disabilitas mental didata ke dalam daftar pemilih. Namun, bagi disabilitas mental yang pada saat pendataan sedang “tak sehat”, maka pendataan dilakukan dengan bertanya kepada keluarga, atau dokter, atau tenaga medis yang merawat. Dengan demikian, hanya disabilitas mental yang berada di rumah kumpul keluarga atau sedang dirawat di rumah sakit jiwa dan panti yang dapat didata.

Hasyim menerangkan bahwa secara hukum, penyandang disabilitas mental tak dapat melakukan tindakan hukum sehingga tak dapat dimintai pertanggungjawaban. Hukum memperlakukan disabilitas mental sama dengan anak di bawah umur, yakni dianggap belum dewasa atau tidak cakap melakukan tindakan hukum, sehingga membutuhkan pengampuan oleh wali atau keluarga berusia dewasa atau cakap secara hukum.

Berdasarkan kerangka hukum tersebut, KPU menerapkan kebijakan pada tahap pemungutan suara bahwa hak pilih bagi disabilitas mental dapat digunakan  sesuai dengan rekomendasi dokter. Jika dokter menyatakan yang bersangkutan mampu memilih, maka hak pilih dapat digunakan. Sebaliknya, jika dokter menyatakan tak mampu memilih, maka yang bersangkutan tak dapat diberikan surat suara.

“Penggunaan hak pilih pada hari H sesuai dengan rekomendasi dokter yang merawatnya. Karena hubungan hukum pada dasarnya adalah hubungan pertanggungjawaban. Itulah alasan kenapa dalam hal penggunaan hak pilih, disabilitas mental harus ada penjamin oleh pihak yang punya otoritas seperti dokter, bahwa yang bersangkutan pada hari H sedang waras dan karenanya yang bersangkutan cakap melakukan tindakan hukum untuk memilih,” urai Hasyim.

Anggota KPU lainnya, Pramono Ubaid, memberikan penegasan. Saat ini telah ada 23 ribu disabilitas mental di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pendataan terhadap disabilitas mental dilakukan kepada semua yang berhak pilih sepanjang tidak ada surat keterangan dokter yang menyatakan yang bersangkutan tidak mampu.

“Jadi, berlaku prinsip ushl fiqh. Semua pemilih sehat kecuali yang dinyatakan sakit. Nah, itu semua kami data,” tukas Pramono pada focus group discussion Evaluasi Pilkada 2015, 2017, dan 2018 KPU di Makassar, Sulawesi Selatan (22/11).

Mengenai hak pilih bagi disabilitas, Direktur Eksekutif Netgrit, Sigit Pamungkas mengatakan, bahwa Undang-Undang (UU) No. 48/2009, UU No.8/2012, dan UU No.7/2017 tidak melarang disabilitas mental untuk terdata di dalam daftar pemilih. Oleh karena itu, pemilih dengan disabilitas mental memang sudah semestinya terdata di daftar pemilih.

“UU itu tidak mengatakan seseorang yang mengalami disabilitas mental  gak bisa milih. Jadi mestinya kpu mendata semua, keculai ada produk hukum yang mengatakan seseorang inkompeten melakukan tindakan hukum,” ujar Sigit (22/11).

Sigit menyebutkan data bahwa 11 persen konstitusi dan aturan kepemiluan di negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di tahun 2016, tidak menghalangi disabilitas mental untuk memilih. Salah seorang pakar kesehatan jiwa disebut Sigit mengatakan, bahwa semua orang memiliki disabilitas mental dengan derajat keparahan yang berbeda.

“Untuk orang dinyatakan gak bisa gunakan hak pilih, harus ada surat dari dokter. Jadi gak bisa orang semena-mena mengatakan seseorang mengalami disabilitas mental dan gak bisa milih,” kata Sigit.