Rabu (9/1), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan membacakan putusan atas perkara dugaan pelanggaran administrasi yang diajukan oleh Oesman Sapta Odang (OSO), dengan tergugat Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada sidang kali ini, OSO mempermasalahkan Surat KPU No.1492/2018 yang dinilai OSO sebagai pembangkangan terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Menjelang putusan Bawaslu besok, Koalisi Masyarakat Sipil mengadakan konferensi pers di Media Centre Bawaslu RI, Gondangdia, Jakarta Pusat (8/1). Koalisi terdiri atas Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Indonesia Corruption Watch (ICW), Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK), Komite Pemantau Legislatif (Kopel), Rumah Kebangsaan, dan Lingkar Madani (Lima).
Dalam konferensi pers yang digelar, Koalisi mendorong agar Bawaslu menegakkan keadilan hukum pemilu sesuai dengan kerangka hukum yang ada dan konstitusional. Bawaslu diharapkan bersikap 3K, yakni konstitusional, komitmen, dan konsisten. Konstitusional maksudnya menghargai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mendasarkan putusan-putusannya pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Komitmen, bermakna komit dengan aturan larangan bagi pengurus partai politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dan konsisten, yakni tetap pada sikap yang sama saat Bawaslu mengeluarkan putusan yang menyatakan KPU telah benar menyatakan OSO tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD karena tidak mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik.
“Bawaslu sebelumnya sudah menyatakan pada sidang sengketa pemilu bahwa Putusan MK telah berkekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum lagi setelah itu. Ini Bawaslu harus konsisten. Dan juga, konsisten memegang hierakri peraturan perundang-undangan, dimana Bawaslu mengacu Putusan MK saat memutuskan perkara napi korupsi,” tegas pegiat pemilu mantan anggota Bawaslu RI periode 2007-2012, Wahidah Suaib.
Koalisi mengingatkan Bawaslu agar tak mengingkari putusan MK. MK lah yang pada 2011, melalui Putusan No.81/2011, memberikan tafsir terhadap Pasal 22E UUD 1945 bahwa Bawaslu termasuk dalam frasa komisi pemilihan umum. Putusan ini menegaskan kesetaraan antara Bawaslu dengan KPU dan menjamin kemandirian Bawaslu yaang saat itu anggotanya dipilih oleh anggota KPU.
“Kami mengingatkan bahwa Bawaslu, untuk sampai pada posisinya hari ini, tidak lepas dari peran MK. Jadi, jangan sampai Bawaslu melupakan putusan MK sebagai landasan untuk menyelenggarakan pemilu,” tandas Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini.
Putusan Bawaslu esok hari jadi ujian integritas dan konsistensi lembaga peradilan pemilu
Peneliti hukum Perludem, Fadli Ramadhanil, mengatakan bahwa Bawaslu semestinya tak sulit menyelesaikan masalah pencalonan OSO pada Pemilihan Anggota DPD 2019. Putusan MK jelas mempertegas bahwa konstitusi melarang pengurus partai politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD, dan Bawaslu telah bersepakat dengan kerangka hukum ini pada putusannya yang pertama mengenai kasus OSO.
“Bawaslu mestinya mudah memutuskan masalah ini. Menurut saya, Bawaslu tidak perlu terlalu rumit mempertimbangkan perkara ini karena secara subtansi, perkara ini sudah diputus Bawaslu,” tukas Fadli.
Bawaslu diharapkan mampu melihat hitam putih kasus pencalonan OSO. Substansi tidak dimasukannya OSO ke dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD 2019 oleh KPU dikarenakan OSO yang enggan mematuhi Putusan MK No.30/2018 dengan tidak mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik. Bahwa KPU telah melakukan kelalaian dengan memasukkan nama OSO di dalam Daftar Calon Sementara (DCS), Bawaslu patut mengoreksi. Namun, Bawaslu mesti menitikberatkan pada poin, bahwa KPU tidak menghalangi OSO menjadi calon anggota DPD. Persoalannya ada pada OSO yang tak mau mengikuti aturan main seperti yang diikuti oleh peserta Pemilihan Anggota DPD lainnya.
“Kan OSO memilih tidak mundur dari kepengurusan partai politik. Maka konsekuensinya, dia tidak bisa masuk DCT. Jadi, OSO tidak masuk ke DCT bukanlah keinginan KPU, tapi karena yang bersangkutan tidak mau undur diri dari kepengurusan partai,” jelas Fadli.
Pengejawantahan slogan Bawaslu ditagih
Koalisi mendorong agar Bawaslu menjadikan konstitusi sebagai patokan dasar pengambilan putusan. Bawaslu diharapkan mampu membuktikan pengejawantahan slogannya, yakni “Bersama rakyat awasi pemilu, bersama Bawaslu tegakkan keadilan pemilu.” Bawaslu diharapkan mampu mengoreksi kesalahan pada putusan Mahkamah Agung (MA) dan PTUN, dengan menyatakan bahwa substansi dari masalah administrasi pencalonan anggota DPD adalah memenuhi seluruh persyaratan sebagai calon anggota DPD sesuai dengan kerangka konstitusi.
“Konstitusi adalah patokan yang paling dasar. Cukuplah kekacauan ini di badan peradilan yang lain. Bawaslu bisa mengoreksinya. Jangan ikut kondisi sakit itu. Bawaslu keluarkanlah putusan bahwa konstitusi menyatakan bahwa DPD itu harus calonnya tidak berasal dari pengurus partai politik,” ujar peneliti senior Netgrit, Hadar Nafis Gumay.
Putusan Bawaslu esok hari menjadi penanda penting kelembagaan Bawaslu dalam sejarah kepemiluan Indonesia. Putusan besok akan mencerminkan sifat kelembagaan Bawaslu, kemandirian dan konsistensi lembaga penegakan hukum pemilu, dan sejauh mana Bawaslu mampu mengartikulasikan wewenang kuatnya dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan pemilu.
“Kami ingin lihat putusan Bawaslu besok. Kalau Bawaslu konsisten dan mendasarkan pada konstitusi, kita patut berbangga. Tapi kalau tidak, wassalam,” ucap Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Faris.