August 8, 2024

Perludem: Putusan MK No.55/2019 Meletakkan Sejarah Baru dalam Pemilu Indonesia

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengapresiasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.55/2019 mengenai desain waktu keserentakkan pemilu. Di dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa pemilihan serentak nasional, yakni pemilihan presiden, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tak boleh dipisahkan. Merunut pada original intent perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pemilu serentak nasional yang memasukkan tiga pemilihan tersebut dilakukan untuk memperkuat sistem presidensialisme. Adapun pemilihan anggota DPR Daerah (DPRD) dapat digabung atau dipisahkan dari pemilu serentak nasional.

“Saya kira, putusan MK hari ini sudah meletakkan sejarah baru dalam penyelenggaraan pemilu Indonesia. Karena, bagaimanapun ini menjadi salah satu jawaban dari diskursus soal keserentakkan pemilu 2019. Banyak yang mengatakan pemilu lima kotak itu adalah harga mati paska putusan MK No.14/2013. Jadi, adanya putusan ini, mengkonstruksi ulang pilihan-pilihan dalam menentukan keserentakkan pemilu. Bahwa pilihan pemilu lima kotak bukan satu-satunya pilihan,” tandas Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, usai pembacaan putusan di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat (26/2).

Varian model pemilu serentak yang disebutkan MK yakni, pertama, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan presiden. Kedua, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden, gubernur, bupati, dan wali kota. Ketiga, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, presiden, gubernur, bupati, dan wali kota. Keempat, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati, dan wali kota. Kelima, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak provinsi untuk memilih DPRD provinsi dan gubernur, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota. Keenam, pilihan-pilihan keserentakan lain.

Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil menilai MK yang tak menyebutkan satu model pemilu serentak tertentu telah bijaksana. Pasalnya, bisa jadi model pemilu serentak tersebut tak dapat dijanlankan dengan baik pada tataran praktik. Adapun yang diajukan Perludem di dalam permohonannya adalah varian nomor empat.

“Yang diminta Perludem itu masuk menjadi salah satu varian yang disebutkan MK. Tapi, mau mengatakan itu hal yang final dan mengikat tentu MK punya pertimbangan tersendiri. Itu domain pembentuk UU,” tukas Fadli.

Dengan keluarnya Putusan MK No.55/2019 ini, menurut Fadli, seyogyanya menghentikan perdebatan di DPR untuk memisahkan kembali pemilihan presiden dengan pemilihan legislatif. Pasalnya, pemilihan yang memisahkan keduanya adalah inkonstitusional. DPR didorong untuk melakukan simulasi atas enam varian pemilu serentak yang disebutkan oleh MK, berdasarkan rambu-rambu yang ditegaskan oleh MK, yaitu melibatkan semua kalangan yang berperhatian pada penyelenggara pemilu, model dirumuskan lebih awal agar ada waktu cukup untuk simulasi, memperhitungkan semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia, memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih, dan tidak mengubah pemilihan langsung.

“Jadi, pembentuk undang-undang, gak boleh lagi menggeser memisahkan pilpres dengan DPR dan DPD. Itu membuat desian pemilu inkonstitusional. Setelah ini, varian-varian kita harus simulasikan. Varian yang mana yang lebih memperkuat tujuan-tujuan pemilu, lebih minim resiko teknis bagi penyelenggara, tidak membebani pemilih, dan bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama,” tutup Fadli.