Berapa kamu mau dibayar untuk menghapus semua akun sosial mediamu?
Liz Plank, seorang produser dan pembawa acara di Vox Media, membuat jajak pendapat dengan pertanyaan di atas di Instagram dan Twitternya. Hampir semua jawaban memacak harga tinggi. Orang-orang tak mau dibayar murah agar tak lagi berkicau di media sosial. Jawaban-jawaban itu ia bacakan di depan Justin Trudeau, Perdana Menteri Kanada, dalam sebuah sesi talk show saat pembukaan Konferensi Global Tingkat Tinggi Tentang Keterbukaan Pemerintah (Open Government Partnership/OGP Summit) di Ottawa, Kanada (29/5).
Trudeau menangkap hal lain dari jawaban-jawaban tersebut. Ia menyitir kata-kata Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, yang berpendapat bahwa orang bebas memilih menggunakan atau tidak menggunakan platformnya. Trudeau tak sepenuhnya setuju dengan pendapat itu. Sebetulnya kita tidak diberikan banyak pilihan. Hanya ada dua pilihan yang sangat biner: menggunakan aplikasinya dan memberikan data pribadi dengan satu klik “agree” atau klik “disagree” dan kita tidak bisa menggunakan aplikasinya sama sekali.
“Semakin mereka berkembang, orang akan semakin menyadari bahwa nilai yang diberikan pada platform-platform ini jauh lebih besar dari nilai yang didapat balik dari mereka dalam kehidupan sehari-harinya,” kata Trudeau (29/5).
Liz Plank kemudian mengajukan pertanyaan serupa dalam jajak pendapatnya tersebut pada Trudeau, “Berapa Anda mau dibayar untuk menghapus semua akun sosial media?”
“Saya masih membutuhkannya untuk bekerja,” kata Trudeau disusul tawa audiens.
Trudeau adalah pengguna media sosial aktif. Ia memanfaatkannya untuk berinteraksi dengan warga. Ia dan tim komunikasinya yang social-media friendly dan tech-savvy berhasil meraih 1.2 juta pengikut saat disumpah menjadi Perdana Menteri pada 2015 dan kini pengikutnya mencapai 4.52 juta.
Media sosial dan teknologi memegang peranan penting dalam pemerintahan Trudeau di Kanada. Laman yang paling sering dikunjungi di web pemerintah kanada adalah laman pelacak mandat. Di laman itu terdapat daftar hal-hal yang dimandatkan pada menteri, perkembangan penyelesaiannya, serta tantangan dalam penyelesaiannya. Selain itu, transparansi penggunaan kecerdasan buatan dalam pemerintahan telah menjadi perdebatan hangat di Kanada—saat di belahan dunia lain teknologi baru diintrodusir pada proses pemerintahan—karena kekhawatiran disalahgunakan dan mengabaikan hak asasi manusia.
Keberadaan media sosial telah mendisrupsi banyak hal, termasuk politik. Media sosial dan teknologi secara umum telah banyak digunakan sebagai alat yang membantu mengefektifkan interaksi dan relasi warga dengan pemerintah, sekaligus membuat proses pemerintahan berjalan inklusif. Open Government Partnership (OGP), sebagai salah satu kemitraan global, adalah salah satu inisiatif yang mempromosikan peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dalam pemerintahan dengan memanfaatkan teknologi baru. OGP, dalam konferensi keenamnya di Ottawa pada 29—31 Mei 2019, mempromosikan kerja-kerja kolaborasinya bersama organisasi masyarakat sipil, entitas bisnis, dan pemerintahan yang berfokus pada tiga tema prioritas: inklusi, dampak, dan partisipasi
Melalui tema “inklusi,” OGP menyoroti tantangan-tantangan dan inisiatif-inisiatif yang memberdayakan warga yang kurang terwakili untuk terlibat aktif dengan pemerintah. Melalui tema “dampak,” OGP membagi cerita tentang inisiatif keterbukaan pemerintah yang berdampak bagi kehidupan sehari-hari warga. Di bawah tema prioritas “partisipasi,” inovasi-inovasi kolaboratif—antara pemerintah, partai politik, organisasi masyarakat sipil, dan entitas bisnis—yang mampu meningkatkan partisipasi politik masyarakat luas dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan didiskusikan oleh berbagai pihak.
Teknologi untuk partisipasi warga di pemilu
Dalam tema prioritas partisipasi inilah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bersama International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) terpilih untuk mengelola sesi diskusi bertema “Mengambil Manfaat dari Pemerintahan Terbuka” yang digelar di Shaw Center, Ottawa, Ontario, Kanada pada 30 Mei 2019 mendatang.
Titi Anggaraini, Direktur Eksekutif Perludem, memberikan paparan pada salah satu sesi diskusi di OGP Global Summit, Ottawa, Kanada (30/5)
Dalam diskusi ini, Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem, membagi cerita tentang inisiatif API (Application Programming Interface) Pemilu, sebuah platform yang menyediakan data-data pemilu dalam format data terbuka. Dalam format data terbuka, para IT Programmer dan web developer dapat lebih bebas dan mudah menggunakannya untuk membuat berbagai aplikasi alat bantu sosialisasi kepemiluan berbasis platform sistem operasi Android, iOS, Windows, atau website.
API Pemilu ini juga menjadi bahan baku dari platform berbasis web http://pintarmemilih.id yang dikelola Perludem atas dukungan Google Indonesia. Dalam konteks Pemilu Indonesia, pemilu serentak sehari terbesar dan terumit di dunia, kehadiran http://pintarmemilih.id dapat membantu pemilih dengan menyediakan bekal informasi memadai tentang teknis pemilu dan riwayat hidup calon anggota legislatif. Platform ini telah membantu penyajian info-info pemilu Indonesia (yang di antaranya terdiri atas 250.000 kandidat yang memperebutkan dua puluh ribuan kursi di dua ribuan daerah pemilihan) dalam format yang lebih sederhana dan interaktif sehingga lebih memudahkan pemilih mengenali calon yang akan mewakilinya di parlemen dan pemerintah.
“Platform-platform keterbukaan pemilu telah menumbuhkan partisipasi luas masyarakat untuk terlibat lebih bermakna dalam pemilu. Adopsi prinsip dan misi Open Government Partnership (OGP) dalam proses elektoral penting untuk membangun dan mengelola kepercayaan dari publik. Kepercayaan publik adalah salah satu kunci mewujudkan demokrasi yang partisipatif. Kami berharap API Pemilu ataupun inisiatif-inisiatif serupa bisa terus berlanjut,” kata Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem, saat menjadi pembicara dalam sesi “Mengambil Manfaat dari Pemerintahan Terbuka” (30/5).
Inovasi dan teknologi melampaui masa pemilu
Demokrasi seringkali ditentukan oleh daulat di kotak suara—warga menentukan siapa yang akan mewakili kepentingan mereka dalam pemerintahan. Namun, daulat itu sering kali gagal diterjemahkan menjadi kebijakan yang hidup dalam realitas warga sehari-hari. Di banyak negara, warga menganggap pemerintah terpilih tidak terhubung dan tidak responsif terhadap kebutuhan mereka. Sebanyak 64 persen warga yang hidup dalam sistem demokrasi, menurut Kemitraan untuk Keterbukaan Pemerintah Global, percaya bahwa pemerintahan terpilih jarang atau tidak pernah bertindak untuk kepentingan umum.
“Upaya kita harus melampaui kotak suara untuk memenuhi daulat yang dititipkan di kotak suara itu,” kata Sanjay Pradhan, Chief Executive Officer OGP, saat memberikan pidato pembukaan di Ottawa (29/5)
Partisipasi masyarakat yang tumbuh baik di pemilu ini perlu berlanjut setelah para kandidat terpilih. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena seringkali keterlibatan tersebut terputus setelah kandidat terpilih. Warga seringkali memercayakan aspirasinya begitu saja pada kerja-kerja kandidat terpilih. Sementara kandidat terpilih tak lagi melibatkan warga seintens saat berkepentingan meraup suara dalam pemilu.
Julia Keutgen, Senior Transparency Advisor, Westminster Foundation for Democracy berbagi mengenai bagaimana partai politik bergumul dengan teknologi baru untuk menjangkau warga serta inovasi yang bisa mengintervensi perbaikan sistem kepartaian yang mampu menyelesaikan kerenggangan relasi partai politik, parlemen, dan warga.
Ketika OGP diluncurkan pada 2011, menurut Julia, parlemen tidak terlibat dan tidak terbayang bisa menjadi bagian dari inisiatif keterbukaan pemerintah. Namun, pengembangan rencana aksi keterbukaan pemerintah menarik minat anggota parlemen dan organisasi masyarakat sipil untuk memasukkan parlemen secara resmi dalam OGP. Komite Pengarah OGP menyetujui kebijakan untuk melibatkan parlemen di OGP pada September 2016. Inisiatif ini membuat OGP mampu membangun consensus politik lebih besar untuk meingkatkan keberlanjutan reformasi pemerintahan terbuka melampaui pemilihan posisi pemerintahan dan pemilu.
“Sebagai bagian dari banyak komitmen di bawah OGP, parlemen telah mengembangkan berbagai alat untuk melibatkan warga negara dalam proses legislasi. Idenya adalah untuk melibatkan warga negara dalam pembuatan undang-undang dan memungkinkan mereka untuk mengubah undang-undang yang sedang dibahas di parlemen sebelum disahkan,” kata Julia pada sesi diskusi.
Namun, ia menekankan fakta bahwa alat-alat ini bukan panasea. Sistem demokrasi juga membutuhkan perubahan budaya yang nyata. Agar terbuka, orang tidak boleh meremehkan langkah-langkah kecil seperti misalnya penyederhanaan prosedur untuk masuknya warga negara ke gedung parlemen, yang merupakan tantangan di banyak parlemen, atau pengarsipan dan pengumpulan data yang tepat. Tanpa perubahan budaya ini, teknologi sebagai alat inovasi keterbukaan menjadi tak berguna.
Simon Berger, Legal Officer of High Authority for Transparency in Public Life (HATVP), organisasi masyarakat sipil berbasis di Perancis berbicara dari sisi keterbukaan sektor publik. HATVP menggunakan strategi data terbuka dalam mengelola data asset and interest declarations of high-level public officials serta lobbying register. HATVP merevolusi dokumen-dokumen yang berbasis tulisan tangan di kertas tersebut dengan mendigitalisasinya ke dalam format terbuka. HATVP juga menyiapkan formulir daring yang kemudian menjadi wajib menggantikan formulir yang ditulis tangan.
Alih-alih menggunakan teknologi atau bahasa pemrograman tertentu sebagai alat untuk mendigitalisasi, HATVP justru melibatkan anak muda untuk meregistrasi data-data tersebut dalam bentuk digital. Ruang partisipasi itu menumbuhkan kesadaran mereka untuk terlibat lebih dalam mengawasi tindak lanjut terhadap lobbying register tersebut.
Dari sisi relasi pemerintah dengan warga, Carolina Better, Senior Associate Ideas42, membagi hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan ilmu perilaku yang menginvestigasi faktor-faktor yang memengaruhi respon pemerintah terhadap komplain atau permintaan warga melalui platform digital. Carolina menjelaskan, pemerintah bisa dikatakan responsif ketika respons, jawaban, atau reaksi terhadap permintaan atau komplain warga dilakukan tepat waktu, akurat, setara dan memuaskan permintaan warga.
Respons yang tepat waktu mengukur waktu antara penerimaan permintaan warga dengan tanggapan atau reaksi yang dilakukan. Pemerintah bertanggung jawab memastikan permintaan warga diselesaikan secepat mungkin sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Akurasi respons merujuk pada kualitas pekerjaan yang dilakukan saat menyelesaikan permintaan serta keandalan platform menyampaikan kemajuan proses. Kesetaraan respons terjadi ketika tidak ada respons yang mendahulukan permintaan berdasarkan karaktersistik demografis seperti geografi, pendapatan, dan ras. Sementara kepuasan respons mengukur seberapa senang warga terhadap pengalaman penyelesaian permintaan dan apakah mereka merasa didengarkan selama proses tersebut.
“Aspek penting dari platform adalah untuk menciptakan saluran yang memperkuat ikatan dan kepercayaan warga dan pemerintah. Kepuasan respons sangat penting untuk mengembangkan kepercayaan ini dan bahkan dapat mengarah pada keterlibatan warga yang lebih tinggi serta pemerintah yang lebih responsif,” tandas Carolina.
Tapi di atas itu semua, perlu diingat bahwa teknologi hanyalah alat. Teknologi tidak lantas membuat seluruh partisipasi dan interaksi warga tergantikan melalui ruang-ruang virtual. Sangat penting untuk tetap terhubung dengan warga dalam ruang-ruang fisik dan membangun percakapan yang bermakna dengan penuh kepercayaan. Warga tak akan mempercayai pemerintah kecuali pemerintah mau percaya pada warga dengan membuka informasi, data, dan komitmen-komitmen yang hendak dijalankan.