Fenomena berbondong-bondongnya partai politik yang merapat pada koalisi pemerintah wajib kita waspadai, kewaspadaan kita bukan hanya karena kabinet kerja yang semakin tambun dan sarat akan politik transaksional, namun lebih daripada itu yakni melemahnya partai Oposisi di parlemen.
Mungkin selama ini kita mengenal Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai koalisi partai yang tegas menyatakan dirinya sebagai partai Oposisi, terlalu naif jika kita hanya mengenal KMP sebagai biang keladi yang cenderung kontroversial, padahal ketegasan tersebut merupakan hal positif bahwa KMP tetap menjaga check and balances roda pemerintahan.
Diawali dengan merapatnya PPP pada Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan sebagai imbalannya pemerintah memberikan jatah kursi Menteri Agama pada PPP. Lalu PAN yang merapat pada kubu Jokowi sempat berkicau bahwa PAN akan mendapatkan dua kursi menteri pada Reshuffle jilid II kabinet kerja sebagai imbalannya. Kicauan Aziz subekti seorang politisi PAN tersebut akhirnya berbuntut polemik dikte mendikte presiden.
Kemudian berdasarkan Rapimnas partai Golkar yang menghasilkan keputusan bahwa Golkar ikut merapat dalam barisan koalisi Pemerintah Jokowi-JK. Jikalau seperti itu, lalu apa guna Gerindra dan PKS yang tetap konsisten sebagai partai oposisi karena kekuatan yang minimalis di DPR tentu tidak akan berguna.
Segudang alasan bisa saja dilontarkan oleh partai-partai ini namun tentu ketidakkonsitenan mereka membuat publik merasa muak, menampilkan politik yang haus akan kekuasaan lalu kepentingan rakyat tercecer di tengah jalan. bukannya menambah Gizi untuk berjalannya roda pemerintahan yang lebih baik, bergabungnya partai-partai ini justru membuat pemerintah tidak efisien. Itulah kiranya gambaran politik Indonesia dewasa ini yang ribut dengan berebut kekuasaan lalu lupa akan kewajiban sebagai wakil rakyat.
Pentingnya check and balances
Konon dulu Parlemen atau DPR kita hanya bekerja sebagai “tukang stempelâ€. Setiap kebijkan yang dikerluarkan pemerintah, kekuatan Presiden begitu besar sampai tidak terbendung sehingga terjerumus kedalam kekuasaan yang tirani.
Begitulah kiranya Gambaran hubungan antara Presiden dan DPR pada masa orde baru, seiring dengan reformasi yang juga bersamaan dengan amandemen UUD 1945 kekuasaan Presiden mulai dipangkas dan terkesan berpindah tangan ke DPR. Sistem presidensial yang ingin ditekankan malah bergeser menjadi semipresidensial atau juga semiparlementer, pergeseran tersebut tidak lain dan tidak bukan akibat dominasi DPR yang begitu kental dewasa ini.
Kesinambungan antara tiga pilar kenegaraan dengan merujuk pada Konsep Triaspolitica dalam sebuah Negara demokrasi, penguatan DPR bersamaan dengan reformasi semata-mata hanya demi lahirnya mekanisme check and balances antar lembaga-lembaga Negara agar timbul sebuah stabilitas politik. Akibat kekuasaan DPR yang begitu kental, alhasil kekuatan DPR seolah menjadi barang yang wajib diperebutkan agar segala kepentingan lancar urusannya.
Dulu baik panglima TNI ataupun Kapolri dapat langsung dipilih oleh Presiden, namun sekarang semua diserahkan kepada DPR bahkan ditambah dengan wewenang memilih pimpinan lembaga-lembaga negara seperti KPK, KPU, BPK dan lain sebagainya. Tentu jika tidak transparan dan akuntabel hal ini bisa berdampak kepada politik balas budi dan cendrung pada tindak korupsi. Sangkin kuatnya, DPR dapat mengusulkan impeachment terhadap presiden kepada MPR, seperti Presiden Gus Dur.
Dominasi DPR memang menjadi momok yang menakutkan bagi presiden dalam menjalankan tugas kenegaraannya pasalnya DPR yang tidak sejalan seolah menghambat kinerja pemerintah. DPR yang pada kenyataannya adalah lembaga perwakilan dari partai politik sangat kental dengan politik transaksional masing-masing partainya.
Namun sebaliknya jika kubu pemerintah menjadi sangat kuat juga tidak baik untuk kelancaran roda pemerintahan. Pasalnya Pemerintah dapat saja mengeluarkan Kebijakan yang tidak pro rakyat dan tentu kebijakan tersebut akan mulus apabila koalisi pemerintah mendominasi parlemen.
Ada lembaga yudikatif yang mempunyai wewenang dalam mempertanyakan kembali kepantasan sebuah kebijakan melalui gugatan yang dilayangkan pihak yang merasa dirugikan. Namun hal ini dianggap tidak efisien dan berujung pada kinerja pemerintah yang tidak maksimal.
Dilema partai koalisi
Belajar dari pengalaman pemerintahan sebelumnya, pada era Presiden Gus Dur. Hubungan pemerintah dan DPR tidak berjalan harmonis. DPR kerap kali merepotkan pemerintah bahkan Gus Dur mendapatkan impeachment pada saat itu, padahal mayoritas parlemen berada pada kubu pemerintah. Ini menunjukkan bahwa partai politik juga tidak dapat menjadi patokan seberapa kuatnya seorang presiden di DPR. Sama halnya di era Presiden Megawati, semua partai politik mendukung pemerintah namun hubungan antara Prsieden dan DPR juga tidak harmonis.
Kerap kali terjadi interpelasi terhadap presiden namun kala itu presiden tidak pernah menghadirinya secara langsung. Bisa jadi baik pada pemerintahan Gus Dur maupun Megawati kita belum mengenal istilah Koalisi dan Oposisi sehingga kebijakan politis partai politik sulit untuk ditebak, dan itu menjadi dilemma Partai Politik sampai pada saat ini.
Seiring bergulirnya waktu, pemerintahan SBY mulai menampakkan bahwa adanya Partai Koalisi pemerintahan dan Oposisi. Pada saat itu Koalisi pemerintah mampu menguasai mayoritas suara di DPR, namun hal itu juga tidak menjamin bahwa Koalisi pemerintahan tetap solid.
Terkadang ada saja partai dalam lingkaran Koalisi yang nakal sehingga kerap mengeluarkan statement yang berbeda. Dan prediksinya pada pemerintahan Jokowi kali ini kemungkinan partai Koalisi akan berbuat yang sama dan menunjukkan ketidak kompakan koalisi. Tentu semua ini adalah bukti bahwa kepentingan politik partai diatas segala-galanya. Lalu kepentingan rakyat dimana ?
DELLY FERDIAN
Mahasiswa Ilmu Politik UNAND, beraktifitas di LSM JEMARI Sakato