Rencana DPR untuk merevisi Undang-Undang Pilkada merupakan sesuatu hal yang pantas. Sebab memang berdasarkan Pilkada serentak 2015 kemarin, Undang-Undang a quo yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan Pilkada tersebut, pada kenyataannya banyak mengalami kekurangan. Dan pastinya, revisi tersebut harus dilaksanakan sesegera mungkin, karena tahapan Pilkada berikutnya (2017) tinggal dalam hitungan bulan lagi.
Salah satu isu krusial yang dianggap penting untuk mengalami revisi terbatas oleh DPR, yakni ketentuan tentang suap politik Pilkada. DPR berencana mengubah ketentuan suap politik Pilkada dari segi pertanggungjawaban perbuatannya.
Konon, DPR menghendaki sanksi suap politik Pilkada cukup menggunakan sanksi administratif saja. Mereka pada beralasan bahwa kalau menerapkan pertanggungjawaban pidana, adalah sulit menjerat para pelakunya.
Saya memandang kehendak DPR tersebut keliru. Oleh karena itu, dalam tulisan ini yang menjadi penting untuk dikemukakan: Pertama, kepada siapakah sanksi administratif itu sebenarnya pantas diterapkan?; Kedua, jika ketentuan terkait suap politik Pilkada perlu mengalami revisi, bagaimanakah seharusnya perubahan tersebut sehingga dapat menjerat para pelakunya?
Sanksi administratif
Sebenarnya tidak sulit untuk memahami, kepada siapa sesungguhnya sanksi administratif itu berlaku. Sebab hampir semua Undang-Undang yang memberikan kewenangan kepada setiap organ negara, yaitu si pemangku jabatan, entah sebagai eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah diterangkan dengan jelas, mereka-mereka inilah dapat dimintai pertanggungjawaban administratif, manakalah melakukan tindakan yang dapat merusak wibawa dan kehormatan jabatannya.
Dalam konteks itu, Calon Kepala Daerah tersebut, belumlah dalam statusnya sebagai pejabat negara. Sehingga menjadi tidak benar kalau sanksi administratif diterapkan kepadanya.
Perlu diingat, bahwa sanksi administratif itu selalu melekat pada “pemangku jabatan†yang menjadi wajib secara moral (moral binding) menjaga kehormatan jabatan yang sedang diisinya itu. Dan lagi-lagi Calon Kepala Daerah, dimanakah logikanya ia sebagai pejabat yang harus menjaga wibawa jabatannya, sehingga dapat dikenakan sanksi administratif dalam bentuk pemberhentian dari penetapannya sebagai Pasangan Calon Kepala Daerah. Pun statusnya ia baru sebagai Calon, yang belum tentu terpilih dalam jabatan Kepala Daerah tersebut.
Jadi dalam hemat penulis, bukan pada revisi bentuk pertanggungjawaban perbuatan dari suap politik Pilkada yang menjadi masalah, sehingga masih banyak pelakunya tidak dapat dihentikan. Akan tetapi pada ketentuan itu sendiri yang tidak cermat dalam pencantuman sanksi pidananya. Sebab bagaimana mungkin sebuah ketentuan pidana dapat berlaku efektif, kalau pencantuman sanksi pidananya saja masih terkesan setengah hati.
Bagaimana revisinya?
Letak cacat yuridis suap politik Pilkada dalam Undang-Undang yang mengatur tentang itu, memang “cukup parah†jika diperhatikan secara cermat. Sebab baik mahar politik maupun money politic dalam pemuatan kaidahnya, sengaja dari sanksi pidananya dikaburkan.
Dalam ketentuan mahar politik, memang dapat menjerat Parpol sebagai pihak yang menerima imbalan (mahar politik) dari Bakal Calon Kepala Daerah. Parpol diancam dengan sanksi pidana denda dan pendiskualifikasiannya sebagai partai yang tidak dapat lagi mengusung Calon Kepala Daerah pada periode berikutnya di daerah itu. Akan tetapi Bakal Calon Kepala Daerah sebagai pihak pemberi mahar, justru tidak mencantumkan satupun jenis sanksi pidana pokok (penjara ataukah denda misalnya).
Pun demikian ketentuannya dapat mendiskualifikasi Calon Kepala Daerah jika dalam proses pencalonannya terlibat sebagai pemberi mahar, akan tetapi menjadi mustahil menjeratnya dengan ancaman pendiskulifikasian tersebut, kalau tidak ada ancaman pidana pokoknya.
Logikanya, akan terbentur dengan permasalahan, bagaimana mungkin memproses si pemberi mahar itu dalam proses hukum acara pidana, kalau rentetan perbuatannya tidak diikuti dengan ancaman pidana pokok. Jelas akan menjadi sia-sia, sebab penyidik, penuntut, dan hakim pengadilan, sudah dikunci dengan prosedurnya masing-masing dalam konstruk: “si pelaku diancam pidana pokok apa.â€
Tidak hanya itu, kejanggalan dari ketentuan suap politik Pilkada, pada money politic juga demikian kaburnya. Pelarangan atas perbuatan itu dicantumakan dalam Undang-Undang Pilkada, akan tetapi ancaman pidananya malah merujuk ke Pasal 149 KUHPidana. Dalam konstruk hukum pidana, jelas model ketentuan ini sangat rancu dan pada hakikatnya yang demikian merusak maxim legalitasnya hukum pidana.
Sehingga apa yang terjadi? kita bisa melihatnya, dalam setiap money politic yang terjadi pada Pilkada 2015 kemarin; KPUD, Panwaslu/Bawaslu, dan Penyidik delik pemilihan malah mengacu ke KUHP semata, dan menerapkan hukum acara atas perbuatan itu dengan metode biasa (KUHAP), yang tidak mungkin penghukumannya dapat berujung pada pendiskualifikasian Calon Kepala Daerah yang terbukti karena dialah pelakunya.
Maka dari pada itu, sebaiknya yang perlu direvisi: Pertama, baik pemberi mahar maupun penerima mahar harus dijerat dengan ancaman pidana pokok (penjara ataukah denda) yang dikuti dengan pencabutan hak politik (hak untuk dipilih) atas pelakunya. Kedua, pelarangan atas money politic dalam Undang-Undang Pilkada, demikian pula sudah harus menancantumkan sanksi pidana pokoknya (penjara ataukah denda) dalam satu ketentuan (tidak lagi merujuk ke KUHPidana) yang diikuiti juga dengan pencabutan hak politik (hak untuk dipilih) atas pelakunya.
Satupun, tidak ada ratio legis yang dapat menjadi piijakan suap politik Pilkada dapat dikatakan sebagai pelanggaran administratif. Maka, sebaik-baiknya solusi yang dapat diambil, hanyalah dengan mempertahankan perbuatan tersebut sebagai perbuatan pidana, prasyarat membangun ketentuan pidana yang cermat. Dengan harapan, prinsip demokratis yang digalakkan dalam Pilkada akan selalu terjaga.[]
DAMANG AVERROES AL KHAWARIZMI
Mahasiswa PPs Hukum UMI & Owner negarahukum.com