August 8, 2024

Urgensi Regenerasi Kepemimpinan Partai Politik OLEH AHMAD KHOIRUL UMAM

Pasca Pemilu 2019, sejumlah partai politik menyelenggarakan suksesi kepemimpinan untuk menjalankan fungsi kaderisasi dan meningkatkan performa kinerja mesin politik masing-masing. Kendati demikian, hasil suksesi kepemimpinan sejumlah partai politik nasional justru tidak menunjukkan adanya proses regenerasi kepemimpinan yang efektif.

Hal itu ditunjukkan oleh dominasi nama-nama lama yang kembali hadir sebagai pucuk pimpinan partai politik nasional. Misalnya, Megawati kembali terpilih sebagai Ketum PDIP, Muhaimin Iskadandar kembali menjadi nahkoda PKB, Surya Paloh juga kembali menempati posisi Ketum Nasdem, serta Airlangga Hartarto yang baru-baru ini kembali menduduki posisi Ketum Partai Golkar hingga lima tahun ke depan.

Realitas politik itu mengindikasikan bahwa dinamika internal partai politik cenderung menghendaki terjaganya status quo. Yakni, sebuah kondisi stagnan dimana ruang perubahan dan regenerasi tidak mendapatkan ruang yang memadai dalam proses suksesi kepemimpinan partai politik. Artinya, struktur kekuasaan lama memiliki daya cengkeram yang begitu kuat sehingga dengan mudah mempertahankan dominasinya dalam struktur komando kepempinan partai politik.

Realitas politik itu mengindikasikan bahwa dinamika internal partai politik cenderung menghendaki terjaganya status quo.

Kecenderungan mengakarnya status quo itu setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, besarnya dominasi patron client di dalam partai politik. Memang tidak ada yang keliru dengan fenomena patron client. Sebab, dalam lembaga partai tradisional hingga modern sekalipun, patron client selalu menjadi realitas politik yang selalu memiliki ruang sangat terbuka untuk tumbuh dan berkembang. Berbagai tinjauan klasik menunjukkan bahwa terbentuknya pola relasi patron client itu disebabkan oleh berbagai macam faktor, mulai dari histori kepemimpinan, kontribusi sumber daya dan logistik, wibawa dan kharisma pemimpin, trah atau keturunan, hingga tingginya kapasitas ilmu keagamaan dan legitimasi adat yang menjadi basis terciptanya kepercayaan publik terhadap figur pemimpin (Anderson, 1970; Scott, 1972). Karena tidak ada alternatif kekuatan yang bisa mengimbangi, maka terjadilah sentralisasi peran dalam setiap pengambilan keputusan di dalam partai politik.

Kedua, bertahannya status quo dalam suksesi kepemimpinan partai politik juga dipengaruhi oleh motif internal partai yang memiliki potensi friksi dan faksionalisme antar kekuatan di dalam struktur kekuasaan internal partai politik. Artinya, status quo yang mayoritas berbasis pada pola relasi patron client sengaja dimanfaatkan untuk menjaga stabilitas dan soliditas internal partai politik. Jika hal itu tidak dilakukan, konflik dan perpecahan berpotensi terjadi dan mendegradasi mesin politik. Sementara, partai politik akan menghadapi berbagai kegiatan kompetisi nasional jangka pendek berupa Pilkada 2020, Pilkada 2022 dan juga persiapan Pemilu 2024 yang mensyaratkan soliditas mesin politik.

Ketiga, partai politik cenderung ‘manja’ menikmati status quo sehingga menihilkan keberanian mereka untuk mengambil resiko, berspekulasi dan berinovasi untuk menciptakan panggung-panggung baru bagi para alternatif pemimpin baru. Sehingga spirit perubahan dan transformasi generasi dalam struktur kepartaian menjadi sangat terbatas. Kondisi psikologis yang diidap partai-partai politik itu berpotensi menghambat perkembangan partai politik secara kelembagaan. Sehingga, model komando, strategi politik, pola kaderisasi dan pendekatan komunikasi antar-lembaga akan cenderung mengalami stagnasi. Sehingga partai politik akan cenderung berkutat pada kerja-kerja lama untuk mempertahankan basis pemilih loyal, tanpa mampu memperluas captive market-nya.

Lebih jauh lagi, status quo kepemimpinan partai politik ini juga akan berdampak kepada stagnasi kualitas demokrasi Indonesia ke depan. Sebab, tidak ada ruang akselerasi bagi kader dan calon pemimpin baru yang potensial untuk tampil di hadapan publik. Pada saat yang sama, pola relasi status quo itu juga berpotensi menghadapi tantangan dari perilaku politik pemilih yang cenderung jenuh dan ‘ogah’ dengan stok wajah-wajah lama yang mendominasi perpolitikan nasional.

Karena itu, realitas politik ini menjadi peluang yang baik bagi partai-partai politik tersisa yang belum menjalankan suksesi kepemimpinan, laiknya Partai Demokrat, PPP, PAN, hingga PKS. Keberanian melakukan penyegaran dalam struktur kepemimpinan untuk menampilkan wajah-wajah baru yang memiliki visi dan integritas yang memadai akan meningkatkan ‘public trust’ dan apresiasi publik terhadap partai politik.

Misalnya, Partai Demokrat sebagai mantan partai penguasa yang menghadapi dinamika dan tantangan elektabilitas pasca masa Kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menjadi salah satu partai yang patut mempertimbangkan langkah penyegaran ini. Jika Ketua Umum Partai Demokrat SBY berani mengambil langkah inovatif untuk memberikan kesempatan regenerasi, termasuk kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sekalipun, maka Partai Demokrat memiliki peluang untuk melakukan transformasi dan penyegaran kekuatan partai.

Terlepas dari figur AHY yang notabene anak biologis sekaligus anak ideologis SBY, tetapi partai politiknya perlu memperhitungkan realitas bahwa AHY selalu menjadi satu-satunya nama yang secara konsisten merepresentasikan partainya dalam bursa dan survei-survei kepemimpinan nasional. Aspek popularitas dan elektabilitas itu merupakan modal dasar yang tidak mudah direkayasa. Tidak sedikit tokoh politik dan para pimpinan partai politik yang meng-investasikan sumber daya dan logistiknya untuk “mati-matian” merekayasa opini publik guna meningkatkan popularitas dan elektabilitas mereka. Tetapi perilaku politik pemilih cenderung berkembang secara alamiah. Door to door canvasing hingga operasi kampanye digital tidak menjamin bisa mengubah hingga memanipulasi orientasi dan preferensi politik publik.

Artinya, regenerasi kepemimpinan tetap harus didasarkan pada kalkulasi yang matang. Rumusan itu pula yang diambil oleh PDIP untuk ‘banting stir’ mengajukan Joko Widodo dalam Pilgub DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014, meskipun melangkahi trah keturunan Soekarno. Artinya, penyegaran kepemimpinan politik merupakan kebutuhan fundamental sekaligus peluang besar yang harus ditangkap oleh partai-partai politik. Kendati demikian, pembacaan yang proporsional tetap harus dilakukan untuk merawat soliditas struktur dan basis kekuatan politik masing-masing. Tetapi, regenerasi kepemimpinan politik jelas menjanjikan peluang besar bagi hadirnya kemenangan melalui transformasi kualitas dan efektivitas pergerakan mesin politik. Dengan itu, partai politik akan lebih mudah merawat basis pemilih loyal mereka sekaligus memperluas captive market yang didominasi oleh kekuatan swing voters yang akan semakin besar di Pemilu-pemilu mendatang.

Artinya, penyegaran kepemimpinan politik merupakan kebutuhan fundamental sekaligus peluang besar yang harus ditangkap oleh partai-partai politik. Kendati demikian, pembacaan yang proporsional tetap harus dilakukan untuk merawat soliditas struktur dan basis kekuatan politik masing-masing.

AHMAD KHOIRUL UMAM, Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina, Jakarta

Dikliping dari artikel yang terbit di Harian Kompas. https://kompas.id/baca/opini/2020/01/13/urgensi-regenerasi-kepemimpinan-partai-politik/