Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Bambang Soesatyo, mewacanakan sistem pemilu campuran yang diterapkan Jerman untuk diadopsi di Indonesia. Bambang menilai, sistem ini akan meningkatkan kualitas parlemen karena memberikan ruang bagi partai untuk menempatkan kader-kader terbaik yang tak berkantong tebal dan tak punya popularitas.
“Dengan sistem ini, sebagian anggota parlemen dipilih melalui pemilihan langsung dan sebagian lagi ditunjuk oleh partai. Dengan begitu, kader-kader terbaik partai bisa duduk di parlemen,” kata Bambang pada diskusi “Political Donation and Funding: How does the Business Deal with it?” di Hotel Bidakara, Mampang, Jakarta Selatan (4/12).
Sistem pemilu campuran merupakan salah satu varian dalam sistem pemilu. Ada dua turunan dalam sistem pemilu campuran, yakni parallel dan mixed member proportional. Dengan sistem pemilu campuran, kursi parlemen dibagi menjadi dua, yaitu kursi untuk calon yang dipilih melalui sistem proporsional dan kursi untuk calon yang dipilih melalui sistem mayoritas. Sistem mayoritas merupakan sistem pemilu yang diterapkan dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yakni misal, empat anggota untuk satu daerah pemilihan (dapil).
Menurut Deputi Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustiyati, sistem campuran mengambil kelebihan dari sistem proporsional dan sistem mayoritas. Khoirunnisa mengakui, dengan sistem ini akan lebih banyak keuntungan yang didapat.
“Salah satu keluhan partai dengan sistem pemilu proporsional terbuka adalah kader partai yang bagus dan sudah lama di partai kalah oleh caleg (calon anggota legislatif) yang lebih populer dan punya modal besar. Nah, kalau dengan sistem campuran, tentu partai akan menempatkan kader yang bagus dan sudah lama di partai itu di dalam list yang mayoritas, supaya mereka punya kesempatan juga untuk terpilih,” jelas Khoirunnisa.
Khoirunnisa tak menolak jika sistem pemilu campuran akan diterapkan di Indonesia pada masa mendatang. Namun, merubah sistem pemilu tak semudah membalikkan telapak tangan. Penyelenggara pemilu, partai politik, dan tentu masyarakat mesti dapat beradaptasi terhadap sistem. Kajian mendalam perlu dilakukan.
“Perlu kajian dan publik juga harus paham dengan sistem ini. Bukan berarti publik harus sampai ke teknisnya, tapi setidaknya paham bagaimana memberikan suara yang benar karena pasti akan banyak penyesuaian,” ujar Ninis.
Jika revisi terhadap Undang-Undang Pemilu akan dilakukan oleh parlemen, Perludem mendorong adanya perubahan substansial, seperti jadwal pemilu dan mekanisme rekrutmen caleg. Revisi juga mesti dilakukan jauh waktu sebelum pelaksanaan pemilu berikutnya.
“Revisi UU Pemilu sebaiknya dilakukan tidak mepet dengan jadwal pelaksanaan pemilu berikutnya,” tutup Khoirunnisa.