Partai politik wajib memiliki tanggung jawab politik guna melakukan pelembagaan demokrasi internal melalui proses kandidasi yang transparan, akuntabel, serta berbasis kebutuhan konstituen.
Di tengah merebaknya wabah virus korona atau Covid-19 yang membuat masyarakat berada dalam situasi yang tidak nyaman dan penuh ketidakpastian, panggung politik di banyak daerah tetap menghangat seiring dengan tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020 yang memasuki fase krusial. Tahapan tersebut ialah kandidasi yang membuat area-area publik mulai disesaki lagi oleh ragam informasi tentang orang-orang yang melakukan publisitas politik menuju gelanggang pilkada serentak di 270 daerah.
Ibarat musim semi, para bakal calon di pilkada tumbuh dan mematut diri melakukan persuasi dalam pemasaran diri. Tentu, kandidasi merupakan hal yang sangat kompleks karena melibatkan modal elektoral si kandidat, relasi kuasa di internal partai politik, komunikasi politik lintas kekuatan, serta momentum yang ada di pasar pemilih.
Komunikasi politik
Merujuk pada tulisan Pippa Norris, ”Recruitment”, dalam Richard S Katz and William Crotty, Handbook of Party Politics (2006), kandidasi dimaknai sebagai proses bagaimana kandidat dipilih dari kandidat-kandidat potensial yang mampu bersaing untuk mendapatkan jabatan publik. Tentu, banyak orang yang berkehendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah (running for office). Tetapi, tidak semua memiliki modal memadai.
Ibarat musim semi, para bakal calon di pilkada tumbuh dan mematut diri melakukan persuasi dalam pemasaran diri.
Persaingan perebutan tiket menuju gelanggang pertarungan akan terjadi di 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak, dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Kalau membaca Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2019 tentang tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pilkada serentak 2020, pendaftaran pasangan calon akan berlangsung 16-18 Juni 2020.
Sementara penetapan pasangan calon berlangsung 8 Juli. Dengan demikian, rentang Maret hingga awal Juni menjadi waktu yang sibuk bagi mereka berburu tiket kandidat dari jalur partai politik. Proses komunikasi politik mesti dibangun mereka dengan ragam kekuatan karena untuk menjadi kandidat harus mengantongi dukungan minimal 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara di Pemilu Legislatif 2019 di daerah bersangkutan.
Pun demikian dengan proses kandidasi jalur perseorangan yang prosesnya lebih awal dari jalur partai politik. Berdasarkan PKPU Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan revisi PKPU Nomor 15 Tahun 2019, penyerahan syarat dukungan calon perseorangan untuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur kepada KPU provinsi berlangsung 16-20 Februari 2020. Sementara penyerahan syarat dukungan jalur perseorangan pasangan calon bupati dan wakil bupati/calon wali kota dan wakil wali kota kepada KPU kabupaten/kota berlangsung 19-23 Februari 2020.
Selanjutnya dilakukan penelitian jumlah minimal dukungan dan sebaran, serta penelitian administrasi sebelum ditetapkan sebagai pasangan calon jika memenuhi syarat. Tak mudah mengumpulkan syarat minimal dukungan untuk maju di pilkada dari jalur perseorangan. Komunikasi politik mesti dibangun dengan warga yang bersedia mendukungnya, selain juga dengan penyelenggara pemilu karena tahapan yang mereka lalui sungguh berliku.
Tahapan saat ini jika merujuk pada Judith Trend dan Robert Friendenberg dalam bukunya, Political Campaign Communication Principles and Practices (2015), disebut sebagai tahap pemunculan (surfacing) sebelum ketiga tahapan lain dilakukan, yakni tahap primary, nominasi, dan pemilihan (election). Pada tahap pemunculan yang diperkuat adalah citra diri sehingga berpotensi dipertimbangkan dalam bursa kandidat. Tahap primary sangat menentukan karena dalam situasi kompetitif apakah kandidat meyakinkan untuk bisa dicalonkan oleh partai politik.
Sementara jika melalui jalur perseorangan apakah mereka mendapat dukungan dari warga melampaui syarat minimal yang ditentukan. Tahap nominasi adalah saat dirinya sudah resmi menjadi kandidat oleh KPU dan mulai berkampanye intensif. Berdasarkan PKPU Nomor 16 Tahun 2019, masa kampanye berlangsung 11 Juli-19 September. Tahap terakhir, tentunya sangat menentukan yakni pemilihan, yang akan digelar pada 23 September. Apakah kandidat sukses mendapat mandat suara rakyat atau tidak.
Kampanye memang belum saatnya dilakukan karena belum ada pasangan calon resmi yang ditetapkan KPU. Namun, intensitas komunikasi politik meningkat, umumnya dengan melakukan kerja publisitas politik, public relations politik dan pemasaran politik. Kerja public relations politik berorientasi pada dua tujuan utama, yakni membangun pemahaman bersama (mutual understanding) bahwa kandidat layak menjadi calon pemimpin paling potensial dan niat baik (good will) orang untuk memberi dukungan. Sementara publisitas, selain pemahaman dan niat baik, juga berorientasi pada penghargaan (rescpect) dan juga popularitas.
Pada tahap pemunculan yang diperkuat adalah citra diri sehingga berpotensi dipertimbangkan dalam bursa kandidat.
Kerja komunikasi politik ini tentu menjadi penting dalam proses kandidasi mengingat salah satu indikator penting dalam kandidasi adalah modal elektoral kandidat, seperti tingkat keterkenalan (popularity), tingkat penerimaan (acceptability), dan tingkat keterpilihan diri (electability). Oleh karena itu, konsep pemasaran politik sesungguhnya sudah dilakukan sejak awal kandidat berniat serius maju ke pencalonan.
Semua proses komunikasi politik di atas titik tekannya adalah pada upaya memperkuat hukum probabilitas diri bakal calon untuk masuk bursa kandidat. Hanya saja, proses komunikasi tidaklah linear. Proses yang paling rumit dan kerap mengubah banyak hal melampaui pertimbangan kapasitas diri dan potensi keterpilihan kandidat adalah perspektif elite. Gary W Cox dalam tulisannya, Making Vote Count (1997), soal strategic entry menyimpulkan tiga pertimbangan penting seseorang untuk bisa masuk bursa kandidat.
Pertama, biaya memasuki arena (cost of entry). Faktor ini sering dikaitkan dengan proses politik yang kerap berbiaya tinggi sehingga terjadi kapitalisasi politik dan kerap melahirkan hukum penawaran dan permintaan dalam negosiasi politik yang melibatkan partai politik atau kelompok kepentingan lainnya.
Kedua, keuntungan yang didapat jika duduk di kekuasaan (benefits of office). Potensi-potensi kemenangan yang dihitung oleh elite utama partai politik jika mendukung seseorang untuk maju. Hal ini bisa kita amati, misalnya, dalam proses koalisi yang tidak berlandaskan ideologi atau kesamaan platform, tetapi lebih karena berburu kekuasaan (office seeking).
Ketiga, baru aspek kemungkinan perolehan dukungan dari para pemilih (probably of receiving electoral support). Potensi yang melekat pada diri bakal calon yang berpeluang meraup suara di basis-basis pemilih. Tidaklah mudah melakukan negosiasi dalam komunikasi politik terutama dengan partai politik yang sangat pekat dengan kepentingan elite utamanya.
Faktor perusak
Idealnya, kandidasi adalah sarana pelembagaan politik di tubuh partai politik sebagai bagian dari tahapan kaderisasi. Setelah tahapan perekrutan, kemudian pelibatan kader dalam ragam aktivitas serta penguatan sistem nilai yang dibangun partai, berikutnya adalah distribusi dan alokasi kader ke sejumlah jabatan publik termasuk melalui pintu pilkada untuk menjadi pemimpin di daerah. Kandidasi juga sesungguhnya bisa menyumbang penguatan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dengan tampilnya calon-calon kepala daerah yang mumpuni dan transformasional.
Realitasnya, kandidasi pilkada ini kerap dirusak. Misalnya, dirusak oleh praktik sempurna oligarki politik yang menutup akses kompetisi dari hulu ke hilir dan menyebabkan pilkada sebagai permainan segelintir elite. Modusnya bermacam-macam. Yang kerap terjadi adalah ada pasangan petahana (incumbent) yang maju lagi dan memanfaatkan kekuasaan yang digenggamnya untuk menjadi sarana proteksi dan mekanisme pertahanan dirinya.
Jika si penguasa tersebut tak lagi bisa maju karena sudah dua periode menjabat, biasanya dia akan menyiapkan anak, mantu, saudara, ataupun orang-orang tertentu yang sudah diplotnya menjadi kandidat kuat.
Kandidasi juga sesungguhnya bisa menyumbang penguatan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dengan tampilnya calon-calon kepala daerah yang mumpuni dan transformasional.
Praktik politik dinasti yang memaksakan orang untuk maju menjadi kandidat tanpa persiapan panjang dalam tahapan kepemimpinan ini menjadi persoalan serius. Proses kandidasi menjadi sangat instan. Kekuatan rujukan (reference power) begitu dominan, dan akhirnya kandidasi bak seremoni tanpa arti hakiki lagi.
Adam Przeworski dalam Sustainable Democracy (1999), birokrasi oligarki membentuk kartel yang berkewajiban menentang para pesaingnya sekaligus membatasi kompetisi, menghalangi akses, dan mendistribusikan keuntungan kekuasaan politik di antara sesama kelompoknya saja. Salah satu instrumen yang kerap dimanfaatkan untuk memuluskan keinginannya berkuasa lagi dimulai sejak proses kandidasi.
Hal lain yang merusak tentunya kekuatan ”investor” ekonomi dan politik yang dominan memainkan peran dalam kandidasi, bahkan melampaui kuasa partai politik. Pengusaha atau pebisnis yang punya kepentingan menjaga bisnisnya bisa memfasilitasi tokoh-tokoh tertentu untuk maju menjadi calon kepala daerah. Logika pasar di mana utang biaya politik ini harus berbalas konsensi atau proteksi bisnis pihak yang membiayai pencalonan dan pemilihannya. Kekuasaan yang sedari awal didesain untuk menjadi modus pencurian atas nama otoritas kekuasaan.
Fenomena tadi bisa menyumbang pada semakin hari semakin tingginya calon tunggal di pilkada. Pada pilkada serentak 2015, hanya ada tiga pasang calon tunggal. Pada pilkada serentak 2017, jumlahnya meningkat tiga kali lipat menjadi sembilan pasang calon. Pada pilkada serentak 2018, calon tunggal kembali naik jumlahnya menjadi 16 daerah dari 171 daerah yang menyelenggarakan pilkada.
Secara umum calon tunggal menang mudah, kecuali anomali yang terjadi di Pilkada Kota Makassar saat gelaran Pilkada 2018. Sangat mungkin banyak orang yang berkuasa di daerah dan memiliki akses pada kekuatan ekonomi juga politik mengambil jalan pintas menuju ke kekuasaan dengan cara memborong partai politik.
Menarik membaca hasil jajak pendapat Kompas 11-12 Maret 2020 (Kompas, 16/3/2020) yang menyatakan sebagian besar responden, yakni 69,7 persen, tidak setuju jika pilkada hanya ada satu pasangan calon. Sebanyak 69,5 persen responden menyatakan calon tunggal tidak demokratis karena tidak ada persaingan, 61,2 persen menyatakan calon tunggal membuktikan tidak adanya kaderisasi dalam partai politik, dan 57,7 persen responden menganggap calon tunggal hanya merupakan cara partai politik untuk menang dan masuk ke lingkaran kekuasaan.
Batasi calon tunggal
Dalam penyelenggaraan Pilkada 2020 ini, sudah seharusnya kita menghilangkan atau membatasi calon tunggal. Partai politik wajib memiliki tanggung jawab politik guna melakukan pelembagaan demokrasi internal melalui proses kandidasi yang transparan, akuntabel, serta berbasis kebutuhan konstituen. Partai politik harus mau dan mampu menghadirkan kandidat berkualitas untuk bersaing di pilkada.
Rekomendasi partai untuk pasangan calon jangan sekadar menjadi alat negosiasi untuk kumulasi ekonomi dan kekuasaan segelintir elite utama partai saja. Kehadiran pasangan calon lebih dari satu menjadi kebutuhan yang mendesak, agar kita bisa menghadirkan proses yang kompetitif pada Pilkada 2020. Jangan relakan pilkada hanya menjadi mainan atau mekanisme bohong-bohongan. Oleh karena itu, kandidasi menjadi kunci!
GUN GUN HERYANTO, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas https://kompas.id/baca/opini/2020/04/01/musim-semi-kandidasi/