September 13, 2024

KPU Atur Kembali Norma Larangan Mantan Napi Korupsi Jadi Cakada

Pada rapat konsultasi di ruang rapat Komisi II, gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Senayan, Jakarta Selatan (4/11), Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyampaikan bahwa pihaknya kembali memasukkan norma larangan bagi mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah di rancangan Peraturan KPU (PKPU) Pencalonan Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah 2020. Norma tersebut ditolak oleh beberapa anggota Komisi II.

Zulfikar Arse Sadikin, anggota Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) misalnya, menilai norma ini rentan digugat kembali karena terdapat Putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah membatalkan PKPU Pencalonan Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah sebelumnya. Partai politik, menurut  Zulfikar, meski tak dilarang, tak akan mencalonkan mantannarapidana korupsi sebagai calon kepala daerah (cakada) atau calon wakil kepala daerah (cawakada).

“Sekarang ada semangat apa lagi? Memasukkan kembali larangan mantan terpidana korupsi jadi paslon (pasangan calon)? Kita sih partai-partai yakin punya kesadaran etis yang tinggi, tidak akan mencaonkan orang yang seperti itu. Tapi secara hukum, kalau sudah diputuskan tidak boleh (oleh MA), KPU kenapa mengatur boleh?” pungkas Zulfikar pada rapat konsultasi.

Kontras dengan Zulfikar, anggota Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Kamarussamad mendukung KPU norma larangan mantan narapidana korupsi menjadi cakada atau cawakada. Alasan yang diutarakan yakni, demonstrasi elemen sipil di berbagai daerah pada September 2019 lalu menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan adanya pemberantasan korupsi di berbagai lini.

“Kondisi masyarakat telah menjadikan korupsi sebagai episentrum keberhasil pemerintahan nasional. Kalau peka terhadap kondisi ini dan melihat harapan masyarakat terhadap keadilan sosial begitu tinggi, malah seharusnya mantan terpidana koruptor ditetapkan di awal, sebelum mantan narapidana kasus bandar narkoba,” kata Samad.

Ketua KPU RI, Arief Budiman menjelaskan bahwa diadakannya kembali norma larangan bagi mantan narapidana korupsi mencalonkan diri di Pilkada sebagai respon atas adanya fakta hukum baru, yakni kasus mantan terpidana kasus korupsi yang terpilih kembali di Pilkada, dan tak selang beberapa lama kembali melakukan korupsi.

“Dulu, ketika kami memasukkan itu, katanya kita tidak usah, biar rakyat yang memilih. Ternyata ada fakta mantan terpidana korupsi, terpilih lagi, lalu melakukan lagi (korupsi). Lalu orang kan mestinya bertaubat. Tapi, fakta ini menunjukkan, bahwa sekalipun sudah menjalani hukuman, tapi melakukan korupsi lagi,” jelas Arief.

Terkait norma tersebut, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil berpendapat idealnya norma larangan mantan narapidana korupsi diatur di dalam revisi Undang-Undang (UU) Pilkada. Namun, jika DPR memiliki komitmen anti korupsi, DPR dapat menyambut baik norma yang diatur KPU di dalam rancangan PKPU.

“Harusnya memang ini diakomodir di dalam undang-undang. Tapi upaya yang dilakukan oleh KPU, harusnya juga bisa disambut positif oleh DPRjika memang keduanya punya komitmen memperbaiki proses pencalonan Pilkada, terutama dari mantan napi korupsi,” ujar Fadli kepada rumahpemilu.org melalui Whats App (5/11).

Perludem tengah melakukan uji materi atas Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada No.10/2016 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perludem meminta agar MK memebrikan masa tunggu 10 tahun bagi mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai cakada atau cawakada. Jika MK mengabulkan, maka putusan tersebut akan mengakhiri perdebatan apakah PKPU dapat mengatur larangan bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri di Pilkada.

“Kita yakin MK akan kabulkan permohonan ini, sekaligus menghentikan perdebatan apakah bisa diatur di PKPU atau tidak,” tutup Fadli.