Selain beratnya tantangan revolusi 4.0, capaian pembangunan di dalam negeri menghadapi persoalan kesenjangan antardaerah. Tak seluruh daerah dan wilayah menikmati dengan relatif setara.
Pilkada Serentak 2020 yang akan berlangsung di 49 persen (270) daerah merupakan tonggak krusial yang memengaruhi masa depan. Empat tahun masa kepemimpinan kepala daerah terpilih (2020-2024) akan menentukan nasib daerah karena dua alasan.
Pertama, daerah akan menghadapi situasi kian kuatnya terpaan revolusi industri keempat (4.0). Dunia usaha dan masyarakat sudah merasakan kecepatan dan dampak sistemik perubahan akibat berbagai terobosan teknologi berbasis digital.
Kedua, disrupsi teknologi kian menegasikan asimetri kekuasaan antara penguasa dan rakyat. Koneksi digital yang relatif tanpa batas memperluas akses dan mereduksi ketergantungan warga ke pemerintah dan/atau legislatif.
Konsekuensinya, nilai otoritas dan kemanfaatan pemerintah di mata warga niscaya mengalami perubahan besar.
Eksistensi pemerintah daerah yang kesehariannya bersentuhan langsung dengan publik (termasuk swasta) akan merasakan langsung akibat pergeseran itu. Maka, pemimpin daerah mesti mendorong perubahan semua elemen lokal agar mampu mengarungi era revolusi yang tantangannya lebih berat dari tiga revolusi sebelumnya.
Menurut pengukuran kesiapan produksi di masa depan (World Economic Forum 2018), Indonesia terkategori belum memiliki kesiapan (nascent) menghadapi revolusi 4.0. Di antara tujuh negara ASEAN yang diukur, Indonesia sejajar dengan Vietnam dan Kamboja. Singapura dan Malaysia masuk dalam kategori siap (leading).
IMD World Competitiveness Center melakukan penilaian hampir sama melalui pengukuran ranking daya saing digital. Pada 2019, Indonesia peringkat 56 dari 63 negara. Capaian itu masuk kuartil terbawah atau mengindikasikan lemahnya daya saing Indonesia dalam transformasi digital.
Selain beratnya tantangan revolusi 4.0, capaian pembangunan di dalam negeri menghadapi persoalan kesenjangan antardaerah. Meski tren capaian pembangunan membaik, tak seluruh daerah dan wilayah menikmati dengan relatif setara.
Meski tren capaian pembangunan membaik, tak seluruh daerah dan wilayah menikmati dengan relatif setara.
Perkembangan demokrasi mengalami peningkatan sejak 2009 melalui capaian Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Keefektifan pembangunan politik itu sejalan dengan perbaikan indeks pembangunan manusia (IPM), yang naik 4,86 poin dalam kurun 2010-2018.
Angka kemiskinan berhasil dipangkas 3,67 persen (2010-2018). Perbaikan kualitas hidup masyarakat dan penurunan kemiskinan diikuti pula peningkatan kebahagiaan penduduk. Secara nasional, indeks kebahagiaan naik 2,41 poin pada 2014-2017.
Namun, di balik agregat-agregat keberhasilan itu, terselip disparitas antarprovinsi dalam capaian pembangunan manusia, penurunan kemiskinan, dan kebahagiaan. Hingga 2018, hanya sembilan dari 34 provinsi mencapai IPM di atas rerata nasional.
Hampir setengah provinsi penduduknya mengalami kemiskinan lebih tinggi dari rerata nasional (2018). Terdapat 10 provinsi dengan tingkat kebahagiaan penduduk di bawah rerata nasional pada 2017.
Di wilayah Papua dan Maluku, ketimpangan terjadi antara Papua dan provinsi lain dalam IPM, kemiskinan, kebahagiaan. Di Sumatera; angka kemiskinan Aceh, Bengkulu, dan Lampung mencolok dibanding provinsi lain. Di Jawa, peringkat IPM DKI dan DIY paling menonjol di antara enam provinsi (2010-2018).
Nilai digital
Merespons tantangan itu, perlu perubahan perspektif kepemimpinan politik di daerah. Kepemimpinan politik lokal harus mampu mentransformasi nilai kemanfaatan publik (public value) menjadi nilai digital (digital value). Kuncinya, pengambilan kebijakan tak sekadar mempertimbangkan efisiensi, efektivitas, keekonomisan, dan potensi efek sampingnya bagi publik.
Hampir setengah provinsi penduduknya mengalami kemiskinan lebih tinggi dari rerata nasional (2018).
Kepala daerah harus pula mengkalkulasi disrupsi, baik teknologi, inovasi, maupun perubahan radikal cara pandang publik terhadap praktik kepemimpinan politik subnasional.
Guna mendorong transformasi menuju nilai digital, kepala daerah perlu mempertimbangkan beberapa hal dalam kepemimpinan dan pengambilan kebijakan. Pertama, mengalihkan politik konsensus menjadi politik kreatif dalam menetapkan kebijakan strategis, penganggaran, pelayanan.
Kepala daerah harus mengubah paradigma politik sebagai seni segala kemungkinan menjadi seni menemukan solusi non-ortodoks atas efek disrupsi dan menjalankan kepemimpinan disruptif.
Kedua, pemimpin daerah memperhitungkan perubahan konteks dari situasi daerah yang berubah terus-menerus menjadi disrupsi yang memiliki karakter perubahan cepat, luas, dalam, sistemik, dan berbeda signifikan dari situasi sebelumnya. Pengambilan keputusan bukan saja sebagai upaya akhir menyelesaikan masalah, melainkan proses mengadaptasi perubahan secara cerdas dan cermat.
Ketiga, memahami warga daerah bukan hanya keberagamannya, namun dimengerti sebagai publik yang tak mudah puas karena menuntut disrupsi respons kepemimpinan dan pelayanan. Kemudahan untuk saling terkoneksi antarwarga menggampangkan aksi-aksi konektif untuk menuntut pemimpin mampu menyelesaikan masalah lokal dengan segera.
Keempat, mengerti kebutuhan publik yang tak hanya kian kompleks. Kebutuhan warga dipengaruhi sistem digital. Kehidupan yang makin serba digital menuntut redefinisi kebutuhan publik dan kecepatan perubahan kebutuhan itu. Misalnya, kebutuhan pendidikan berorientasi digital, pelayanan kesehatan berbasis digital, dan ekonomi digital.
Kehidupan yang makin serba digital menuntut redefinisi kebutuhan publik dan kecepatan perubahan kebutuhan itu.
Kelima, perubahan jejaring tata kelola pemerintahan. Kepala daerah tak saja memahami jejaring pengambilan kebijakan dalam kemitraan secara konvensional. Kepala daerah harus membangun jejaring kebijakan dalam bentuk komunitas digital bersama swasta, masyarakat sipil, dan warga digital (netizen).
Keenam, kepala daerah mesti melakukan perubahan peran sebagai pembuat kebijakan dan peran warga dalam pembuatan kebijakan. Kepala daerah bukan saja bertindak sebagai pemimpin sekaligus penerjemah permintaan dan kebutuhan publik.
Mereka juga harus bertransformasi jadi seorang disruptor, pemungkin (enabler), dan pengantisipasi risiko perubahan. Sementara peran publik bergeser dari hanya sebagai produsen bersama (co-producer) menjadi warga digital aktif, pembelajar, dan saling terhubung.
Terakhir, kepala daerah harus memiliki kearifan digital. Idealisme respons, regulasi, dan pelayanan yang mengikuti tuntutan revolusi 4.0 tak boleh mengesampingkan realitas konteks lokal (sejarah, nilai, dan kebutuhan).
Kearifan digital memungkinkan mereka tetap mengedepankan kepemimpinan politik dengan kasih sayang, empati, kerendahan hati, toleransi, keberanian, dan keadilan bagi seluruh publik dalam balutan kreativitas dan inovasi.
WAWAN SOBARI, Dosen Bidang Politik Kreatif, Ketua Program Studi Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya
Dikliping dari artikel yang terbit di Harian Kompas 17 Februari 2019 https://kompas.id/baca/opini/2020/02/17/disrupsi-kepemimpinan-daerah/