Undang-undang Nomor 7 Tahun 1917 tentang Pemilihan Umum (UU No 7/2017) merupakan kodifikasi dari tiga undang-undang sehingga sangat tebal. Undang-undang ini terdiri dari 317 halaman undang-undang, 116 halaman penjelasan, dan 33 lampiran; terdiri dari 6 buku, 31 bab, 82 bagian, 68 paragraf, dan 573 pasal. Inilah undang-undang terlengkap yang jadi dasar hukum Pemilu 2019 yang menyerentakkan pemilu presiden dan pemilu legislatif. Namun terlengkap bukan berarti terbaik. Undang-undang ini punya problem sistematika sehingga tidak mudah dipahami.
UU No 7/2017 terdiri dari 6 buku: Buku Kesatu Ketentuan Umum, Buku Kedua Penyelenggara Pemilu, Buku Ketiga Pelaksanaan Pemilu, Buku Keempat Pelanggaran Pemilu Sengketa Proses Pemilu dan Perselisihan Hasil Pemilu, Buku Kelima Tindak Pidana Pemilu, dan Buku Keenam Penutup. Dengan 6 buku, di manakah letak pengaturan sistem pemilu?
Pertanyaan itu diilhami oleh beberapa politisi, aktivis, dan akademisi yang tidak segera mendapatkan gambaran umum pemilu setelah membaca 100-an lebih pasal dalam UU No 7/2007. Ini berbeda saat membaca UU No 8/2012 yang mengatur pemilu legislatif. Tidak sampai 10 pasal pertama, sudah terbayang bagaimana pemilu DPR, DPD, dan DPRD diselenggarakan. Pasal 5 undang-undang itu misalnya, menyebut bahwa pemilu DPR dan DPRD menggunakan sistem pemilu proporsional daftar terbuka. Jadwal dan tahapan penyelenggaraan tertera jelas.
Mari lihat Buku Kesatu Ketentuan Umum UU No 7/2017. Buku ini terdiri dari dua bab: Bab I Pengertian dan Istilah dan Bab II Asas Prinsip dan Tujuan. Setelah itu, langsung masuk Buku Kedua Penyelenggara Pemilu yang mencapai 160 pasal. Baru pada Buku Ketiga Pelaksanaan Pemilu, dengan membaca pasal per pasal, mulai terkuak sedikit demi sedikit pengaturan sistem pemilu dan tahapan pelaksanaanya. Ya harus sabar karena Buku Ketiga ini terdiri dari 286 pasal, mulai Pasal 167 hingga 453.
Pembuat undang-undang mestinya menyadari, undang-undang ini melibatkan lebih dari 75% warga negara yang menjadi pemilih. Para politisi, birokrat, akademisi, penyelenggara, calon, dan pemantau pemilu memerlukan pemahaman yang solid atas materi muatan undang-undang agar mudah menjelaskan ke publik yang lebih luas.
Yang tidak boleh dilupakan undang-undang pemilu merupakan dokumen penting yang menunjukkan bagaimana visi dan misi bangsa dalam membangun demokrasi ke depan. Setelah dijamin konstitusi, undang-undang pemilu menjadi rujukan pertama bagaimana kedaulatan rakyat dijaga, dipelihara, dan dikembangkan.
Berikutnya, pembuat undang-undang harus mengerti bahwa materi muatan undang-undang pemilu menjadi bahan ajar untuk mata pelajaran Pancasila, kewarganegaraan, atau apapun namanya, mulai dari SD, SMP, SMA, hingga PT. Jadi, kalau materi undang-undang tidak mudah dipahami, maka hal itu dapat mengacaukan penulisan buku-buku pelajaran sekolah.
Sehubungan dengan penyusunan RUU Pemilu sebagai pengganti UU No 7/2017, maka para perancang RUU Pemilu harus melengkapi materi muatan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum sehingga pada bagian awal undang-undang ini sudah bisa menggambarkan keseluruhan isinya. Oleh karena itu Buku Kesatu Ketentuan Umum harus mengatur norma utama pemilu secara komprehensif tapi solid. Selanjutnya biar buku-buku berikutnya yang menjabarkan dari norma utama pemilu tersebut.
Berdasar keputusan Komisi II DPR bahwa undang-undang pilkada akan disatukan ke dalam undang-undang pemilu, maka materi muatan dalam Buku Kesatu Ketentuan Umum dalam RUU Pemilu adalah sebagai berikut.
Setelah Bab I Pengertian dan Istilah, Bab II Asas dan Tujuan Pemilu, memuat kembali hal-hal yang sudah diatur oleh UUD 1945. Asas pemilu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sedangkan tujuan pemilu juga sudah jelas, yakni memilih presiden dan wakil presiden memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, gubernur dan wakil gubernur, anggota DPRD provinsi, bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota, dan anggota DPRD kabupaten/kota.
Bagaimana dengan Bab III Sistem Pemilu? Sesungguhnya inilah norma utama pemilu. Sebab dari pengaturan sistem pemilu ini akan diketahui siapa pelaku pemilu, bagaimana mengkonversi suara menjadi kursi, dan bagaimana proses pelaksanaan pemilu. Dalam hal ini undang-undang tidak harus menyebutkan sistem pemilu apa yang digunakan (misalnya sistem pemilu proporsional daftar terbuka, atau sistem pemilu mayoritarian berwakil banyak), tetapi cukup dengan mengatur variabel sistem pemilu.
Ada enam variabel sistem pemilu legislatif yaitu besaran daerah pemilihan, metode pencalonan, metode pemberian suara, ambang batas parlemen, formula perolehan kursi, dan penetapan calon terpilih. Hal yang sama juga berlaku dalam pemilu eksekutif. Pengaturan sistem pemilu DPR misalnya, bisa dirumuskan seperti di bawah ini.
Bagian Kedua
Sistem Pemilu DPR
Pasal 11
Jumlah kursi Anggota DPR adalah 560 (lima ratus enam puluh).
Pasal 12
(1) Daerah pemilihan Pemilu Anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/ kota, gabungan kabupaten/kota, atau bagian kabupaten/kota, dan luar negeri. (2) Setiap daerah pemilihan Pemilu Anggota DPR memiliki paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 6 (enam) kursi. (3) Daerah pemilihan luar negeri memiliki 3 (tiga) kursi.
Pasal 13
(1) Pencalonan Anggota DPR dilakukan oleh Partai Politik Peserta Pemilu dengan menyusun daftar calon Anggota DPR di setiap daerah pemilihan. (2) Daftar calon Anggota DPR sebagaimana dimaksud ayat (1) memuat paling banyak calon Anggota DPR sebesar jumlah kursi di setiap daerah pemilihan. (3) Daftar calon Anggota DPR sebagaimana dimaksud ayat (1) disusun berdasarkan nomor urut. (4) Daftar calon Anggota DPR sebagaimana dimaksud ayat (1) memperhatikan keterwakilan kelompok marjinal dan minoritas. (5) Daftar calon Anggota DPR sebagaimana dimaksud ayat (1) memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) perempuan di setiap daerah pemilihan. (6) Setiap tiga nama calon dalam daftar calon Anggota DPR sebagaimana dimaksud ayat (1) terdapat sedikitnya 1 (satu) calon perempuan. (7) Calon perempuan ditempatkan pada nomor urut 1 (satu) di sekurang- kurangnya 30% (tiga puluh persen)dari jumlah daerah pemilihan.
Pasal 14
Calon Anggota DPR dipilih dan ditetapkan oleh Rapat Pengurus Partai Politik yang dihadiri oleh Pengurus Partai Politik Nasional, Pengurus Partai Politik Provinsi, dan Pengurus Partai Politik Kabupaten/Kota.
Pasal 15
Pemberian suara Pemilu Anggota DPR dilakukan dengan cara memilih salah satu calon Anggota DPR pada surat suara.
Pasal 16
Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 1% (satu persen) dari jumlah suara Pemilu Anggota DPR untuk memperoleh kursi Anggota DPR.
Pasal 17
Penghitungan perolehan kursi Anggota DPR di daerah pemilihan dilakukan dengan cara: a) membagi perolehan suara setiap Partai Politik Peserta Pemilu dengan bilangan 1 (satu), 3 (tiga), 5 (lima), dan 7 (tujuh) yang hasil baginya diperingkat atau diurutkan dari nilai tertinggi sampai terendah; b. berdasarkan peringkat sebagaimana dimaksud huruf a, Partai Politik Peserta Pemilu dengan nilai tertinggi pertama memeroleh kursi pertama, Partai Politik Peserta Pemilu dengan nilai tertinggi kedua memeroleh kursi kedua, dan seterusnya sampai jumlah kursi di daerah pemilihan habis terbagi.
Pasal 18
Penetapan calon terpilih Anggota DPR berdasarkan suara terbanyak.
Selanjutnya Bab IV Penyelenggaraan Pemilu mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemilu. Apabila mengikuti arahan Putusan MK No 55/PUU-XVII/2019 dan pembuat undang-undang memilih format pemilu nasional dan pemilu daerah, maka norma utama pengaturan penyelenggaraan pemilu adalah seperti berikut ini.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Pemilu
Pasal 50
(1) Pemilu terdiri dari Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. (2) Pemilu Nasional terdiri dari Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPR, dan Pemilu Anggota DPD yang diselenggarakan secara bersamaan. (3) Pemilu Daerah terdiri dari Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemilu Anggota DPRD Provinsi, Pemilu Bupati dan Wakil Bupati/ Walikota dan Wakil Walikota, dan Pemilu Anggota DPRD Kabupaten/ Kota yang diselenggarakan secara bersamaan.
Pasal 51
(1) Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) diselenggarakan setiap 5 (lima) tahun sekali. (2) Pemilu Nasional diselenggarakan 3 (tiga) tahun setelah diselenggarakannya Pemilu Daerah. (3) Pemilu Daerah diselenggarakan 2 (dua) tahun setelah diselenggarakannya Pemilu Nasional.
Pasal 52
(1) Penyelenggaraan Pemilu terdiri atas: a. penyusunan peraturan; b. perencanaan dan penganggaran; c. persiapan; d. pelaksanaan; e. pengawasan; f. penegakan hukum; dan g. pelaporan dan evaluasi. (2) Pelaksanaan Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi: a. pembentukan daerah pemilihan; b. pendaftaran Partai Politik peserta Pemilu; c. pendaftaran pemilih; d. pendaftaran calon; e. kampanye; f. pemungutan dan penghitungan suara; g. penetapan hasil Pemilu; dan h. pelantikan calon terpilih.
Pasal 53
Penyelenggaraan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah dibiayai oleh Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara.
DIDIK SUPRIYANTO
Penasihat Yayasan Perludem