December 26, 2024

Semua Prasyarat E-Rekap Dipenuhi tapi Mengapa Belum Diterapkan?

International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) bersama Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam buku “Panduan Penerapan Teknologi Pungut-Hitung di Pemilu” yang diluncurkan di Jakarta (3/12) menetapkan prasyarat penerapan teknologi pemilu. Rekapitulasi elektronik (e-rekap) sebagai salah satu bentuk teknologi pemilu yang dibutuhkan Indonesia sudah memenuhi semua prasyarat untuk bisa diterapkan. Tapi, tren sikap pemangku kepentingan belum mau menerapkan teknologi e-rekap.

“Saya sepakat penerapan rekapitulasi elektronik untuk pemilu yang lebih baik. Tapi, tunggu dulu. Revisi undang-undang pilkada dilakukan pada 2020 tapi untuk Pilkada 2024, bukan Pilkada 2020,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR, Saan Mustofa.

Menurut dewan dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu, penerapan e-rekap dengan jaminan undang-undang hasil revisi pun bukan untuk diterapkan di semua tempat pemungutan suara (TPS). Perlu ada uji coba dulu di beberapa TPS daerah kota dengan internet yang bagus.

Peneliti Perludem dan penulis buku teknologi pemilu, Heroik Mutaqien Pratama dan Nurul Amalia Salabi menyebutkan prasyarat penerapan teknologi pemilu. Pertama, kebutuhan harus dari masyarakat sipil, bukan elite politik. Kedua, ada kepastian hukum (minimal dalam undang-undang, bukan peraturan teknis). Ketiga, sudah dilakukan uji coba yang baik dengan waktu panjang.

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja berpandangan, penerapan e-rekap belum memuhi prasyarat kepastian hukum. Ini alasan utama mengapa Bawaslu menolak inisiatif KPU menjadikan teknologi pemilu sebagai penentu tahapan Pemilu 2019.

“Kami setuju Sipol, Silon, Situng, e-rekap, atau apapun. Tapi semua harus berdasar kepastian hukum yang dijamin dalam undang-undang pemilu, bukan peraturan,” kata Rahmat menegaskan.

Anggota KPU 2012-2017, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, berbeda pendapat dengan Rahmat. Menurut Ferry, kepastian hukum penerapan e-rekap di Pilkada 2020 sudah dijamin melalui undang-undang pilkada. Yang dibutuhkan hanya Peraturan KPU tentang e-rekap.

Lebih jauh, peneliti di Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) ini meyakinkan bahwa prasyarat uji coba dalam waktu yang panjang pun sudah dipenuhi untuk penerapan e-rekap. Menurutnya, e-rekap secara konkret sudah dilakukan oleh KPU dan jajarannya selama ini dengan nama Situng (sistem informasi penghitungan suara). E-rekap versi Situng sudah lama dan berhasil diterapkan khususnya pada Pemilu 2014, Pilkada 2015, dan Pilkada 2017.

“Tadi ada kebutuhan uji coba dilakukan di daerah perkotaan. Di Pilkada 2020, sebetulnya ada daerah kota yang siap menerapkan e-rekap di beberapa TPS. Yang penting ada PKPU e-rekapnya karena undang-undang pilkada udah jamin,” kata Ferry dengan yakin.

Anggota KPU Kota Depok, Kholilullah Pasaribu menginformasikan, kemungkinan KPU RI akan mengeluarkan PKPU e-rekap untuk digunakan di Pilkada 2020. Kota Depok, sebagai salah satu daerah dari 270 daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020 akan ada dalam pertimbangan menerapkan e-rekap di beberapa TPS.

Penjelasan itu menyimpulkan semua prasyarat penerapan e-rekap di Indonesia sudah dipenuhi. Prasyarat di sini yaitu jaminan kepastian hukum dan uji coba teknologi.

Sedangkan untuk prasyarat lainnya, kebutuhan harus lahir dari masyarakat sipil, pun sudah terpenuhi. Keinginan para pemerhati dan lembaga masyarakat sipil bidang kepemiluan sudah lama menyadari bahwa teknologi pemilu yang tepat bagi Indonesia adalah e-rekap, bukan e-voting.

“Jika kita petakan, permasalahan hasil pemilu Indonesia bukan di tahap pemungutan suara. Karena, di tahap ini kita punya cara dan pengalaman pemungutan dan penghitungan suara manual di TPS yang partisipatif. Pemilih datang ke TPS bukan hanya untuk memilih tapi juga untuk mengawasi penghitungan suara. Masalah hasil pemilu justru ada di akumulasi penghitungan suara pasca-TPS. Itulah mengapa, kebutuhan teknologi pemilu bagi Indonesia adalah e-rekap, bukan e-voting,” jelas Heroik peneliti Perludem, salah satu penulis buku.

Keinginan itu bukan hanya dari Perludem dan International IDEA tapi juga dari guru besar ilmu politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti; akademisi Politik Universitas Indonesia (UI), Sri Budi Ekowardani; para pemerhati pemilu dan anggota KPU 2012-2017 yang tergabung dalam Netgrit; Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia; Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR); The International Foundation for Electoral Systems (IFES); Kemitraan; dan lainnya. Bahkan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah sepakat, teknologi pemilu yang dibutuhkan Indonesia adalah e-rekap, bukan e-voting.

Jadi, tiga prasyarat penerapan teknologi pemilu e-rekap sudah terpenuhi. Banyak pihak berkeinginan kuat untuk menerapkan e-rekap. Tapi, banyak pihak ini belum termasuk DPR juga penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu. []

USEP HASAN SADIKIN