August 8, 2024

Situasi Tak Normal dan Inovasi Teknologi Pemilu

Apa saja teknologi dalam manajemen dan pelaksanaan pemilu yang kawan-kawan ketahui? Kalau saya, jika mesti sebutkan lima saja, yang langsung teringat adalah Sidalih (Sistem Informasi Data Pemilih), Sidapil (Sistem Informasi Daerah Pemilihan), Sipol (Sistem Informasi Partai Politik), Silon (Sistem Informasi Pencalonan) dan Situng (Sistem Informasi Penghitungan). Sipol, Silon, dan Situng menyediakan open data atau data terbuka. Open data adalah salah satu teknologi pemilu.

Keenam teknologi tersebut, termasuk open data, dikembangkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk mengefisiensikan proses dan tahapan pemilu, serta memastikan transparansi proses pemilihan kepada publik. Sebagai orang yang sehari-hari bergiat di rumahpemilu.org, data dan informasi yang dipublikasi di dalam Sipol, Silon, dan Situng jelas amat bermanfaat.

Teknologi dalam manajemen dan pelaksanaan pemilu

Manajemen menurut Bucher & Krotee (2002: hlm. 4) adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya untuk mencapai tujuan. Dikontekskan dengan pemilu, tujuan dari manajemen pemilu adalah terselenggaranya proses dan tahapan pemilu yang transparan, akuntabel, dan inklusif.

Dalam ”The Use of New Technologies in Electoral Processes“ (2017) yang dipublikasi oleh International IDEA, selama kurun waktu tiga puluh tahun, yakni sejak dekade 1990-an hingga 2017, ada banyak adopsi teknologi dalam manajemen pemilu di berbagai negara. Di negara-negara Afrika yang rawan konflik, meski harga teknologi mahal, namun sepadan untuk mencegah konflik yang ditimbulkan akibat proses pemilu yang tak pasti dan tak transparan.

Teknologi biometrik merupakan salah satu teknologi yang tren digunakan. Biometrik dipakai untuk registrasi pemilih guna mencegah data ganda, juga untuk merekognisi pemilih di tempat pemungutan suara (TPS) atau untuk memberi suara melalui internet (IDEA 2017: 7). Biometrik untuk registrasi pemilih digunakan pertama kali di Kongo pada 2005 (IDEA 2017: 11), lalu diikuti oleh negara-negara lain di Afrika, Irak (IDEA 2017:12) dan Brazil (IDEA 2017:14).

Teknologi lain yang juga populer dimanfaatkan yaitu geographic information system (GIS). GIS terdapat pada aplikasi pembuatan daerah pemilihan (dapil) dan penetapan lokasi TPS (IDEA 2017: 7). GIS salah satunya diterapakan di Afrika Selatan (IDEA 2017:18).

Teknologi GIS ini, saat saya mewawancarai anggota KPU Jawa Barat, Titik Nurhayati, untuk riset Pemilu Serentak 2019: Dari Sistem ke Manajemen Pemilu (2019), pernah digunakan pada Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2018. Aplikasi itu diberi nama Sitagis (Sistem Informasi Data Terpusat Berbasis GIS). Sitagis memberikan informasi mengenai daftar pemilih, lokasi TPS, dan hasil penghitungan suara per TPS dalam wilayah Jawa Barat.

Dalam tahap pungut-hitung-rekap atau pelaksanaan pemilu, teknologi telepon seluler juga banyak digunakan untuk mentransmisikan hasil pemungutan atau penghitungan suara, atau membantu rekapitulasi suara. Beberapa negara juga menerapkan e-voting, e-counting, dan e-recap dengan ragam pertimbangan dan permaslahan yang tak akan dijelaskan di tulisan ini.

Teknologi kepemiluan di tengah kondisi tak normal

Masih bersumber dari International IDEA, per 8 April 2020, terdapat 47 negara di dunia yang telah menunda pemilihan. Sementara 14 lainnya memutuskan untuk meneruskan pemilihan. Sebagian besar menunda pemilunya selama lima bulan.

Di negara dimana pemilu diteruskan, salah satunya negara bagian Bavaria di Jerman, pemilu dilanjutkan dengan seratus persen pemilih memilih melalui pos. Pemilihan dengan pos di negara bagian ini bukanlah hal yang baru dan memiliki basis hukum.

Di Indonesia, empat tahapan Pilkada ditunda oleh KPU RI. Pasalnya, empat tahapan tersebut, yakni pelantikan panitia pemungutan suara (PPS), verifikasi faktual dukungan calon perseorangan, pembentukan panitia pemutakhiran data pemilih (PPDP), dan pendaftaran pemilih, merupakan tahapan yang membutuhkan kontak langsung dengan banyak orang.

Penundaan Pilkada, di saat tahapan pemilu kita lakukan secara konvensional, memang merupakan langkah terbaik. Kegiatan pemilu tak boleh kontraproduktif dengan upaya pencegahan dan penanganan Coronavirus disease 2019 (Covid-19) yang tengah merebak di negara kita. Apalagi, mewabahnya Covid-19 memberikan imbas yang cukup luar biasa kepada perekonomian masyarakat. Setiap hari, media memberitakan adanya pemecatan pekerja atau pekerja yang dirumahkan sementara.

Di sisi lain, kondisi yang kita hadapi hari ini mesti pula diterjemahkan sebagai kebutuhan untuk memoderasi penyelenggaraan pemilu dengan bantuan teknologi. Tujuannya, agar ketika di masa yang akan datang terjadi lagi bencana non alam atau situasi sebagaimana hari ini dimana mobilisasi sosial tak dapat dilakukan, telah ada mekanisme khusus berbasis teknologi informasi yang dapat digunakan. Jadi, ada teknologi khusus yang digunakan hanya pada saat kondisi tidak normal.

Apa saja teknologi itu? Saya usul, skenario yang mesti disiapkan adalah teknologi di setiap tahapan pemilu. KPU telah memiliki modalitas berupa sistem informasi di berbagai tahapan. Tinggal teknologi ini dikembangkan agar mampu menjawab tantangan kondisi tidak normal.

Pada tahapan pendaftaran peserta pemilu, KPU telah memiliki Sipol dan Silon. Untuk Pilkada dengan calon perseorangan yang ada mekanisme verifikasi administrasi dan faktual, mesti dipikirkan bersama metode pengganti verifikasi faktual yang tak mengharuskan kontak fisik. Verifikasi faktual lewat telpon atau daring misalnya.

Pada tahapan pembentukan badan adhoc, inisiasi pendaftaran online sudah dilakukan oleh KPU daerah. Salah satunya KPU Pasangkayu. Tes juga dapat digelar secara online, dan wawancara dengan pilihan teknologi yang dapat dijangkau oleh calon penyelenggara adhoc.

Selanjutnya pada tahap pemutakhiran daftar pemilih, teknologi informasi yang dapat menyambungkan data pemilih dengan data kependudukan strategis untuk dikembangkan. Tujuannya, agar mudah melakukan pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan sebagaimana halnya Australia. Teknologi satu ini bahkan tentu dapat diterapkan di kondisi normal.

Di tahapan kampanye, teknologi menjadi cukup pelik. Sebab, elokkah kampanye tetap berjalan di tengah wabah? Pada asumsi iya, kampanye tentu akan memanfaatkan utamanya media sosial dan media elektronik. Namun, warga yang tak punya akses kepada internet tak dapat terjangkau materi kampanye sebagai bahan pertimbangan untuk memilih. Untuk itu, kampanye di televisi menjadi menentukan sehingga mesti ada aturan yang dapat menjamin kesetaraan kompetisi bagi para calon, agar calon yang minim modal ekonomi juga dapat menyuarakan gagasannya melalui media yang lebih murah dijangkau seluruh lapisan masyarakat.

Lanjut ke tahapan pungut-hitung, pemungutan suara dengan pos, absentee ballot dengan pos atau internet, dan internet voting dapat dipertimbangkan sebagai opsi terakhir,jika penundaan kian lama tak dapat dipastikan. Namun, jika masih dimungkinkan untuk dilakukan penundaan selama satu tahun atau satu setengah tahun, pemungutan dan penghitungan suara secara manual tetaplah yang paling diutamakan. Tak ada pemungutan dan penghitungan suara yang lebih transparan daripada yang dilakukan secara konvensional di TPS.

Tahap rekapitulasi suara, rekapitulasi elektronik tentu dapat diterapkan, bahkan sekalipun dalam kondisi normal. Sebab pada prinsipnya, teknologi pemilu digunakan untuk dua tujuan. Satu, menyelesaikan masalah dalam penyelenggaraan maupun pelaksanaan pemilu. Dua, efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan dan pelaksanaan pemilu.

Hal-hal penting dalam adopsi teknologi pemilu

Dalm buku “Panduan Teknologi Pungut Hitung untuk Indonesia” (2019) yang saya tulis bersama kawan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) lain, yakni Heroik Pratama, proses adopsi teknologi pemilu bukanlah hal mudah, murah, dan instan. Teknologi pemilu pun bukan sesuatu yang dapat dijajal di kondisi mendesak dan terburu-buru. Tiap prosesnya mesti melibatkan banyak pihak, dan hal itu tentu tak bisa dilakukan di tengah pandemik. Teknologi khusus yang akan diterapkan di kondisi tak normal mesti dikembangkan dan diuji coba di situasi normal.

Sedikitnya terdapat enam hal yang mesti diperhatikan dalam adopsi teknologi pemilu. Pertama, adanya regulasi yang memberikan ruang penggunaan teknologi pada tahapan-tahapan pemilu. Kedua, perencanaan yang matang dan meyakinkan bahwa penggunaan teknologi tersebut merupakan satu-satunya solusi dari masalah yang dihadapi di suatu tahapan pemilu, atau sanggup menciptakan efektivitas dan efisiensi.

Ketiga, disetujui oleh semua pihak yang berkepentingan. Keempat, tersedianya anggaran dan waktu yang cukup untuk mensimulasikan dan menguji coba. Kelima, transparansi dan publikasi proses pengembangan teknologi pemilu. Keenam, teknologi tersebut teruji handal dan memiliki sistem pengamanan terhadap serangan siber. Ketujuh, sosialisasi yang memadai kepada seluruh pihak terkait cara bekerja teknologi dan penanganan apabila terjadi gangguan atau masalah pada sistem.

Hal yang perlu disasari pula adalah bahwa jika teknologi digunakan sebagai cara utama menyelenggarakan pemilu, ini akan mengubah cara pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Jika hari ini Bawaslu melakukan pengawasan melekat terhadap tahapan pemilu yang mayoritas dilakukan secara konvensional, maka Bawaslu perlu mempersiapkan diri dengan meng-ugrade kemampuannya terkait teknologi pengawasan.

Inovasi pemilu berkelanjutan

Kini kita perlu mengukur diri, sanggupkah moderasi manajemen pemilu dilakukan untuk kondisi normal dan tidak normal? Jika iya, sejauh mana ia bisa dilakukan dan diizinkan oleh peraturan?

Saya percaya bahwa inovasi teknologi pemilu akan kian berkembang. Dalam perjalanan pemilu kita dari masa ke masa, inovasi itu terus berjalan. Tak hanya dilakukan oleh KPU RI, melainkan KPU daerah. Ada kejutan apa di ujung sana? Tak tertebak. Moga kita bisa bersiap di kondisi yang lapang.

 

Refrensi:

Bucher, Charles. Krotee, March L. 2002. Management of physical education and sport. London: McGraw-Hill.

International IDEA. 2017. The Use of New Technologies in Electoral Processes. Publikasi dapat dilihat melalui tautan https://www.idea.int/sites/default/files/publications/the-use-of-new-technologies-in-electoral-processes.pdf.

International IDEA. 26 Maret 2020. Election and Covid-19. Publikasi dapat dilihat melalui tautan https://www.idea.int/publications/catalogue/elections-and-covid-19.

International IDEA. Covid-19 and Democracy. Data dapat dilihat melalui tautan https://www.idea.int/our-work/what-we-do/covid-19-and-democracy.