August 8, 2024

Utak-atik Skema Pembiayaan Pilkada Serentak

Penganggaran pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 lalu menjadi hal yang penting untuk dievaluasi. Pembiayaan pilkada oleh APBD dinilai bermasalah. Berbagai skema lain diusulkan.

Skema pembiayaan pilkada dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memunculkan berbagai masalah. Dalam penyusunan anggaran Pilkada 2015 lalu, terdapat variasi yang mencolok antara satu daerah dengan daerah yang lainnya.

Variasi penganggaran daerah yang berbeda-beda ini menyebabkan kualitas Pilkada juga berbeda.

Fadli Ramadhanil, peneliti pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan penganggaran Pilkada lewat APBD kerap dipengaruhi kepentingan kepala daerah. Apabila kepala daerah ingin mencalon kembali, maka anggaran relatif dipermudah bahkan dilebihkan dari yang seharusnya. Akan tetapi apabila kepala daerah tidak mencalon kembali maka anggaran bisa dipersulit.

Masykurudin Hafidz, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), menambahkan, naik turunnya anggaran yang disediakan dipengaruhi oleh ketersediaan dana, kepala daerah yang mencalonkan kembali dirinya, hubungan antara penyelenggara dengan kepala daerah dan DPRD, serta alokasi pembiayaan untuk kampanye,

Ini membuat penyelenggara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di daerah kalang-kabut. Penyelenggara terbebani tugas tambahan meminta anggaran ke Pemda. Tak jarang, tahapan mesti berjalan dengan anggaran yang minim.

“KPU dan Panwas akhirnya mesti bekerja di luar porsinya. Penyelenggara mesti mengadvokasi anggaran ke Pemda,” kata Anggota KPU, Juri Ardiantoro, saat diskusi “Penyempurnaan Regulasi Pilkada” di Ruang Sidang DKPP, Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat (10/2).

Untuk menanggulangi masalah ini tak terjadi kembali pada pelaksanaan Pilkada Serentak 2017, berbagai skema pembiayaan diusulkan. Pilkada diusulkan dibiayai APBN saja.

“Apabila pembiayaan dialihkan ke APBN, pembiayaan pilkada bisa dilakukan melalui satu pintu lewat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Pencairan anggaran pilkada bisa serentak dilakukan serta mengurangi intervensi kepala daerah terhadap pembiayaan pilkada,” saat dihubungi di Kantor Perludem, Jakarta Selatan (9/2).

Namun, Juri Ardiantoro memberi catatan jika skema pembiayaan pilkada oleh APBN ini diterapkan. Pertama, kemampuan APBN dalam membiayai Pilkada Serentak 2017 yang dilaksanakan di 101 daerah perlu dipastikan. Kedua, penyusunan anggaran juga mesti berperspektif daerah.

“Pengalaman pemilu nasional seringkali menyusun anggaran untuk daerah dari perspektif Jakarta. Padahal faktanya daerah punya kebutuhan anggaran yang sangat berbeda bergantung geografis, dan lain-lain. Harusnya disusun berdasarkan kemampuan daerah,” tandas Juri.

Selain skema tersebut, skema pembiayaan pilkada oleh APBN dibantu APBD juga mencuat. Kemendagri adalah salah satu yang mengusulkan skema ini. Senada dengan itu, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menilai skema ini bisa menjadi solusi.

“Kombinasi pembiayaan antara pusat dan daerah dapat menjadi solusi atas kendala anggaran pilkada untuk memastikan ketersediaan dan standar pembiayaan yang memadai,” kata Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafiz, kepada Rumah Pemilu (19/1).

Kesulitan implementasi skema ini adalah menyusun bersama komponen mana yang dibiayai oleh APBN dan mana yang dibiayai APBD. Komunikasi pusat-daerah juga akan menjadi sulit sebab tahun anggaran sudah berjalan.

Pemerintah maupun DPR mesti segera memilih dan menentukan skema pembiayaan Pilkada. Skema pembiayaan pilkada ini perlu cepat diputus dalam perbaikan UU Pilkada agar implementasinya untuk Pilkada 2017 tak mampet. Kepastian skema dan kesiapan dana perlu dipastikan, baik bagi KPU maupun Panwaslu.

“Jumlah anggaran pilkada sangat berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan tahapan dan tinggi rendahnya partisipasi,” tandas Masykur.

MAHARDDHIKA