Pemilu serentak telah usai. Sejumlah perempuan dengan nama besar, cakap, bersuara terang dan lantang bagi perbaikan nasib perempuan, gagal masuk Senayan.
Sementara perempuan lain yang bermodalkan pulasan bak rembulan cantik datang melenggang. Saatnya kita renungkan apakah ini yang dikehendaki strategi affirmative action untuk menaikkan keterwakilan perempuan? Secara normatif, tindakan khusus sementara (affirmative action) untuk menaikkan jumlah keterwakilan perempuan di ruang publik adalah niscaya.
Pertama karena hanya dengan cara itu kepentingan perempuan yang dirundingkan dan diambil melalui keputusan-keputusan yang demokratis bisa disuarakan. Kedua, jika hanya “dititipkan” ke pihak lain (lelaki), kepentingan itu bisa bias (membelok) atau bahkan menguap.
Upaya afirmatif dengan mengambil gagasan UNDP yang mensyaratkan 30 persen keterwakilan merupakan aksi paling moderat untuk memenuhi mandat konvensi CEDAW. Ini konvensi yang memastikan tak ada diskriminasi pada perempuan berbasis prasangka gender.
Dalam sistem demokrasi yang belum benar-benar paham mengapa suara perempuan penting, mengadu perempuan di jagat publik yang patriarkal dan brutal, sungguh-sungguh merontokkan makna afirmatif itu sendiri.
Sejumlah besar negara yang menandatangani konvensi PBB ini menggunakan mekanisme kuota 30 persen bagi perempuan dalam proses pencalonan guna memastikan keterwakilan di lembaga negara di mana sebuah keputusan digodok, dilahirkan dan harus dilaksanakan.
Itu idealnya. Di tingkat praktis kita menghadapi berbagai kendala. Persoalan paling laten adalah karena ruang publik bukanlah ruang yang siap dan mengerti mengapa keterwakilan itu penting. Ini jelas karena sejak awal dunia politik berangkat dari dikotomi yang membelah domain lelaki dan perempuan atau ruang publik dan privat/domestik.
Inilah kritik fundamental kaum feminis terhadap konsep ruang publik gagasan filsuf Habermas itu. Konsep ruang serupa itu tak menghitung kepentingan mereka yang selama ini “didomestikkan” seperti perempan dan kaum disabilitas.
Ketika perempuan masuk ke ruang publik, mereka diminta terjun bebas ke dalam ruangan yang sejak awal dianggap bukan ruang yang pantas dan pas bagi mereka. Dengan kata lain mereka dianggap penumpang gelap sebagai pesaing dominasi lelaki, pemilik sah lembaga itu.
Persoalan paling laten adalah karena ruang publik bukanlah ruang yang siap dan mengerti mengapa keterwakilan itu penting.
Di titik pemberangkatan, seperti di keluarga dan komunitas, perempuan berhadapan dengan efek binner yang sama. Pandangan budaya, agama bahkan politik telah mendefinisikan status perempuan secara permanen sebagai pengelola rumah tangga.
Itu berarti di ranahnya sendiri, mereka bukanlah pemegang kuasa dan otoritas melainkan sang pendamping. Mereka adalah penumpang yang peran dan statusnya ditentukan sang nahkoda (suami/keluarga besar). Situasi ini berdampak besar ketika perempuan “nyaleg”. Keputusannya sangat ditentukan oleh sejauh mana suami/keluarga memberi dukungan, termasuk pendanaan.
Di sejumlah kasus, keterwakilan mereka merupakan perpanjangan tangan suami yang kebetulan secara politik tak lagi bisa maju sendiri (sudah dua periode atau kesandung kasus korupsi). Berbeda dengan perempuan yang maju dengan agenda dan kapasitas sendiri, perempuan yang diajukan keluarga sebagai pengganti suami akan dapat dukungan penuh karena diposisikan secara gender sebagai pengganti lelaki di keluarga itu.
Mereka benar-benar disiapkan, dimodali dan didukung sebagai kuda aduan dalam arena pacuan. Tak heran jika istri kepala daerah atau mantan kepala daerah masuk ke gelanggang dengan dukungan penuh dan dana optimal sebagaimana diberlakukan kepada suami mereka sebelumnya. Ketika ternyata tak bisa masuk, itu dianggap risiko yang bisa ditanggung bersama, bukan hanya oleh perempuan itu sendiri.
Soal lain, affirmative action tak sekadar menyaratkan “angka” keterwakilan melainkan juga tuntutan kualitas. Perempuan calon harus berhadapan dengan sikap yang meragukan kemampuan mereka. Sebuah sikap yang hampir tak pernah berlaku kepada lelaki meski kualitas mereka juga bisa luar biasa kedodoran.
Masalahnya karena arena itu dianggap ruang main kaum lelaki, publik sering dianggap punya permakluman atas kedunguan mereka, sebuah sikap yang tidak akan berlaku bagi perempuan. Lihat saja ketika sejumlah artis perempuan terpilih dan mempertontonkan “kelasnya” ketika bicara di media, sontak mereka jadi bulan-bulanan. Olok-olok serupa sebetulnya harus dilontarkan kepada anggota DPR yang juga “dodol”, namun itu tak sekejam perlakuan kepada perempuan.
Di sejumlah kasus, keterwakilan mereka merupakan perpanjangan tangan suami yang kebetulan secara politik tak lagi bisa maju sendiri (sudah dua periode atau kesandung kasus korupsi).
Tak gampang
Dari tiga persoalan ini saja dapat dibaca betapa tak gampang memastikan upaya arif untuk menjamin keterwakilan perempuan. Hampir pasti, upaya afirmatif di manapun di dunia berangkat dari keadaan yang memang perempuan sendiri tak/belum siap masuk ke gelanggang politik. Ini disebabkan perlakuan diskriminatif yang telah lebih dulu menerpa mereka.
Karenanya upaya-upaya lanjutan yang dapat memastikan keterwakilan itu seharusnya terkawal oleh partai dan terus diupayakan. Ini agar keterwakilan itu memiliki kepastian dan tak hanya di tingkat angka tapi juga makna.
Dalam konteks politik di Indonesia, kita sekali lagi menyaksikan bagaimana keterwakilan itu didemonstrasikan dalam pemilihan legislatif. Upaya-upaya sistemik agar perempuan terwakili di setiap jenjang relatif dipatuhi partai. Praktis tiap partai di setiap dapil memasang perempuan. Dan dari sisi itu, afirmatif di tingkat yang paling elementer telah terpenuhi.
Namun soal keterpilihan mereka adalah masalah lain. Sebab afirmatif tak berlaku pada tingkat pemilihan. Lelaki dan perempuan dari satu partai yang sama harus bersaing memperebutkan kursi. Artinya, caleg perempuan tak hanya harus bersaing dengan sesama calon dari partainya di satu dapil yang sama, tetapi juga dengan lelaki dan perempuan lain di satu dapil dari partai yang berbeda.
Persaingan serupa ini, pada kenyataannya memang jadi “gempa politik” bagi kebanyakan caleg perempuan. Dalam sistem demokrasi yang belum benar-benar paham mengapa suara perempuan penting, mengadu perempuan di jagat publik yang patriarkal dan brutal, sungguh-sungguh merontokkan makna afirmatif itu sendiri.
Peran mereka dalam menyuarakan kepentingan perempuan baik yang bersifat khusus (terkait kepetingan esensial perempuan) maupun kepentingan umum yang butuh perspektif perempuan telah dibuktikan dengan lahirnya produk kebijakan yang responsif gender.
Namun jika model tarung bebas terbukti menghalangi masuknya keterwakilan mereka meski secara kualitas sangat bermutu dan dibutuhkan, maka patut direnungkan kembali bagaimana memastikan keterwakilan perempuan, kaum disabilitas, kelompok minoritas dengan memanfaatkan kesejatian makna upaya afirmatif tanpa mencederai proses dan hakikat demokrasi sebagaimana kita kritik dari model jatah-jatahan semasa rezim Orde Baru.
LIES MARCOES, DIREKTUR RUMAH KITA BERSAMA
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 9 Juli 2019 di halaman 7 dengan judul “Refleksi Keterwakilan Perempuan”. https://kompas.id/baca/utama/2019/07/09/refleksi-keterwakilan-perempuan/