December 30, 2024

Pilkada 9 Desember 2020 Diprediksi Tak Mungkin Dilakukan

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 yang disepakati dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Selasa (14/4) akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 memancing diskusi di kalangan masyarakat sipil. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Pusat Studi Konstitusi (Puskao) Universitas Andalas, dan Rumah Kebangsaan bahkan menyelenggarakan diskusi dengan mengundang seorang pakar epidemiologi atau wabah penyakit dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, Pandu Riono.

Pada diskusi bertajuk “Pilkada 9 Desember 2020, Mungkinkah?” (19/4), Pandu memaparkan bahwa Coronavirus disease 2019 (Covid-19) diprediksi akan menjangkit semua provinsi di Indonesia akibat keterlambatan penanganan oleh pejabat kesehatan, populasi Indonesia yang besar dan sering berpindah tempat, dan banyaknya pemukiman padat di daerah urban. Skala penyebaran Covid-19 juga diprediksi meluas dan meningkat akibat arus mudik dan arus balik mudik pasca Lebaran.

Dari skoring atas pemodelan matematika yang dilakukan, Pandu menyatakan bahwa Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan dua daerah yang akan menanggung dampak Covid-19 paling parah. Jika tak ada pembatasan sosial skala nasional dan ketat yang dipatuhi masyarakat, diprediksi wabah Covid-19 masih menjangkit hingga Agustus 2020.

“Harusnya awal Maret itu sudah dimulai social distancing ketika Presiden menerima surat dari WHO (World Health Organization) untuk merespon perluasan pandemik. Karena kuncinya adalah bertindak cepat. Social distancing adalah pilihan satu-satunya yang bisa kita lakukan. Ini akan membatasi aktivitas dan pergerakan penduduk. Kalau penduduk tidak mematuhi aturan yang ada, malah bisa sampai Agustus ini masih terjadi,” kata Pandu.

Ia kemudian mengatakan bahwa jumlah kasus dan kematian yang dipublikasikan oleh juru bicara Penanganan Covid-19 hanyalah 20 persen dari jumlah yang sebenarnya. Jumlah itu mencerminkan kondisi tiga hingga lima hari yang lalu, sebab penetapan kasus positif dan kematian akibat Covid-19 mesti melalui proses uji di laboratorium yang memakan waktu.

“Angka kasus hanya 20 persen dari yang sebenarnya terjadi. Dan kematian juga hanya segelintir dari yang diketahui masyarakat. Ada berapa yang meninggal, karena keterbatasan uji, itu jumlah tiga sampai lima hari yang lalu,” ujar Pandu.

9 Desember tidak memungkinkan Pilkada Serentak 2020

Pemaparan Pandu dipandang Direktur Eksekutif Netgrit, Ferry Kurnia Rizkiansyah sebagai kondisi yang amat beresiko bagi penyelenggaraan Pilkada 2020 jika tetap dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Terlebih, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan di media bahwa Covid-19 baru akan selesai pada akhir Desember 2020. (Baca: https://kaltim.tribunnews.com/2020/04/17/bukan-mei-pemerintah-jokowi-beber-virus-corona-bersih-dari-indonesia-desember-2020-ada-syaratnya).

“Pilkada 9 Desember 2020 nanti, kalau lihat penjelasan Pak Pandu, tidak mungkin dilaksanakan. Pilkada ini kan harus dipersiapkan dengan baik. Demokrasi yang kita bangun harus sehat, Pilkada harus betu-betul berkualitas. Jangan sampai karena faktor begini jadi berkurang,” tandas Ferry.

Ferry juga mengkritik ketidakpastian pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Pasalnya jika mengikuti pembahasan RDP pada 14 April, kepastian tanggal 9 Desember 2020 pun masih menunggu kondisi Covid-19. Ia merekomendasikan agar Pemerintah mengatur pelaksanaan Pilakda 2020 dilaksanakan setelah Juni 2021 agar ada kepastian penyelenggaraan bagi semua pihak, dan agar tak terjadi penyelenggaraan Pilkada yang memakan korban jiwa akibat Covid-19.

“Pemilu itu prosedurnya harus bisa diprediksi. Harus jelas prosedurnya di awal. Harus ada kepastian. Konteksnya kepastian hukum, aturan yang jelas, tahapan yang jelas, anggarannya jelas, dan SDM-nya jelas. Kalau nanti KPU sudah membuat tahapan, tapi Covid belum selesai, apakah akan dibuat terus tahapan-tahapan lagi?” tegas Ferry.

Ferry juga menyinggung perihal kualitas Pilkada Serentak 2020 yang dipertaruhkan. Tenggat waktu yang terbatas, di tengah keterbatasan mobilitas sosial, berpotensi mengurangi kualitas pemilu dan mengurangi hak pemilih untuk mendapatkan layanan terbaik agar dapat memberikan hak suaranya dengan aman.

“Kualitas pemilu itu ada beberapa aspek penting. Bagaimana kualitas penyelenggaraannya, mekanisme yang harus dilakukan seperti apa. Jangan sampai karena ada deadline seperti ini, ternyata kualitas penyelenggaraan Pilkada sangat buruk,” tukas Ferry.

KPU berat menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 di 9 Desember 2020

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arief Budiman menjelaskan bahwa hari pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember 2020 hanya dapat dilakukan KPU jika dua prasyarat terpenuhi. Satu, Covid-19 selesai pada 29 Mei dan masyarakat telah bebas bergerak. Dua, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) keluar paling lambat akhir April. Jika tanggap darurat 29 Mei diperpanjang, maka Pilkada Serentak 2020 mundur ke opsi kedua, yakni Maret 2021.

“Tapi kalau Mei belum, maka KPU menyediakan opsi kedua, Maret 2021. Dengan catatan, Agustus, pandemik sudah selesai. Semua pihak, masyarakat sudah bisa bergerak bebas mulai 1 Agustus. Tapi, apabila Agustus masih juga dilakukan pembatasan, maka sangat sulit dilaksanakan di Maret. Maka, KPU sediakan opsi ketiga, tunda satu tahun menjadi September 2021,” jelas Arief.

KPU juga meminta agar Pemerintah selaku penerbit perpu untuk memperhatikan masalah logistik, yakni mungkin atau tidaknya logistik Pilkada diproduksi dan disistribusikan beberapa bulan setelah tanggap darurat nasional selesai pada 29 Mei. Jika pandemik belum selesai, maka aktivitas produksi logistik sulit dilakukan.

“Logistik, pelelangan, produksi, itu akan melibatkan banyak pihak. Apakah dalam situasi seperti ini, pabrik-pabrik sudah beroperasi secara maksimal? Apakah seluruh pekerjanya bisa bekerja bebas? Apakah sarana transportasi untuk distribusi logistik juga bisa bergerak bebas? Itu harus terpenuhi. Kalau itu tidak terpenuhi, KPU akan kesulitan menjalankannya,” tutur Arief.

Selain itu, Arief mengutarakan bahwa pihaknya telah merancang mekanisme tahapan Pilkada secara digital jika Pilkada Serentak 2020 tetap mesti dijalankan di masa pandemik. Verifikasi dukungan calon perseorangan tengah direncanakan diubah menjadi digital verification, termasuk kampanye yang direncanakan beralih ke digital campaign.

Pemungutan suara di tempat pemungutan suara (TPS) juga akan diatur agar jarak aman antar pemilih dapat tercipta. Skenarionya yakni, ukuran TPS diperluas, jumlah pemilih per TPS dikurangi, dan penyediaan hand sanitizer serta alat pengukur suhu tubuh di TPS.

“Karena kalau ikut jumlah yang ada sekarang, 800, akan ada banyak sekali orang di TPS. Tapi tiap kebijakan yang diubah untuk menjaga kualitas Pilkada tentu punya konsekuensi anggaran dan perubahan peraturan,” kata Arief.

Perubahan peraturan, sambung Arief, membutuhkan waktu tak sedikit. Apalagi, pertengahan Mei hingga Juni akan ada masa reses. Pilkada Serentak 2020 di 9 Desember 2020 merepotkan KPU.

“Perubahan peraturan butuh waktu, harus konsultasi ke Pemerintah dan DPR. Nah, apakah bisa dilakukan  dalam waktu cepat? Menurut saya, sampai Mei sangat sulit. Jadi, merepotkan kalau kita harus kejar waktu sampai Desember,” pungkasnya.

Pilkada yang berkemanusiaan

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini bersepakat dengan Ferry. Pilkada mesti dilakukan untuk tujuan kemanusiaan, bukan justru mengorbankan kemanusiaan. Titi berharap agar KPU konsisten dengan parameter yang dibuat untuk melanjutkan tahapan Pilkada Serentak 2020, sehingga tak ada Pilkada lanjutan jika Covid-19 masih mewabah.

“Mudah-mudahan KPU istikomah dengan parameter yang dibuatnya, dan semoga kebijakan yang diambil oleh para pembuat kebijakan kita menempatkan pemilu yang berkemanusiaan, yang berorientasi pada perlindungan warga negara,” ucap Titi.