August 8, 2024

Wacana Naikkan Parliamentary Threshold, Perludem Tawarkan Ambang Batas Pembentukan Fraksi

Sejak akhir tahun 2019, muncul wacana oleh partai-partai di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk menaikkan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen di dalam revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sepakat untuk mengusulkan kenaikan parliamentary threshold menjadi 5 persen (CNNIndonesia.com, 6 Desember 2019), bahkan Partai Golongan Karya (Golkar) menggagas hingga 7,5 persen (Kompas.com, 14 Januari 2020).

Wacana yang muncul sebelum dibahasnya RUU Pemilu di DPR dikritisi oleh para pegiat pemilu. Salah satunya Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, yang menyatakan heran soal wacana kenaikan parliamentary threshold. Ia menduga isu ini sengaja dilempar oleh politisi untuk menjauhkan masyarakat dari tugas evaluasi Pemilu Serentak 2019 yang semestinya dikaji oleh partai politik.

“Mudah-mudahan ini bukan untuk mengalihkan perhatian publik. Bayangkan saja, kenapa evalausi tidak dimulai dengan sejauh mana efektivitas dan efisiensi serta pemenuhan prinsip-prinsip pemilu sudah dipenuhi di Pemilu Serentak 2019? Justru malah keluar isu kenaikan parliamentary threshold.  Harusnya ada evaluasi mendalam. Kita perluu mendengar evaluasi holistik dari peserta pemilu, Pemerintah,” tandas Fadli pada diskusi “Parliamentary threshold dan Kuasa Oligarki Partai” di kantor Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP), Kuningan, Jakarta Selatan (11/2).

Menurut Fadli, setidaknya terdapat dua hal yang mesti menjadi perhatian DPR, selain evaluasi pemilu serentak pertama di Indonesia secara mendalam. Pertama, penataan manajemen kepemiluan. Kedua, jadwal keserentakkan pemilu serentak dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa parliamentary threshold selama ini dianggap oleh para politisi dapat diatur untuk mengefektifkan sistem kepartaian. Namun, pada realitasnya, peningkatan parliamentary threshold tak terbukti efektif menyederhanakan sistem kepartaian dan pengambilan keputusan di parlemen. Pada Pemilu 2009, saat parliamentary threshold pertama kali diterapkan, yakni sebesar 2,5 persen, jumlah partai parlemen memang berkurang dari 16 partai pada 2004, menjadi 9 pada 2009. Akan tetapi, proses pengambilan keputusan makin rumit akibat kekuataan partai-partai di parlemen yang tersebar. Kemudian saat parliamentary threshold meningkat menjadi 3 persen pada Pemilu 2014, jumlah partai politik justru bertambah menjadi 10. Di 2019, dengan parliamentary threshold 4 persen, jumlah partai politik parlemen hanya berkurang 1.

“Jadi, kalau mau kurangi jumlah partai, tidak efektif juga meningkatkan parliamentary threshold. Malah, akan lebih banyak suara pemilih yang terbuang. Hasil Pemilu 2019 membuktikan harusnya ada partai yang dari suara yang dia peroleh, dapat kursi di DPR. Tapi karena tidak lolos parliamentary threshold, dia jadi tidak dapat kursi,” jelas Fadli.

Ia kemudian menerangkan, bahwa peningkatan parliamentary threshold justru dapat mengabaikan sistem represnetasi dan mengingkari prinsip proporsionalitas dalam pemilu. Jika terlalu tinggi, maka parliamentary threshold mengancam partai tak memperoleh kursi sebagaimana semestinya, sesuai suara yang diperoleh.

Pun, menurut Fadli, peningkatan parliamentary threshold yang terlalu tinggi dapat menyebabkan partai politik sebagai dasar pembentukan fraksi, kekurangan anggota fraksi. Saat ini, terdapat partai yang hanya memiliki 19 anggota, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Jumlah tersebut tak cukup untuk mengisi alat kelengkapan di DPR.

“Seberapa efektifnya kursi partai bisa mengefektifkan fungsi dan tugas DPR? Misal, sekarang ada partai yang hanya punya 19 kursi di DPR. Untuk isi alat kelengkapan saja dia tidak cukup. Nah, bagaimana mengandalkan partai ini bisa menjadi wakil dari pemilihnya?”, tukas Fadli.

Fadli menawarkan gagasan pemberlakuan ambang batas pembentukan fraksi, alih-alih meningkatkan parliamentary threshold. Keberadaan ambang batas pembentukan fraksi justru berpotensi lebih menyederhanakan pengambilan keputusan di DPR.

“Jadi, semua yang ikut pemilihan anggota DPR, ikutkan saja dalam proses pembagian kursi. Baru threshold diberlakukan dalam membentuk fraksi. Ini akan menjadi penyederhanaan pengambilan keputusan di DPR,” ucapnya.

Mewanti-wanti rencana DPR, Fadli kembali mengingatkan agar penetapan parliamentary threshold memperhatikan sistem representasi dan prinsip proporsionalitas suara dalam pemilu. Wacana peningkatan parliamentary threshold wajib ditolak jika tak jelas tujuan dan untuk siapa kepentingan.

 

Referensi

CNNIndonesia.com. 6 Desember 2019. “PDIP Ingin Naikkan Parliamentary Threshold Jadi 5 Persen”. Berita dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191206165625-32-454845/pdip-ingin-naikkan-parliamentary-threshold-jadi-5-persen.

Kompas.com. 14 Januari 2020. “Golkar Dukung Wacana Ambang Batas Parlemen Naik Jadi Lebih dari 5 Persen”. Berita dalam https://nasional.kompas.com/read/2020/01/14/21582721/golkar-dukung-wacana-ambang-batas-parlemen-naik-jadi-lebih-dari-5-persen.