“Saya dari Tebo, Jambi. Bukan di Kota Tebo-nya, tapi dari Kota Tebo, itu masih harus jalan 8 jam. Di kampung saya, Desa Suwo-Suwo, ada 500 jiwa. Kami Suku Talang Mamak. Desa saya ini memang kalau dilihat dari atas, rata, hutan semua karena terletak di dalam Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Nah, suatu hari, nenek saya bilang gak bisa urus KTP (Kartu Tanda Penduduk) di Dukcapil (Kependudukan dan Catatan Sipil). Ada 93 jiwa lain yang sampai sekarang juga gak punya KTP el. Lalu saya tanya Dukcapil di Jakarta. Saya cerita kampung saya di dalam kawasan hutan. Kata mereka, mereka tidak berani mendata penduduk di kawasan hutan. Apalagi pas dicek, kampung kami tidak termasuk desa di Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri). Jadi, gak punya nomor desa. Makanya secara administrasi kependudukan pun, tidak bisa didata. Kalau ingin didata, kami mesti keluar dari kawasan hutan. Sampai sekarang mereka tidak dapat KTP el. Kalau saya dapat karena saya lahirnya di kota,” kisah Yayan Hidayat pada diskusi peluncuran buku “Perlindungan Hak Memilih Warga Negara di Pemilu 2019 dan Keterwakilan Perempuan di Lembaga Penyelenggara Pemilu” yang dipublikasi oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) di Hotel Milenium, Tanah Abang, Jakarta Pusat(26/9).
Yayan, pegiat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merupakan salah satu fasilitator riset Perludem untuk hak pilih masyarakat adat. Keterlibatan AMAN didasari semangat untuk memotret masalah kependudukan di Indonesia, yang memiliki imbas pada hak pilih masyarakat adat sebagai warga negara berhak pilih.
“Semangat riset ini diawal, bisa memotret problem lain diluar logika kepemiluan kita, bahwa ternyata, konflik-konflik teritorial, zonasi wilayah dan sebagainya juga berimplikasi terhadap hilangnya hak pilih kelompok masyarakat,” ujar Yayan.
Selain masalah wilayah, sulitnya masyarakat adat untuk terdata dan memiliki KTP elektronik, yang pada Pemilu 2019 dijadikan sebagai syarat untuk memberikan hak pilih, juga disebabkan oleh tradisi tertentu yang dipegang di dalam masyarakat adat. Sebagai contoh, masyarakat adat Matoa di Kabupaten Bulukumba meyakini bahwa anggota komunitasnya tak boleh difoto. Sementara dalam aturan perekaman KTP elektronik, setiap warga negara harus difoto. Begitu juga dengan kelompok masyarakat adat Talang Mamak yang meyakini bahwa kaum laki-laki tak boleh melepas ikatan kepala yang merupakan simbol keterikatan dengan leluhur. Aturan perekaman, ikatan kepala pada laki-laki diwajibkan untuk dilepas.
“Ikatan kepala itu ikatan antara dirinya dengan leluhur. Kalau melepas, berarti terlepas dari leluhurnya,” ucap Yayan.
Terhadap masyarakat adat Talang Mamak, setelah advokasi dilakukan kepada pemangku kepentingan, laki-laki Talang Mamak akhirnya diizinkan untuk difoto dengan ikatan kepala.
Hak pilih disabilitas
Perludem juga memotret pemenuhan hak pilih bagi disabilitas. Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil menerangkan masalah hak pilih disabilitas mental. Dalam catatannya, hak pilih disabilitas sering diabaikan dari pemilu ke pemilu. Ada stigma negatif yang lekat di masyarakat juga peserta pemilu, bahwa disabilitas mental hanya akan mengganggu jalannya pemilihan dan salah satu sumber penggelembungan suara. Advokasi Perludem dilakukan untuk merubah paradigma tersebut, bahwa disabilitas mental sama dengan penyakit biasa yang dapat disembuhkan atau kambuh sewaktu-waktu, sehingga warga negara dengan disabilitas mental berhak mendapatkan jaminan hak pilih.
“Kami mengadvokasi agar teman-teman disabilitas bisa difasilitasi dengan baik. Kami ingin menghapus stigma bahwa disabilitas mental akan menggangu, tidak bisa apa-apa,” kata Fadli.
Advokasi Perludem bersama lembaga masyarakat sipil yang bergerak dibidang advokasi hak-hak disabilitas, yakni Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Disabilitas dan Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) berhasil. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan proteksi hak pilih disabilitas mental melalui perubahan Peraturan KPU (PKPU) No.3/2019. Dengan PKPU ini, KPU Kabupaten/Kota wajib berkoordinasi dengan pengelola Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk mendata disabilitas mental berhak pilih dan mengeluarkan surat keterangan (SK) dari dokter bahwa pasien di RSJ memiliki kemampuan untuk memilih.
“KPU tidak punya kapasitas untuk menyatakan yang bersangkutan punya kemampuan atau tidak. Oleh karena itu, KPU meminta SK Dokter. Memang masalahnya, ada aturan juga terkait pemilih harus mempunyai KTP el, dan didata sesuai domisilinya. Di RSJ, banyak penghuni bukan orang setempat sehingga dia harus kasih form A5 (formulir untuk pindah memilih) dulu, agar didata sebagai pemilih pindah memilih,” jelas Staf Ahli KPU RI, Mohammad Fadhilah.
Tindakan khusus dibutuhkan
Dari catatan Perludem, sejumlah tindakan khusus untuk menfasilitasi hak pilih bagi masyarakat adat dan disabilitas memang telah dilakukan oleh KPU. Namun, tindakan khusus lainnya dibutuhkan untuk pemilu selanjutnya. Tindakan khusus yang dimaksud seperti mencetak surat suara khusus bagi tuna aksara, dan pencatatan pemilih dengan metode khusus bagi pemilih di kelompok masyarakat adat.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Endang Sulastri mengatakan tindakan diskresi diperlukan untuk menyelamatkan hak pilih warga negara. Di dalam aturan hukum, selain asas kepastian hukum, asas kemanfaatan juga patut dikedepankan.
“Saya kira, KPU dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) perlu melakukan diskresi hukum apabila aturan itu belum tercatat. Ini dalam rangka asas kemanfaaatan. Kan hukum tidak hanya asas kepastian hukum, tapi juga kemanfaatan,” kata Endang.
KTP elektronik tak semestinya jadi syarat memilih
Hadil riset Perludem menunjukkan bahwa syarat kepemilikan KTP elektronik menimbulkan masalah dalam pelayanan hak pilih warga negara. Di Pemilu 2019, syarat ini dipaksakan ditengah perekaman KTP elektronik yang belum selesai. Hingga hari pemungutan suara, masih banyak warga, terutama di panti-panti sosial dan masyarakat adat, yang belum memiliki KTP elektronik karena terganjal masalah administrasi kependudukan.
“Realitasnya, teman-teman disabilitas yang tinggal di panti, punya kendala untuk pakai KTP el. Itulah yang jadi background kita mengatakan ada persoalan ketika hak pilih dilekatkan dengan syarat memilih. Proses administrasi kependudukan, dimana kita masih mencari format yang ideal, tidak bisa menjadi syarat untuk bisa memilih,” tandas Fadli.
Atas hal tersebut, Perludem merekomendasikan agar pencatatan pemilih dan penggunaan hak pilih tidak bergantung pada catatan kependudukan. Saat ini, Indonesia belum memiliki portal data kependudukan yang komprehensif dan layanan yang mudah diakses semua orang.
“Saat kami turun lapangan, itu masih tahap penyusunan pemutakhiran data pemilih. Di Kabupaten Jayapura, ada hutan industri. Itu sulit sekali aksesnya. Rumah warga jauh sekali dengan pusat pelayanan administrasi,” tukas Peneliti Perludem lainnya, Heroik Pratama.
Anggota Bawaslu RI, Mochammad Afiffudin bersepakat dengan rekomendasi Perludem. Afif mengibaratkan KTP elektronik yang menjadi syarat penggunaan hak pilih sebagai piring kotor yang petugas cucinya belum ketahuan.
“KTP el itu kan tanggungjawab teman-teman Dukcapil, tapi karena KPU yang mendaftar hak pilih, dia jadi harus ikut bersihkan orang-orang yang belum punya KTP el,” kata Afif.
Di Pemilu 2019, karena banyaknya warga negara berhak pilih yang belum melakukan perekaman KTP el, KPU melakukan Gerakan Melindungi Hak Pilih (GMHP). KPU membuka posko-posko GMHP di kantor-kantor KPU dan tempat-tempat umum untuk melayani hak pilih warga.