November 27, 2024

Asa Demokrasi di Palu Hakim OLEH ZAINAL ARIFIN MOCHTAR

Jika dianalisis konsep kelahirannya, sebagian besar kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) memang diniatkan sebagai pemutus sengketa yang berkaitan dengan perkara politik.

Pada perselisihan hasil pemilihan umum presiden saat ini, MK menemukan panggilan kesejarahan selaku proses pemutus hukum dalam sengketa politik. Kita semua meyakini, membawa ke MK adalah tindakan bermartabat. Persidangan akan berada di antara tim Prabowo Subianto sebagai pemohon, konsep KPU sebagai termohon, dan catatan tim Joko Widodo sebagai pihak terkait, serta bagaimana MK menanganinya.

Permohonan tim Prabowo dapat dikatakan keluar dari pakem. Sesuatu yang sebenarnya sudah mewarnai perdebatan masif belakangan ini. Misalkan saja, menggunakan perbaikan permohonan (versi 34 halaman direvisi menjadi 147 halaman) yang sebenarnya tidak dikenal di UU MK dan Peraturan MK. Muncul pertanyaan mendasar: MK akan menyidangkan permohonan yang mana?

Selain itu, permohonan lebih banyak mengurai sesuatu yang sangat mungkin diperdebatkan dalam kaitan dengan kapasitas MK dan bangunan penegakan hukum kepemiluan. Soal perdebatan MK menghitung angka atau menilai kualitas kepemiluan, misalnya. Selain itu, beberapa substansi permohonan sebenarnya sudah mempunyai koridor penyelesaian. Bengkaknya DPT, misalnya, seharusnya sudah selesai di KPU. Begitu pun tentang kualitas calon yang seharusnya sudah diverifikasi KPU.

Tentang adanya kesalahan/kecurangan di TPS, sebagian besar sudah diselesaikan di Bawaslu dengan rekomendasi penghitungan suara ulang ataupun pemungutan suara ulang, dan sudah ditindaklanjuti oleh KPU.

Terkait penggunaan keuangan negara dan APBN pun merupakan perdebatan lama. Kita paham APBN dibuat dalam bentuk UU dan masuk dalam proses legislasi, dibahas dan ditetapkan oleh DPR dan Presiden dengan melibatkan DPD dalam porsi tertentu. Menjalankan program yang sudah digariskan UU APBN adalah bagian dari ketaatan pemerintah atas UU yang dibuat dan disetujui bersama. Pemerintahan mustahil berhenti dan tidak boleh menjalankan kegiatan terkait dengan dana sosial dan penggajian pegawai karena pilpres.

Kualitas hakim

Saya termasuk yang tidak terlalu percaya bahwa permohonan tim Prabowo sesederhana itu. Rasanya, terlalu sembrono jika hadir dalam bentuk permohonan yang secara hukum sangat bisa diperdebatkan. Namun, pada sisi lain, itulah yang seharusnya dikhawatirkan oleh tim Jokowi. Karena permohonan itu menyasar begitu banyak hal sehingga membuka peluang pembuktian begitu banyak hal, yang bisa jadi akan mengena di salah satu atau dua substansi permohonan. Pada sisi itulah hakim MK akan menghadapi ujian menyelesaikan sengketa politik di hadapan hukum.

Dalam hal itu, ada dua hal utama dalam sengketa ini, yang ketika petanya tergambar jelas, putusan MK sebenarnya sudah bisa terbaca arahnya. Pertama, soal pengetahuan hakim, ideologi hukum para hakim, serta keyakinan yang akan dibangun hakim. Ini bukan urusan sederhana. Di Mahkamah Agung Amerika Serikat, para hakim pada dasarnya terbelah menjadi dua, antara kaum konservatif dan liberal, mengikuti pembelahan partai di AS.

Hal ini terjadi karena pengisian jabatan hakim menggunakan model politicall appointee oleh presiden untuk mendapatkan konfirmasi di Senat. Presiden dari partai Republik cenderung membawa calon hakim konservatif dan sebaliknya presiden dari Demokrat cenderung membawa hakim yang liberal.

Ada kecenderungan hakim konservatif lebih bersifat judicial restraint. Artinya, mereka lebih menahan diri, memegang aturan perundang-undangan dan proses yang ada, tidak mencoba keluar hingga memasuki ranah lain. Biasanya, para hakim restraint akan cenderung kekeuh membagi mana wilayah hakim dan mana wilayah penegakan hukum. Termasuk mana wilayah yang boleh dimasuki hakim dan mana wilayah yang tidak boleh dimasuki hakim.

Sebaliknya, hakim yang cenderung liberal biasanya lebih bersifat judicial activism. Lebih berani keluar dari kungkungan batasan hakim, masuk ke ranah-ranah yang bahkan sudah dimiliki lembaga lain. Misalnya, di kuasa soal judicial review, hakim-hakim yang bercorak activism biasanya lebih berani mendobrak tradisi pembagian parlemen sebagai positive legislature (penyusun UU) dan pelaku judicial review sebagai negative legislature (pembatal UU). Hakim yang bercorak activism sering tergoda menjadi positive legislature dengan menambah sehingga seakan menjadi penyusun UU. Terkadang mereka dijuluki kaum legislating from the bench.

Ditarik ke konsep Indonesia, kita rasanya sulit menentukan mana hakim yang cenderung restraint dan mana yang activism. Dilihat pada sembilan hakim MK saat ini mungkin beberapa di antaranya—melalui tulisan dan pendapatnya—bisa terlacak tendensinya. Namun, yang lain sulit terlacak. Bahkan, jika dilacak dari putusan-putusan yang dulu mereka keluarkan, sangat mungkin membingungkan. Ada beberapa putusan MK melalui hakim yang sama, bisa sangat restraint atau terkadangactivism. Posisi mazhab hakim sulit terjawab.

Padahal, di sinilah letak utama bagaimana memperlakukan permohonan sengketa pilpres ini. Hakim restraint akan ketat dengan prasyarat teknis, tiada keinginan masuk kewenangan lembaga lain. Berbeda dengan activism yang bisa jadi akan keluar dari aturan bahkan masuk kelembagaan lain. Di tengah ketiadaan peta pemikiran dan mazhab para hakim MK, pertanyaan mendasar pada persidangan sengketa pilpres berikutnya adalah bagaimana perlakuan hakim atas permohonan ini? Secara activism atau restraint? Bisa jadi ini yang akan menentukan apakah permohonan diterima (dilanjutkan dengan pemeriksaan persidangan) atau tidak dilanjutkan karena dianggap bukan kompetensi MK.

Pembuktian

Kedua, selain cara pandang hakim menjadi penentu, penentu kedua adalah kualitas pembuktian. Tentu pembuktian dalam ranah bukti otentik, yaitu bukti yang dengan bukti tersebut diyakini kebenaran terjadinya sesuatu yang berhubungan dengan kesalahan sehingga dari situ dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban secara hukum memang harus dilakukan.

Di titik ini, seberapa kuat pembuktian menjadi penting. Semisal tuduhan ketidaknetralan aparatur negara, Polri dan BUMN yang sebagian besar bukti berbentuk tautan berita. Sesungguhnya, jika hanya menggunakan tautan berita tentu saja sangat mungkin menjadi kurang relevan. Tautan berita hanya menunjukkan ada pemberitaan tentang hal tersebut, tetapi tidak bisa dijadikan rujukan bahwa ada kepastian akan hal tersebut bahkan menentukan pertanggungjawaban.

Tautan berita pada dasarnya adalah real evidence. Berdasarkan real evidence, hakim menggali lebih lanjut di pengadilan untuk mendapatkan petunjuk. Alat bukti petunjuk sebenarnya lebih untuk memperkuat keyakinan hakim bergantung dalam menilai apakah tautan berita itu dapat menunjukkan bahwa benar sesuatu telah terjadi dan dapat dihubungkan dengan perkara yang diperiksa, untuk menentukan apakah pihak terkait yang ada dalam sengketa itu harus bertanggung jawab atau tidak.

Sederhananya, tautan berita hanya menunjukkan bahwa ada pemberitaan tentang hal itu. Tetapi betulkah itu terjadi? Betulkah ceritanya persis seperti itu? Jika itu terjadi, siapa yang bertanggung jawab? Apakah sebatas pihak yang diberitakan dalam berita, ataukah dapat menyentuh pucuk atau aktor utama pemberi perintah sehingga hal itu terjadi? Masih ada begitu banyak pertanyaan. Itu sebabnya, pembuktian lebih lanjut diperlukan: keterangan saksi dan bukti surat-surat detail tentang hal itu.

Membuktikan bukti terstruktur, sistematis, dan masif pun demikian. Mustahil membangun pertanggungjawaban hukum secara asumtif. Semisal karena terjadi di satu tempat, di tempat lain juga terjadi. Hukum mengharuskan mengurai dan mendetailkan pertanyaan mendasar soal kapan, di mana, dalam hal apa, serta pertanyaan mendetail lainnya. Begitu pun pembuktian terstruktur, sistematis, dan masif yang memerlukan penjelasan terstruktur itu, bagaimana penjelasannya sehingga dipastikan bahwa seluruh struktur negara yang terlibat memiliki pikiran sama untuk curang bersama-sama dan itu dikomandoi oleh pihak yang jadi bagian dari pilpres?

Begitu pun sistematis dan masif. Harus ada pembuktian bahwa kecurangan itu disusun secara matang dan rapi dan memiliki pengaruh yang sangat masif yang berimplikasi dihitung secara jumlah. Selain itu, penghitungan masif ini juga harus dapat dibuktikan memengaruhi jumlah suara yang kemudian mengubah konstelasi hasil pemilihan. Pembuktian macam ini layak ditunggu jika hadir dalam bentuk saksi dan bukti-bukti surat/dokumen yang membangun keyakinan dan tanpa keraguan.

Pembuktian ini termasuk soal beban pembuktiannya. Apakah akan diberikan kepada pemohon semata, atau bahkan diberikan kepada termohon. Asas hukum mengenal siapa yang mendalilkan, maka ia yang membuktikan. Seberapa jauh MK akan memperkenankan di luar pakem yang ada, tentu saja amat bergantung mazhab para hakimnya.

Baik pendirian hakim ataupun pembuktian, itulah yang akan menentukan demokrasi kita. Namun, asa demokrasi yang ditentukan oleh palu hakim juga membutuhkan kematangan dalam menerima pukulan palu tersebut.

Zainal Arifin Mochtar Pengajar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 18 Juni 2019 di halaman 6 dengan judul “Asa Demokrasi di Palu Hakim”.