November 27, 2024

Menuju Pemilu Ramah Lingkungan

ilustrasi-tahapan-09

Masalah lingkungan selalu menjadi perhatian masyarakat secara internasional, misalnya ketika terjadi kebakaran hutan, pencemaran laut, polusi udara, dan lain-lain. Adanya perhatian dari dunia internasional itu karena kejadian yang terkait dengan lingkungan di suatu tempat dapat berpengaruh pada lingkungan di tempat lainnya.

Ketika terjadi kebakaran hutan di Kalimantan, tidak hanya berpengaruh pada lingkungan di daerah tersebut itu saja, tetapi juga menjadi perhatian dan kekhawatiran negara lain, baik yang terkena polusi asap juga kekhawatiran akan hilangnya hutan tersebut akan mengurangi suplai oksigen bagi seluruh dunia. Demikian pula, ketika satu demi satu pohon di hutan ditebang untuk keperluan pembangunan dan industri, hal ini menjadi kekhawatiran masyarakat dunia, lama-lama pepohonan di hutan akan habis.

Terlebih lagi, salah satu kebutuhan utama masyarakat yaitu kertas, bahan bakunya berasal dari pohon, yaitu pohon pinus. Sehingga untuk mengatasi semakin berkurangnya pohon untuk dijadikan kertas, masyarakat dunia berupaya melakukan gerakan penghematan kertas dan dengan didukung kemajuan di bidang teknologi, semakin mengurangi penggunaan kertas untuk berbagai keperluan di berbagai bidang.

Menurut Prof. Sudjarwadi (UGM), 1 rim kertas setara dengan 1 pohon berumur 5 tahun. Untuk setiap ton pulp (bubur kertas) dibutuhkan 4, 6 meter kubik kayu dan 1 ton pulp menghasilkan 1,2 ton kertas. Dengan asumsi berat 1 lembar kertas 80 gram, 1,2 ton kertas setara dengan 15.000 lembar atau 300 rim, berarti diperlukan hutan seluas 0,029 hektar untuk menghasilkan 300 rim kertas.[1]

Penyelenggaraan pemilihan umum merupakan pesta demokrasi yang memerlukan banyak kertas, tidak hanya untuk dicetak menjadi surat suara, namun juga untuk dicetak menjadi formulir-formulir, buku-buku peraturan dan pedoman, belum lagi dicetak menjadi alat-alat peraga kampanye dan sosialisasi, seperti poster, brosur, pamflet, stiker. Pada tahap pencalonan pun entah berapa rim kertas digunakan untuk keperluan fotokopi dokumen persyaratan pencalonan.

Demikian pula ketika penyusunan regulasi pemilu, tidak terhitung berapa rim kertas terbuang dalam proses pembuatan dan pembahasan draf peraturan perundang-undangan. Belum lagi pada proses penyelesaian sengketa di beberapa badan peradilan dan Mahkamah Konstitusi, ratusan rim kertas digunakan untuk keperluan fotokopi berkas dan alat bukti.

Dalam penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2015 saja, fotokopi alat bukti dari KPU saja memenuhi satu lantai Gedung MK[2], belum lagi dari pihak pemohon maupun pihak terkait lainnya. Belum lagi jika penyelesaian sengketa juga telah dilakukan sebelumnya di Bawaslu maupun Pengadilan Tata Usaha Negara. Belum lagi, bila putusan pengadilan atau Mahkamah Konstitusi mengharuskan perubahan nama calon peserta pemilu atau pemilu ulang, yang menyebabkan surat suara harus dicetak kembali.

Oleh karena itu, penyelenggaraan pemilu, termasuk pilkada di Indonesia merupakan kegiatan yang sangat memakan banyak kertas. Dalam seluruh tahapan pemilu maupun pilkada, tidak terhitung berapa pohon yang harus ditebang untuk digunakan mencetak kertas yang digunakan sepanjang tahapan pemilu dan pilkada.

Penderitaan pohon tidak terbatas pada ditebang saja, namun masih ditambah dengan ditusuki paku atau dipasangi tali untuk menempel poster atau spanduk partai politik, calon legislatif atau pasangan calon presiden dan wakil presiden, juga pasangan calon kepala daerah. Ketika masa kampanye usai, entah berapa ton kertas yang berakhir di tempat pembuangan sampah setelah alat peraga kampanye diturunkan dan dibersihkan dari tempat pemasangannya.

Ketika penghematan kertas menjadi gerakan bersama masyarakat dunia, penyelenggaraan pemilu seolah luput dari upaya untuk melakukan penghematan kertas. Sistem pemilu untuk memilih Anggota DPR dan DPRD yang menggunakan sistem proporsional daftar calon terbuka seolah tidak cocok dengan gerakan penghematan kertas karena surat suara yang dicetak menjadi luar biasa besarnya, berukuran 42 cm x 52 cm atau satu surat suara lebarnya setara dengan dua lembar kertas ukuran quarto.

Besarnya ukuran surat suara disebabkan karena di dalam surat suara terdapat kolom partai politik sebanyak 12 kolom. Masing-masing kolom partai disediakan 12 baris untuk nama anggota calon legislatif. Ukuran surat suara pemilu DPD juga sama 42 cm x 52 cm. Di dalam surat suara untuk DPD, terdapat foto masing-masing calon anggota DPD.

Jumlah surat suara yang dicetak untuk Pemilu Legislatif 2014 adalah sebesar 185,8 juta surat suara sesuai jumlah DPT ditambah cadangan2%. Jumlah surat suara untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dicetak sama dengan jumlah surat suara pemilu Legislatif, meskipun ukuran surat suara untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden lebih kecil, yaitu 18 cm x 23 cm berisi dua pasang foto calon presiden dan wakil presiden.[3]  Di samping itu, untuk keperluan pemungutan suara ulang (PSU) Pemilu Legislatif 2014 dicetak kembali 182.069 surat suara tambahan.[4]

Dalam pelaksanaan Pilkada 2015, surat suara dicetak berdasarkan jumlah DPT ditambah cadangan 2,5% dari DPT setiap TPS. Ditemukan banyak surat suara rusak pada saat dicetak maupun dalam proses distribusi, seperti di Sleman, ditemukan sekitar 9.722 surat suara rusak pada saat dicetak, seperti garis kolom terpotong, tinta cetak tidak bagus, dan noda pada foto pasangan calon sehingga harus dilakukan cetak surat suara ulang.[5] Di Ponorogo, 1.175 surat suara dimusnahkan oleh KPU Kabupaten Ponorogo karena rusak baik dalam proses pencetakan dan distribusi.[6]

Sementara itu, putusan badan-badan peradilan dalam sengketa pencalonan kepala daerah juga menyebabkan dicetak ulangnya surat suara. Misalnya, pemilihan gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Tengah awalnya ditetapkan tiga pasangan calon, yaitu H Sugianto-Habib Said Ismail, Willy Midle Yoseph-HM Wahyudi K Anwar dan Ujang Iskandar-Jawawi. Atas perintah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, KPU kemudian mencoret pasangan Ujang Iskandar-Jawawi, sehingga peserta Pilkada tersisa dua pasangan.

Pencoretan Ujang Iskandar-Jawawi tersebut menimbulkan konsekuensi. KPU yang sudah mencetak surat suara dan formulir yang berisi tiga pasangan calon, terpaksa mencetak ulang surat suara yang hanya berisi dua pasangan calon, tanpa Ujang Iskandar-Jawawi. Polemik berlanjut karena pasangan Ujang Iskandar-Jawawi menggugat putusan KPU ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Jakarta.[7]  Namun, Putusan Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan Kasasi KPU, sehingga pilkada dilanjutkan tanpa perlu melakukan pencetakan surat suara ulang.[8]

Karena banyaknya kertas yang diperlukan dalam berbagai penyelenggaraan pemilu di Indonesia, tentu perlu dilakukan upaya untuk mengurangi penggunaan kertas dalam pemilu. Antara lain dengan memaksimalkan pemanfaatan teknologi, misalnya untuk pemenuhan syarat calon, dokumen atau berkas pencalonan tidak perlu difotokopi tetapi discan, kemudian dimasukkan dalam bentuk CD ke KPU, baru pada tahap verifikasi dilakukan pengecekan dengan dokumen aslinya. Kertas daur ulang dapat mulai dicoba untuk digunakan pada pencetakan formulir-formulir.

Untuk surat suara, penggunaan kertas daur ulang sebenarnya pernah dipertimbangkan oleh KPU. Akan tetapi, jumlah pabrik kertas yang dapat menyediakan bahan kertas dari hasil daur ulang masih terbatas jumlahnya, sementara jumlah kertas yang diperlukan untuk pemilu sangat besar. Pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004, KPU bahkan pernah melakukan inovasi menggunakan surat suara hasil olahan limbah tebu dan tidak ditemukan kendala berarti pada penggunaan surat suara tersebut.[9] Penggunaan kertas dari hasil daur ulang juga harus memperhatikan standar kualitas surat suara sehingga surat suara tidak mudah rusak ketika dilipat atau ketika digunakan untuk memberikan suara.

Kalau ditarik lebih jauh, sistem pemilu yang dipilih pada pemilu legislatif juga akan berpengaruh pada penggunaan kertas untuk surat suara. Apakah akan tetap menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka atau menggunakan daftar calon tertutup ternyata berpengaruh juga pada ukuran surat suara, berapa banyak kertas yang akan digunakan dan berapa banyak pohon yang harus ditebang untuk memenuhi kebutuhan kertas tersebut.

Jika demikian, tentu hal ini berpulang kembali pada para penyusun Undang-Undang Pemilu yang akan memilih sistem pemilu mana yang akan diberlakukan, dan masalah penggunaan kertas ini serta dampaknya terhadap lingkungan tentunya harus menjadi pertimbangan dalam menentukan sistem pemilu yang akan dipilih, dan seyogianya apapun sistem pemilu yang dipilih dapat mengarahkan seluruh tahapan pemilu menjadi lebih ramah terhadap lingkungan. []

CATHERINE NATALIA

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)


[1] Mari Hemat Satu Lembar Kertasmu, https://widikrisna.wordpress.com/2013/07/06/ mari-hemat-satu-lembar-kertasmu/

[2] Ruslan Tambak, Husni Kamil: Alat Bukti KPU Hampir Menutup Satu Lantai Gedung MKhttp://www.rmol.co/read/2016/01/14/231807/Husni-Kamil:-Alat-Bukti-KPU-Hampir-Menutup-Satu-Lantai-Gedung-MK-, Kamis, 14 Januari 2016.

[3] Ira Sasmita, Surat Suara Pilpres Dicetak Berdasarkan DPT Pileg, m.republika.co.id/berita/pemilu/menuju-ri-1/14/06/06/n6q16, 6 Juni 2014.

[4] KPU Tambah Pencetakan Surat Suara Pemilu Legislatif, www2.jawapos.com/baca/artikel/32/kpu-tambah-pencetakan-surat-suara-Pemilu Legislatif, 15 April 2014.

[5] Issha Harruma, Surat Suara Dicetak Ulang, m.republika.co.id/berita/koran/politik-koran/15/11/24/nyb4s

[6] Destyan H. Sujarwoko, KPU Ponorogo Hancurkan 1.175 Surat Suara Rusakhttp://www.antarajatim.com/lihat/berita/169257/kpu-ponorogo-hancurkan-1175-surat-suara-rusak, 8 Desember 2015.

[7] Konflik Paslon, KPU Bingung Cetak Surat Suara, http://m.inilah.com/news/detail/2257497/konflik-paslon-kpu-bingung-cetak-surat-suara

[9] Dian Ramdhani, KPU Pertimbangkan Cetak Surat Suara Dengan Kerta Daur Ulang,http://nasional.sindonews.com/read/767068/12/kpu-pertimbangkan-cetak-surat-suara-dengan-kertas-daur-ulang-1375168417