August 8, 2024

5 Rekomendasi Perubahan Instrumen Sistem Pemilu Perludem

Pada konferensi pers “Habis Gelap Terbitlah Kelam, Proyeksi Masyarakat Sipil atas Situasi Indonesia 5 Tahun ke Depan”, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengevaluasi sistem pemilu yang diterapkan pada Pemilu 2019. Perludem menilai pilihan instrumen sistem pemilu yang dipilih pembuat undang-undang tidak sejalan dengan tujuan sistem pemilu yang dimuat di Undang-Undang (UU) Pemilu No.7/2017, yakni efektivitas pemerintahan presidensial dan penyederhanaan sistem kepartaian di parlemen. Pemerintahan hasil Pemilu 2019 justru melahirkan fragmentasi tinggi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan presiden terpilih cenderung bergantung bergantung terhadap partai politik di DPR dibanding keberpihakan presiden terhadap rakyat yang memilihnya secara langsung dengan suara mayoritas.

“2019, tujuannnya menyederhanakan partai. Tapi isntrumennya tidak diarahkan untuk menyederhanakan partai. Masih ada sembilan partai politik di parlemen, meski memang karakter ideology partai-partai tersebut cair,” kata Deputi Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustiyati pada konferensi pers di Gondangdia, Jakarta Pusat (15/10).

Agar pemerintahan presidensial efektif, juga adanya kesinambungan antara pemerintah pusat dan daerah, Perludem merekomendasikan lima hal sebagai berikut.

Penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan kepala daerah

Perludem mendorong dihapuskannya ambang batas pencalonan presiden dan kepala daerah mellaui revisi UU No.7/2017 tentang Pemilu juga UU No.1/2015, UU No.8/2015, dan No.1/2016 tentang Pilkada. Penghapusan syarat ambang batas pencalonan sebesar 20 persen kursi legislatif yang dipandang sebagai syarat diskriminatif diprediksi akan mendorong partai politik untuk mengusung kader partai mencalonkan di pemilu eksekutif. Diharapkan tak ada lagi calon tunggal di pilkada, dan hanya dua pasangan calon presiden-wakil presiden yang menyebabkan polarisasi politik di pemilu.

“Pemilu 2019 ada ambang batas pencalonan presiden. Padahal serentak. Ambang batas ini diambil dari hasil pemilihan legislatif lima tahun yang lalu. Partai politik, alasannya, kalau ambang batas pencalonan tidak ada, capres bisa ada banyak. Padahal apa masalahnya kalau jumlah capres banyak. Akan ada lebih banyak pilihan utk rakyat,” ujar Khoirunnisa.

Dengan tiadanya ambang batas pencalonan presiden dan pencalonan kepala daerah, diyakini presiden dan kepala daerah terpilih akan lebih bertanggungjawab kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan dalam pemilihan langsung. Presiden dan kepala daerah terpilih tak akan terbebani dengan hutang budi kepada partai parlemen yang telah mencalonkannya.

Perludem juga mendorong perubahan konstitusi agar presiden dapat berasal dari jalur perseorangan. Calon perseorangan, selain membuka pilihan bagi pemilih, juga berfungsi sebagai mekanisme koreksi terhadap kualitas calon presiden yang diusung partai politik. Amandemen juga dinilai perlu dilakukan terhadap syarat keterpilihan presiden dari mayoritas, yakni 50 persen lebih, menjadi pluralitas dengan satu putaran. Sistem pluralitas pemilihan presiden dinilai sesuai dengan desain pemilu serentak nasional dan serentak daerah.

Mengubah jadwal pemilu serentak menjadi pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah

Pemilu 2019 dengan lima pemilihan di satu hari yang sama dipandang tak sesuai dengan tujuan pemilu serentak, yakni efektivitas pemerintahan. Pemilu 2019 dinilai menyulitkan penyelenggara pemilu dengan beban penyelenggaraan yang bertumpuk, serta sebagian partai politik yang sulit mencari kader partai untuk dicalonkan sebagai calon anggota legislatif di tingkat nasional, provinsi, dan daerah. Perludem mengusulkan dipisahkannya pemilihan serentak nasional, yaitu pemilihan presiden, pemilihan anggota DPR RI, dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dengan pemilihan serentak lokal, yaitu penggabungan pemilihan wali kota/bupatu, pemilihan gubernur, pemilihan anggota DPR Daerah (DPRD) kabupaten/kota, dan pemilihan anggota DPRD provinsi di satu hari yang sama.

“Yang perlu didorong adalah pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal. Agar penyelenggara pemilu juga bebannya tidak semasif kemarin. Bagi partai politik, mesti menyediakan kandidat untuk dicalonkan di pemilihan legislatif dari kabupaten, kota, provinsi, sampai nasional. Sementara proses kaderisasi partai politik belum baik. Jadi, partai hanya asal mencalonkan. Pemilih juga kesulitan karena harus mengenali sekian banyak calon,” jelas Khoirunnisa.

Dengan dipisahnya pemilu serentak nasional dan lokal dalam jarak dua atau dua setengah tahun, pemilih memiliki kesempatan untuk menghukum partai yang tak berkinerja baik. Partai di DPR RI dapat dihukum dengan tidak dipilih di pemilihan serentak lokal.

“Kalau dipecah, pemilih punya mekanisme reward and punishment kepada pemerintah. Kalau dia tidak puas dengan pemerintah pusat, dia bisa menghukum dengan tidak memilih lagi di pemilihan lokal. Karena ada jeda 2,5 tahun. Kan kalau jaraknya 5 tahun, masyarakat sudah lupa dengan kekesalannya atas apa yang pernah dilakukan pemerintah pusat,” tandas Kohirunnisa.

Mengecilkan jumlah kursi tiap daerah pemilihan DPR dan DPRD

Sistem kepartaian multipartai ekstrem di parlemen nasional dan lokal disebabkan oleh  banyaknya jumlah kursi pada satu daerah pemilihan (dapil) di pemilu legislatif. UU No.7/2017 menetapkan jumlah kursi setiap dapil anggota DPR RI adalah 3 sampai 10 kursi, dan untuk pemilihan DPRD 3 sampai 12 kursi. Dengan pengaturan tersebut, sepuluh partai berpotensi masuk di DPR RI, dan 12 partai di DPRD. Banyaknya partai di parlemen menyebabkan terhambatnya kerja presiden dan kepala daerah, karena partai politik di Indonesia yang berideologi cair fokus pada kue kekuasaan, bukan mendukung program, dan visi-misi eksekutif. Perludem mengusulkan besaran dapil untuk DPR RI dan DPRD menjadi 3-5.

“Sekarang ada 9 partai di DPR RI. Suara-suara itu akan semakin riuh. Nah, mengatasi masalah itu bisa dengan memperkecil dapil. Sekarang kan 3-10. Artinya, sepuluh partai punya kesempatan untuk dapat satu kursi. Tapi kalau diperkecil, akan semakin sedikit partai di parlemen. Jadi, sistem kepartaian kita sederhana,” tutur Khoirunnisa.

Menghapus ambang batas parlemen

Ambang batas parlemen atau parliamentary threshold yang sejak Reformasi cenderung ditingkatkan mengakibatkan dua permasalahan. Pertama, ambang batas parlemen lebih sebagai upaya partai parlemen untuk tetap berkuasa sehingga tak ada kritik dari sirkulasi kekuasaan melalui pemilu. Kedua, ambang batas parlemen kontradiktif dengan sistem pemilu proporsional karena banyaknya suara yang hangus menjadikan perbandingan suara dan kursi hasil pemilu tak proporsional. Padahal, sistem proporsional dengan prinsip opovov, yaitu one person, one vote, one value, seharusnya melindung secara setara setiap suara warga negara.

“Kemarin ambang batas parlemen kita 4 persen. Lalu ada 17 juta suara tidak sah. Itu suara yang sia-sia. Partai kan waktu membuat undnag-undang merasa itu hidup mati partai, dia mau yang menguntungkan partainya. Partai besar percaya diri lolos, sehingga ambang batas diperbesar. Ini membuat partai kecil atau partai baru sulit masuk ke parlemen. Jadi, membuang suara orang yang sudah datang ke TPS,” terang Khoirunnisa.

Meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen melalui sistem pemilu yang lebih afirmatif

Perludem menilai keterwakilan perempuan di parlemen yang meningkat belum cukup menjamin produk legislasi yang adil gender. Pasalnya, jika melihat latar belakang perempuan yang terpilih, sebagian besar berasal dari dinasti politik, kader dadakan, dan tidak tersambung dengan gerakan perempuan. Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan dengan konten yang baik misalnya, menjadi simbol belum berpihaknya perempuan parlemen secara kuantitas dan kualitas terhadap isu keadilan gender. Dibutuhkan perubahan sistem pemilu yang lebih afirmatif dalam revisi undang-undang pemilu, seperti penempatan perempuan caleg di nomor urut satu dari 30 persen total dapil.

“Kebiajkan afirmasi perempuan, dari pemilu sebelumnya, tidak lebih baik. Bahasanya masih memperhatikan. Memang di 2019 perempuan lebih banyak terpilih, tapi profil mereka banyak yang jadi bagian dari dinasti politik. Mesti ada aturan yang memaksa keseriusan partai untuk merekrut perempuan yang melek keadilan gender dan berpihak pada perempuan,” tandas Khoirunnisa.

Rekomendasi Perludem untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden dan membuka keran pencalonan dari jalur independen didukung oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Direktur YLBHI, Asfinawati mengatakan calon presiden independen akan memberikan pilihan alternatif kepada pemilih yang tak puas dengan calon-calon yang disediakan oleh partai politik parlemen.

“Kalu mau lihat esensi demokrasi bisa lihat amandemen UUD 1945. Dia menutup calon presiden dari independen. Di dalam amandemen dikatakan hanya bisa lewat partai. Ini harus diubah lagi. Kita perlu punya calon presiden dari jalur independen,” tegas Asfin.