Setelah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (baca: Ahok) memilih maju melalui jalur independen pada Pilkada DKI Jakarta 2017, isu deparpolisasi kembali menyeruak ke hadapan public. Eksistensi partai politik tidak dipedulikan kandidat untuk mengusungnya menjadi kepala daerah sebagai kapal politik.
Masalah apa yang menyebabkan kandidat tidak lagi menganggap partai sebagai instrumen utama yang menopang kompetisi politik untuk merebut kepala daerah? Apakah keberadaan partai politik tidak mampu lagi menjaring calon kepala daerah secara fair? Oligarki partai yang dikuasai elit tertentu membuat kandidat “emoh†bergantung dengan partai politik, sehingga memilih jalur independen sebagai kendaraan politik yang digerakkan relawan.
Pertanyaan di atas perlu dicarikan jawaban serta analisnya sebagai obat demokrasi Indonesia yang tak lagi mempercayai partai politik sebagai tempat kaderisasi pemimpin bangsa dari level terendah sampai tertinggi. Menurut saya, kandidat memang sudah kecewa dengan keberadaan partai politik yang tidak mengakomodasi kepentingan-kepentingan kader-kader pontensial partainya. Dengan lebih mengedepankan kedekatan keluarga yang diusung sebagai juru kunci partai, kandidat yang berkualitas secara individu memilih lari dari partai dan memilih jalur independen.
Selain itu, kandidat juga membaca kondisi psikologis elektoral yang tidak lagi mempercayai partai politik sebagai bagian dari komunikasi politik masyarakat dengan pemerintah. Masalah korupsi dan oligarki elit keluarga menjadi alasan partai-partai mulai ditinggalkan basis pemilih. Makanya, istilah deparpolisasi muncul sebagai bentuk protes terhadap partai yang tidak memberikan harapan terhadap tegaknya demokrasi.
Secara pengertiannya, deparpolisasi adalah fenomena psikologis yang tercermin dari menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik. Dalam leksikon ilmu politik, deparpolisasi bisa diukur melalui dua dimensi. Pertama, seberapa banyak pemilih yang mengidentifikasikan dirinya dengan partai atau dimensi afeksi. Kedua, dilihat dari evaluasi masa pemilih terhadap fungsi intermediasi partai atau dimensi rasional (Biorcio dan Mannheimer, 1995).
Berkurangnya pemilih yang mengidentifikasi dirinya dengan partai politik menjadikan partai politik kesulitan memiliki basis pemilih pasti. Berkaca pada Orde Lama, kehadiran Masyumi, PDI, dan Golkar—tiga partai yang dideparpolisasi oleh Soeharto—basis elektoral masing-masing partai itu jelas, pro pemerintah, nasionalis, dan agamais. Berbeda dengan era reformasi, menjamurnya ideologi partai yang sama dengan institusi partai yang berbeda. Impaknya, pemilih juga kesulitan mengidentifikasi dirinya menjadi bagian dari partai yang mana dengan ideologi yang sama.
Besarnya gelombang pemilih pasca-Reformasi 1998 bukanlah bentuk pemilih berkualitas yang mampu menentukan arah politiknya terhadap salah satu partai. Tetapi, kungkungan Orde Baru yang relatif lama menjadikan elektoral memuntahkan kekangan tersebut dengan partisipasi politik yang tinggi. Namun, partisipasi politik yang tinggi tidak menunjukan arah ideologis elektoral yang cerdas—pemilih mengambang (Swing Voter) menjadi populer sebagai basis pemilih yang diperebutkan dibandingkan ideologis.
Alasan-alasan ini lah yang menjadikan berkembangnya kandidat calon indepeden yang maju pada kontestasi kepala daerah kabupaten/kota/provinsi. Selanjutnya, keberadaan calon independen yang masif itu merupakan kebaikan bagi kemapanan demokrasi Indonesia. Istilah deparpolisasi dengan pengurangan jumlah partai dengan mencontoh beberapa negara dengan sistem dwipartai. Persoalan calon independen yang dikendalikan relawan yang tidak terstruktur lebih baik kita menggunakan sistem dua partai.
Kebaikan-kebaikan yang kita analisis secara jernih tentang calon independen yang didukung relawan adalah kemurniaan demokrasi tanpa intervensi. Pendapat tersebut tidak saya sepakati sebagai tesis yang mencerdaskan ke depannya. Pasalnya, tesis yang menjelaskan wacana partai yang oligarki dan korupsi, maka kita harus “emoh†partai adalah bentuk penghancuran demokrasi dari organisasi yang terstruktur.
Persoalan partai politik yang oligarki dan korupsi serta calon independen menjadi solusi memberikan keraguan kita tentang berjalannya demokrasi yang sehat. Artinya, kepala daerah yang didukung relawan bukan partai politik menjadi masalah saat calon kepala daerah tersebut menang. Jika saja, calon yang ikut pilkada melalui jalur independen melakukan kesalahan kepada siapa kita meminta tanggungjawab atas kesalahan yang dilakukanya.
Apakah kita akan memaki-maki relawan yang hanya ada pada saat menjelang dan saat pemilihan, setelah itu mereka membubarkan diri dan menjadi masyarakat biasa? Ini menjadi catatan kalau calon independen yang antipartai gagal paham sebagai pembenaran kegagalan partai sebagai alasan “emoh†peduli dengan partai politik.
Selain kepada siapa pertanggungjawaban kepemimpinan kepala daerah itu ditumpangkan secara kelembagaan yang mengusungnya, masalah State-Capture, alasan calon independen pantas kita ragukan. Artinya, dengan menolak bantuan partai politik, calon independen tentu membangun kerjasama dengan pebisnis (baca: pengusaha) untuk modal pemenangannya menjadi kepala daerah.
Hubungan intim pengusaha-penguasa ini tentu lebih menakutkan dibandingkan partai politik yang bermasalah dengan oligarki dan korupsi. Yang jelas, kesempatan kita menghukum mereka pada saat pemilu bukti ada institusi yang bertanggungjawab atas kesalahan partainya selama berkuasa. State-Capture menjadi hubungan administratif bisnis, kepentingan penguasa-pengusaha yang sulit dideteksi. Jadi, bersengakrutnya persoalan calon independen dan parpolisasi kita harus duduk bersama memikirkan masalah ini secara jernih.
ARIFKI
Koluminis, Alumnus Ilmu Politik Universitas Andalas