August 8, 2024

MK: Pemilih Pindahan Dapat Semua Surat Suara Tak Sesuai Konsep Keterwakilan

Pasal 348 ayat (4) Undang-Undang (UU) Pemilu digugat oleh dua orang mahasiswa rantau, yakni Joni Iskandar dan Roni Alfian Saritonga sebagai pemohon perkara No.19, serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan empat pemohon lain dari perkara No.20. Pasal ini digugat karena dinilai menghalangi hak pemilih pindahan untuk memilih pada Pemilihan Legislatif (Pileg). Joni dan Roni memiliki preferensi pilihan tak hanya untuk Pemilihan Presiden, melainkan juga di Pileg, baik tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, DPR Daerah (DPRD) provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota.

Pada sidang pleno yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (25/3), Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebetulnya memberikan keterangan yang menguntungkan argumentasi pemohon (Baca: http://rumahpemilu.org/kpu-dan-bawaslu-ingin-pemilih-pindahan-dapat-semua-jenis-surat-suara/), namun hakim MK berpijak pada konsep keterwakilan, filosofi pembentukan daerah pemilihan (dapil), dan kejelasan pertanggungjawaban wakil rakyat yang pada sidang-sidang sebelumnya juga telah diutarakan.

“MK berpendapat, ketentuan di dalam Pasal 348 ayat (4) diberlakukan terhadap pemilih dengan kondisi tertentu. Hal ini merupakan konsekeunsi logis dari adanya dapil. Dapil tidak hanya menentukan wilayah pemilihan bagi peserta pemilu, melainkan pula batas pemilihan bagi pemilih. Dapil adalah batas penggunaan hak pilih, baik hak memilih maupun hak dipilih. Dengan demikian, Pasal 348 ayat (4) adalah kebijakan hukum yang logis dan tidak bisa dianggap pembatasan hak pilih,” putusan MK sebagaimana dibacakan oleh hakim Arief Hidayat di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat (28/3).

Melanjutkan argumentasi, Arief menerangkan bahwa proses konversi suara rakyat menjadi kursi dikanalisasi melalui pemilu berbasis dapil. Dalam hal ini, dapil pun bermakna sebagai wilayah representasi dimana wakil rakyat mempertanggungjawabkan kebijaknanya kepada rakyat di dapil tersebut. Konsep dapil membuat relasi antara pemilih dengan wakilnya menjadi jelas.

“Di dalam dapil, terdapat dua subjek dalam pemilihan yang saling berinteraksi. Agar dapat berinteraksi, maka wakil rakyat haruslah orang yang dapat dimintai pertanggungjawabannya oleh pemilih, dan pemilih adalah orang yang dapat meminta pertanggungawaban terhadap wakilnya. Dengan demikian, hanya pemilih yang terdaftar di suatu dapilnyalah yang dapat terkoneksi untuk memilih di suatu dapil,” jelas Arief.

Dengan putusan ini, MK menegaskan bahwa ketika seorang pemilih keluar dari dapilnya, maka hak pilihnya tak lagi valid untuk digunakan. Malah, jika pemilih diperbolehkan memilih, konsep dapil dan pertanggungjawaban keterwakilan menjadi tak jelas.

Putusan diambil MK setelah mendengarkan keterangan KPU dan Bawaslu, sementara DPR RI tak memberikan keterangan apapun, baik lisan maupun tulisan. Pada suatu rapat dengar pendapat di Komisi II DPR RI (29/82018), terjadi perdebatan diantara anggota Komisi II mengenai keberlakuan Pasal 348 ayat (4). Bahkan, dua anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan UU (RUU) Pemilu, yakni Rambel Kamarul Zaman dari Partai Golongan Karya (Golkar), dan Rufinus Hutauruk dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) meminta KPU memberikan setidaknya tiga jenis surat suara kepada pemilih pindahan. (Baca: http://rumahpemilu.org/pasal-348-jadi-perdebatan-komisi-2-minta-pindah-memilih-minimal-dapat-3-surat-suara/).

17 April 2019 nanti, sesuai dengan Pasal 348 ayat (4), setiap berpindah dari suatu dapil pemilihan legislatif, pemilih akan kehilangan satu jenis surat suara (Baca: http://rumahpemilu.org/pemilu-2019-pemilih-yang-pindah-tps-berpotensi-hanya-dapat-memilih-capres-cawapres/).