Saya hanya bisa tertawa sendirian, ketika KPU dan DPR sepakat kalau Calon Kepala Daerah yang berstatus terpidana percobaan dinyatakan memenuhi syarat dalam penetapan Pasangan Calon (Paslon) Kepala Daerah. Perihal ketentuan itu selanjutnya direspon dengan nada satir oleh Titi Anggraini (Direktur Ekseskutif Perludem) dalam status facebooknya:
“Masa orang yg membuang sampah sembarangan karena dia masuk kategori perbuatan pidana tidak boleh mencalonkan diri di pilkada?
Pak, bagi saya pemimpin yang buang sampah sembarangan tidak layak jadi calon apalagi dipilih di pilkada.
Ini sikap. Ini prinsip. Dari kecil kita ajari anak-anak kita: “Nak jangan buang sampah sembarangan. Sayangilah lingkungan.” Kok disederhanakan sekali. Sungguh saya kecewa. Pakai berat.â€
Apa yang diresahkan oleh Mba Titi, pada sesungguhnya beliau menginginkan Pilkada berintegritas. Setiap Calon Kepala Daerah harus bersih dari segala rekam jejak perbuatan tercela, sekecil apapun.
Ini ibarat penyelenggara pemilihan beserta dengan ceruk pasar pemilih dibebani tanggung jawab yang maha berat, Calon Kepala Daerah haruslah yang berwajah dan berhati malaikat. Pertanyaannya, apakah dimungkinkan menemukan sosok malaikat di Pilkada nanti? Rasa-rasanya harapan itu hanya ada di republik mimpi plus negeri demokrasi di atas awan.
Kerja setan
Menemukan resep yang tepat untuk demokrasi sebagai seperangkat nilai, asas pemilihan langsung atau tidak langsung, seolah-olah kita selalu menjadi juara bertahan, berada dirangking pertama dengan hanya meraih banyak kekurangan. Namun, dalam sisi kelebihannya berkali-kali kita semua menjadi gagal.
Demokrasi dengan asas tidak langsung, Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, sudah terbentang dalam fakta sejarah, betapa suburnya praktik korupsi dan kolusi dengan sistem itu. Pemilihan Kepala Daerah secara tidak langsung dituding malah melahirkan Kepala Daerah nir-integrity. Maka, selanjutnya digantikan dengan sistem pemilihan langsung, yakni dengan melibatkan rakyat secara langsung memilih sendiri Calon-Calon Kepala Daerah yang tersedia. Ironis dan nyata kemudian Pilkada langsung tak jauh berbeda dengan sistem tidak langsung, Kepala Daerahnya tetap juga potensial korupsi.
Konon, regulasi Pilkada saat ini didesain agar berbiaya lebih rendah, sehingganya Pilkada kemudian “dibongsai†secara serentak, biaya kampanye ditanggung sebagian oleh negara, suap politik berupa mahar dan money politic “dikrminalisasi.†Tiada lain, semua ketentuan imperatif itu, diharapkan akan mencegah Calon Kepala Daerah terpilih tidak menjadi pelaku korupsi, dengan hajat mengembalikan biaya keterpilihannya, melalui cara-cara setan menggarong dan menilap uang negara.
Harapan itu hanyalah harapan kosong, di balik rasa sumringah pembentuk Undang-Undang Pilkada, seolah-seolah telah sukses melahirkan regulasi yang sempurna. Padahal, kalau dicermati lebih teliti lagi, regulasinya tetap membuka peluang bagi Calon Kepala Daerah menjalankan kerja-kerja setan. Disadari bahwa tidak sembarang Parpol akan meminang kandidat, kalau elektabilitasnya tidak menjajikan. Dan untuk meraih tingkat kedipilihan itu, mau tidak mau harus menggandeng lembaga survei, pun lembaga survei bukan hanya dibutuhkan pada saat menyandang status Bakal Calon, namun disaat sudah ditetapkan sebagai Paslon, lembaga survei lagi-lagi amat dibutuhkan untuk mendongkrak popolaritas dan elektabilitasnya.
Dalam konteks itu, kemana lagi sang Calon memeroleh dana untuk membayar lembaga surveinya? Kadang-kadang Calon Kepala Daerah menjalin kerja sama dengan pengusaha (cukong bisnis). Ia disiapkan anggaran dengan catatan pengusaha tersebut dijanjikan proyek bersyarat tangguh, di masa mendatang kalau sudah terpilih sebagai Kepala Daerah.
Itu sudah bukan rahasia lagi. Banyak Kepala Daerah tersandung kasus korupsi bersama dengan pengusaha. Acapkali korupsinya terjadi, karena pengusaha yang memenangkan lelang proyek, prosedurnya dimanipulasi dengan data-data fiktif.
Itu baru biaya untuk lembaga survei, belum dana-dana lainnya yang dikalkulasi sebagai ongkos politik untuk membayar Parpol pengusung (mahar), tim kampanye, termasuk pemilih dalam bayaran berupa money politic. Toh pada kenyataannya UU Pilkada masih terlalu rumit untuk menyeret Paslon dalam tindak pidana pemilihan “suap politik,†karena persyaratannya harus terbukti sebagai politik bagi-bagi uang yang Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM).
Namanya saja Pilkada yang hemat biaya. Seringkali dilupakan biaya yang harus disediakan pula bagi Paslon Kepala Daerah, di saat harus berurusan dengan masalah hukum. Dalam keadaan terpaksa juga harus memakai jasa pengacara yang bayarannya selangit. Inilah yang melanda Paslon Kepala Daerah yang berjuang mati-matian hingga berurusan dengan sengketa hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Fee untuk pengacara yang menjadi kuasa hukumnya sudah jelas membutuhkan bayaran rupiah cukup fantastis. Belum lagi kalau Paslon Kepala Daerahnya berurusan pula dengan Bawaslu, KPUD dalam ihwal pembatalan atas dirinya sebagai Paslon Kepala Daerah, sudah pasti harus bergandengan dengan pengacara kawakan pula.
Sungguh kemudian bayaran jasa seorang pengacara, polanya tidak jauh berbeda dengan bayaran lembaga survey. Pengusaha di belakang Calon Kepala Daerah yang akan menanggungnya, asal ia legowo akan membayarnya dengan via proyek di saat sudah terpilih/telah dilantik sebagai Kepala Daerah.
Itulah sekelumit dan segala tetek-bengek Pilkada langsung. Mustahillah menaruh asa kepada setiap Calon untuk menjadi malaikat, di saat sistem masih memberinya peluang untuk bekerja di atas cara-cara setan.
Malaikat Pilkada
Tentu menanggulangi segala cara-cara kerja setan itu, tidak dapat dibebankan pada regulasi Pilkada semata. Politik dan hukum dalam keadaan ini harus menjalin kerja sama yang erat. Partai politik sudah harus sadar dari peringatan yang dulu-dulu, sistem kaderisasi dan rekrutmen Calon Kepala Daerah merupakan tanggung jawabnya untuk menghadirkan kandidat yang populer juga mumpuni elektabilitasnya, sehingga tak butuh lagi jasa lembaga survei yang harus dibayar mahal.
Di saat yang sama, kembalikan marwahnya Pilkada yang menjunjung keadilan elektoral, bahwa sejatinya suap politik tidak mesti harus terjadi dalam keadaan TSM, baru dapat terkualifikasi sebagai delik pemilihan. Dengan terjadinya baik secara langsung maupun secara tidak langsung politik bagi-bagi uang itu kepada pemilih, termasuk kepada Parpol, penegakannya sudah dapat dijalankan.
Terakhir, setiap pranata hukum (Pengadilan) yang akan menangani perkara dan sengketa Pilkada harus disederhanakan. Tidak perlu ada banding atau kasasi untuk perkara pidana dan administrasi pemilihan, cukup diselesaikan semua di tingkatan pertama. Sedangkan untuk sengketa hasil pemilihan melalui badan peradilannya (yang khusus), sekecil-kecilnya akan menghemat biaya sengketa, kalau Pengadilan Negeri di setiap daerah pemilihan yang ditempatkan sebagai lembaga pertama dan terakhir mengadilinya.
Sembari dengan Pilkada langsung, politik hukum Pilkada yang seiring dengan sistem keadilan elektoral demokrasi, kalau tidak mampu menemukan malaikatnya di Pilkada nanti, setidak-tidaknya kita dapat menghadirkan Kepala Daerah yang mewakili sebagian sifat-sifat malaikat.[]
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI
Penulis Buku “Carut-Marut Pilkada Serentak 2015â€