August 8, 2024

Diskursus Pilkada Langsung dan Tidak Langsung Terus Bergulir

Diskursus pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung dan tidak langsung ternyata belum berakhir meski telah keluar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.55/2019 yang banyak dinilai oleh pegiat pemilu memasukkan pilkada sebagai bagian dari pemilihan umum atau pemilu. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini bahkan memandang putusan MK tersebut bertendensi agar pilkada langsung dipertahankan sebagai wujud dari konsep kedaulatan rakyat.

“Ada tendensi dari MK untuk tidak meninggalkan jalan panjang untuk memperkuat konsep kedaulatan rakyat. Pilkada langsung memang ada masalah, tetapi jika pilkada tidak langsung, dipilih DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) yang isinya adalah anggota partai politik, ingat, berdasarkan survei Charta Politika, partai politik adalah institusi yang mendapatkan kepercayaan paling rendah dari masyarakat,” tandas Titi pada diskusi “Urgensi Mewujudkan Pilkada Demokratis dan Berkualitas: Tantangan dan Harapan” di Hotel Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (9/3).

Titi berargumen bahwa langsung atau tidak langsungnya pilkada, kunci dari permasalahan politik dan pemerintahan di daerah adalah pembenahan institusi partai politik. Peran partai politik sangat kuat dalam pencalonan kepala daerah. Semestinya regulasi yang ada memastikan sistem rekrutmen calon kepala daerah di internal partai berjalan demokratis dan akuntabel sehingga calon-calon yang diusulkan partai adalah kader terbaik partai.

“Output pilkada, mau langsung, tidak langsung, akarnya partai politik. Di Pilkada langsung, kan menu (calon kepala daerah) dari partai. Di Pilkada tidak langsung, dipilih juga oleh anggota partai di DPRD. Jadi, apapun pilhan kita, partai harus dibenahi,” kata Titi.

Ia melanjutkan, konflik yang terjadi selama Pilkada kerap kali didorong oleh perilaku partai politik. Pada tahap pencalonan kepala daerah, perbedaan rekomendasi oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dengan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dapat menimbulkan konflik. Pada tahap rekapitulasi suara, lamanya proses rekapitulasi manual berjenjang rentan terjadi manipulasi suara yang melibatkan calon dan penyelenggara pemilu.

“Sentralisasi pencalon kepala daerah kan rekomnya dari DPP. Kadang ada perbedan rekom di daerah dengan pusat. Itu juga bisa jadi konflik. Jadi, memang konflik itu berasal juga dari perilaku partai politik kita,” ujar Titi.

Dari pantauan Titi, praktik pilkada menunjukkan prosedur yang lebih baik, tertib, dan profesional. Undang-Undang (UU) Pilkada kian memperkuat demokrasi melalui regulasi larangan dan sanksi bagi pelaku mahar politik dan politik uang. Pilkada pun menjadi medium rekrutmen politik dari tingkat daerah ke tingkat nasional. Presiden Joko Widodo misalnya, merupakan figur yang lahir dari pilkada langsung di tingkat kota dan provinsi.

“Meski UU Pilkada kita lahir by accident, tapi upaya untuk melahirkan kontestasi yang setara itu ada. Baru pertama kali di UU, mahar politik bisa didiskualifikasi dan tidak boleh dicalonkan lagi di Pilkada berikutnya. Dan ternyata, Pilkada, dari fase perjalanannya, dia menjadi medium rekrutmen politik kita. Bupati dapa rekom jadi gubernur. Gubernur dapat rekom jadi presiden,” urainya.

Pendapat Titi yang menekankan pilkada langsung dipertahankan kontras dengan pendapat Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, dan Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro yang cenderung menginginkan agar pilkada langsung dialihkan menjadi pilkada tidak langsung di sejumlah daerah. Mendagri memang memandang Pilkada langsung memiliki semangat yang baik, yakni agar rakyat dapat memilih langsung pemimpin daerahnya dan individu berkualitas dapat terpilih, namun banyaknya permasalahan yang terjadi dinilai lebih merugikan rakyat dan pemerintah.

“Tapi dalam praktiknya, tidak boleh menafikan dampak-dampak negatif. Pengalaman sebagai Kapolri (Kepal Kepolisian RI) di Papua, potensi konflik terjadi karena keterbelahan masyarakat. Di Papua, Aceh, Madura, itu sampai tembak-tembakanan. Dan juga high cost. APBD (Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) membiayai Pilkada. APBD beragam, ada yang kuat, tapi banyak yang APBD-nya rendah sehingga bergantung pada transfer pusat. Angkanya bisa 80 miliar,” terang Tito.

Tito mengusulkan adanya pilkada asimetris yang memperhatikan tiga variabel. Pertama, tingkat kedewasaan demokrasi masyarakat di suatu daerah yang menyangkut tingkat literasi, pendidikan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat. Kedua, kemampuan keuangan daerah. Ketiga, budaya demokrasi, yakni potensi keterbelahan masyarakat dan rusaknya budaya setempat akibat pilkada langsung.

“Kalau orang sehat, pendidikan memadai, ekonomi kuat, dia akan rasional. Ketika kampanye, didengerin. Tapi kalau ekonomi rendah, gak akan dengerin. Begitu juga di daerah yang keuangannya rendah, tergantung pusat, dan ada potensi akan terbelah sampai ke koflik, ada yang meninggal, perlu dipikirkan solusi lain. Apakah penunjukkan langsung seperti kasus di Jakarta, atau melalui DPRD,” pungkas Tito.

Melengkapi pendapat Tito untuk pilkada asimetris, Siti Zuhro mengatakan bahwa pilkada mesti dievaluasi. Jika pilkada langsung memporakporandakan budaya masyarakat, semestinya dipikirkan sistem pemilihan yang memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat. Pun, ia menilai, selama ini pilkada di banyak daerah tidak menghasilkan pemimpin daerah yang bersih dan bertanggungjawab. Pilkada juga menimbulkan banyak sengketa di peradilan dan merusak masyarakat dengan politik uang.

“Pilkada yang bebas, langsung, kenapa hasilnya tidak berbanding lurus dengan lahirnya pemimpin daerah yang bersih dan bertanggungjawab? Memang ada yang bagus, tapi dari 514 kab kota itu, berapa? Dulu, antara dipilih DPRD dengan langsung, hanya selisih satu suara. Pilkada langsung memang mengedepankan suara rakyat, tapi pilkada langsung ada sengketa, ada vote buying. Kalau lewat DPRD, ya di situ aja politik uangnya. Kerusakannya di situ saja. Kalau rakyat dibeli, itu kedzholiman luar biasa,” tutur Zuhro.

Meski demikian, Zuhro sepakat dengan Titi bahwa partai politik mesti dibenahi. Partai memiliki kewenangan besar di Indonesia dalam pengisian jabatan publik. Tak ada kontribusi baik untuk pemerintahan daerah jika partai tak bertransformasi menjadi institusi yang profesional dan mengedepankan demokrasi internal.

Hendak melampaui diskursus pilkada langsung dan tidak langsung, dalam diskusi tersebut Titi merekomendasikan dua hal, yakni pilkada serentak untuk daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis di tahun 2022 dan 2023, dan menyatukan pilkada dengan pemilihan legislatif daerah. Model keserentakkan tersebut dipandang dapat memfungsikan partai politik di daerah secara lebih efektif.

“Yang berakhir di 2022 dan 2023, tetap diselenggarakan pilkada, tapi tidka di 2024, bisa berbarengan atau terpaut waktu. Jangka panjangnya, MK memberikan solusi penguatan sistem presidensil. Di dalamnya Pilkada. Dari enam model yang disebutkan MK, empat model menggunakan pilkada sebagai instrumen pemilu. Jadi, pilkada tidak dipisah lagi dengan pemilu. Skema ini bisa dipakai untuk menata kembali sistem kepemiluan kita,” tutup Titi.

Bersepakat dengan Titi, Tito pun tak merekomendasikan pemilihan presiden, pemilihan legislatif di semua tingkatan, dan pilkada digelar pada satu tahun yang sama. Pemilu 2019 dengan lima kotak melelahkan dan memakan lebih dari 800 korban jiwa penyelenggara pemilu. Pemilu tujuh kotak dianggap memberi beban yang tak dapat ditanggung oleh manusia.