August 8, 2024

Yang Mesti Dipersiapkan dan Dibuktikan untuk Bersidang di MK

Pasca penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara pada Selasa (21/5) pukul 3 pagi, calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 02, Sandiaga Shalahuddin Uno mengatakan akan menempuh jalur hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Niat tersebut diutarakan setelah kubu 02 sebelumnya mengatakan tak akan pergi ke MK untuk mendapatkan keadilan pemilu.

Niat untuk menyelesaikan kekecewan terhadap hasil perolehan suara diapresiasi oleh sejumlah aktivis pemilu dan demokrasi. Salah satunya Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Titi berharap, langkah ke MK diiringi dengan narasi yang membangun kepercayaan publik terhadap proses hukum yang berlangsung di MK.

“Harapannya, elit politik, kalau proses hukum sudah diambil, mereka membangun narasi publik yang berkontribusi positif terhadap proses hukum yang berlangsung, bukan membangun spekulasi dan provokasi yang bisa melahirkan ketidakpercayaan publik,” tandas Titi pada diskusi “Alternatif Penyelesaian Kisruh Pemilu” di Guntur, Jakarta Selatan (21/5).

Titi menilai proses hukum di MK merupakan forum yang absah untuk semua pihak. Peserta pemilu dapat menunjukkan bukti-bukti kecurangan yang ditemukan selama penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu dapat memperlihatkan kerja-kerja yang telah dilakukan, dan publik dapat melihat bukti-bukti yang disajikan selama persidangan untuk menilai kebenaran tuduhan kecurangan yang dilontarkan di media sosial.

Yang harus dipersiapkan 02

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari mengimbau agar kubu 02 untuk mempersiapkan alat bukti yang valid, relevan, dan mampu membalikkan keadaan. Belajar dari ditolaknya permohonan di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), bukti berupa fotokopi berita online tak dapat digunakan.

“Pihak yang ingin memperkarakan hasil pemilu harus membuktikan bahwa alat buktinya itu akan membalikkan keadaan. Selisihnya kan 17 juta. Nah, harus dibuktikan ada lebih dari 17 juta suara, yang semestinya adalah miliknya, tetapi jadi pihak lawan,” kata Feri.

Ia menilai sulit membuktikan terjadinya kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) saat selisih suara mencapai hampir 17 juta. Terlebih, jika bukti-bukti tak dipersiapkan sejak awal. 02 harus dapat memberikan bukti kecurangan yang terjadi di 200 ribu tempat pemungutan suara (TPS) dengan hitungan satu TPS terdapat manipulasi sebesar 100 suara.

“Paling aman membuktikan sampai 200 ribu TPS. Karena kan tidak semua alat bukti akan diterima MK,” tukas Feri.

Pada sidang PHPU tahun 2014, kubu Prabowo-Hatta diharuskan membuktikan kecurangan terjadi di kurang lebih 57 ribu TPS. Jumlah tersebut tak terpenuhi sehingga gugatan tak dikabulkan oleh MK. Di 2019, jika kubu 02 tak dapat menunjukkan bukti kecurangan di 170 ribu hingga 200 ribu TPS, menurut Feri, sulit dikabulkan.

“Dengan angka 17 juta ini, dengan perkiraan hingga 200 ribu TPS, akan sangat rumit dan hasilnya condong kepada tidak memuaskan pemohon. Ada beberapa partai yang sudah persiapkan dari awal. PKS (Partai Keadilan Sejahtera), saya dengar kadernya mengawal penghitungan suara di TPS, dapat form C1 sabagai alat bukti saksi hadir di TPS. Hanya, beberapa fokus ke Pileg (Pemilihan Legislatif). Jadi, form C1-nya tidak untuk Pilpres (Pemilihan Presiden). Berat di MK kalau tidak ada alat bukti seperti itu,” urai Feri.

Yang mesti dibuktikan

Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi berpendapat bahwa yang pertama kali harus dibuktikan pada persidangan PHPU di MK yakni, benarkan selisih 16.957.123 disebabkan oleh kesalahan hitung dan berapa hasil perolehan suara yang seharusnya. Jika dua pertanyaan telah dijawab dengan bukti-bukti yang valid, kemudian kubu 02 dapat menjelaskan bagaimana kecurangan dapat terjadi secara TSM.

“Nah, itu yang harus dibuktikan lebih dulu. Habis itu baru dibuktikan kesalahannya ini terkait dengan kesalahan TSMB (TSM dan brutal). Kalau selisih 16 juta, 02 harus buktikan kalau mereka harusnya menang 16 juta itu. 16 juta itu dari mana juga harus dibuktikan. Misal, 17 juta ini terjadi karena ada kecurangan TSMB sehingga selisihnya jauh sekali,” ujar Veri.

Menurutnya, pembuktian kecurangan TSM bukanlah hal mudah sekalipun pelanggaran TSM bersifat konkrit dan dapat diukur. Terstruktur berarti kecurangan melibatkan penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu. Sistematis, yaitu telah direncanakan. Masif, bersakala besar. Untuk Pemilihan Presiden, yang harus dibuktikan yakni kecurangan terjadi d 50 persen provinsi.

“Misal, ASN (aparatur sipil negara), apakah benar ada instruksi dari pemerintah secara tertulis memerintahkan seluruh ASN untuk memenangkan calon tertentu? Ada gak SK (surat keputusan)-nya, dan mungkin dibentuk tim pemenangan yang melibatkan struktur pemerintahan? Kalau pun ada, harus dibutkikan, apakah struktur yang ada itu bekerja untuk memenangkan. Kalau bergerak, seberapa besar dampak dari pergerakan tim yang dibentuk ini? Apakah mempengaruhi hasil pemilu? Seberapa besar dampaknya? Berapa juta pemilih yang berhasil digerakkan? Kalau cuma satu provinsi, lalu satu provinsi itu cuma satu juta, ya gak bisa,” terang Veri.

Tak harus ke MK

Titi, Feri, dan Veri berpendapat bahwa penyelesaian sengketa hasil pemilu tak mesti diselesaikan di MK. Kekecewaan dapat juga diselesaikan secara politik. Misal, paslon nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amien berkomunikasi dengan Prabowo-Sandi agar situasi politik Indonesia kembali damai dan kondussif. Mekanisme di MK memang dapat ditempuh, namun memerlukan bukti yang kuat.

“Kondisi hari ini, tidak harus gugat ke MK. Tapi, kalau tidak benar-benar puas dengan hasil pemilu, ada bukti yang sangat kuat, benar-benar ingin memperoleh keadilan, MK sudah disiapkan. Hanya saja, kalau sudah bisa menerima hasilnya, atau dirasa kayaknya buktinya gak cukup, kita berharap bisa dilakukan dengan mekanisme politik,” tutup Veri.