Adakah partai politik buruh di Indonesia kini? Jawabannya, ada tapi tidak ada. Ada, karena “Partai Buruh” masih tercatat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai lembaga berbadan hukum partai politik. Tidak ada, karena kekuataannya tidak relevan untuk didaftarkan sebagai peserta pemilu legislatif meraih kursi DPR dan DPRD.
Ya, berdasar relevansi makna, partai buruh memang tidak di Indonesia. Partai politik merupakan lembaga demokrasi yang berfungsi mengagregasi kepentingan rakyat menjadi kebijakan melalui kursi kekuasaan yang diraih dari pemilu. Tanpa makna ini, partai buruh di Indonesia tidak beda dengan organisasi kemasyarakatan.
Partai tapi Ormas. Partai buruh memang ada dalam bentuk kerja-kerja organisasi dalam masyarakat. Sebatas ini, tidak lebih. Partai buruh bukan saja tidak bisa meraih kursi kekuasaan tapi juga cenderung gagal menjadi peserta pemilu. Kalah sebelum bertanding.
Partai lokal
Ideolog(i) buruh sah (bahkan mungkin harus) berobsesi memperluas makna buruh menjadi “semua pekerja (penerima upah)”. Merupakan kenaifan dalam kontestasi politik jika partai dibentuk bukan untuk memenangkan pemilu. Karena pemilu dan kursi kekuasaan berdasar suara rakyat, maka makna rakyat harus dikonsepsikan luas untuk mencapai kesesuaian antara cita-cita politik dengan jumlah suara rakyat terbanyak. Sekali lagi, kalau bukan untuk ikut pemilu dan memenangkannya, ya lebih baik membentuk Ormas, bukan partai politik.
Tapi, saat ini makna buruh lebih potensial sebagai pekerja pabrik. Kata “buruh” belum bisa bermakna bagi semua pekerja. Tidak semua daerah di Indonesia punya pabrik dengan jumlah buruh yang banyak. Di suatu provinsi, hanya beberapa kabupaten yang memungkinkan menjadi basis massa partai buruh. Sehingga, kekuataan politik partai buruh masih bersifat lokal, belum nasional.
Sayangnya, undang-undang pemilu dan undang-undang partai politik Indonesia belum menerima partai lokal, kecuali untuk Provinsi Aceh dengan bingkai hukum otonomi khusus. Selebihnya, partai politik peserta pemilu DPR dan DPRD harus merupakan partai bersifat nasional.
Selain tidak adanya istilah partai lokal di luar pemilu parlemen lokal Aceh, syarat pembentukan partai politik pun bertolak belakang dengan konsep partai lokal. Untuk berdiri sebagai badan hukum, partai politik harus memiliki kantor dan kepengurusan di 100% provinsi, 75% kabupaten/kotam, dan 50% kecamatan. Syarat 100:75:50 ini lalu di-copy paste ke UU Pemilu sebagai syarat kepesertaan parpol di pemilu. Untuk apa syarat nasional ini kalau relevansi suatu kekuatan politik di masyarakat ada atau masih di skala lokal?
PPL: Political Party League
Agar inklusivitas dan kesetaraan kontestasi terjamin, selain menerima partai lokal, jenjang kontestasinya pun perlu diubah. Selama ini, kemutlakan partai nasional berkonsekuensi mengharuskan partai berkontestasi di semua jenjang: pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Padahal tidak semua satuan masyarakat dengan ikatan kelompok tertentu bisa relevan menjadi kekuatan politik untuk semua daerah pemilihan dan jenjang kompetisi. Selain buruh, kelompok isu lingkungan, agama minoritas, masyarakat adat, baru relevan di beberapa daerah pemilihan tapi bukan berarti eksistensi aspirasi menyerta warganya tidak penting diwakili melalui kursi DPRD atau beberapa kursi DPR.
Akan menjadi inklusif dan setara jika pilihan jenjang dan daerah pemilihan diserahkan kepada tiap partai politik. Jika partai buruh hanya mampu berkompetisi di satu atau beberapa kabupaten, partai buruh mendaftar untuk jenjang pemilu DPRD kabupaten/kota saja. Jika perolehan kursi atau keanggotaan partai buruh sudah senilai suara kursi DPRD provinsi, maka partai buruh bisa memilih/naik berkompetisi ke jenjang pemilu DPRD provinsi. Dan, jika perolehan kursi atau keanggotaan partai buruh sudah senilai kursi DPR, maka partai buruh bisa memilih/naik berkompetisi ke jenjang pemilu DPR.
Kompetisi pemilu parlemen berjenjang mirip kompetisi English Premier League (EPL). Mungkin bisa dinamakan Political Party League (PPL). Jika kepemilikan anggota atau pencapaian suara partai buruh sesuai dengan nilai kursi parlemen di suatu jenjang, maka partai buruh ini pantas mendapat promosi berkompetisi dan meraih kursi di jenjang ini. Tapi, jika kepemilikan anggota atau pencapaian suara partai buruh tidak sesuai dengan nilai kursi parlemen di suatu jenjang, maka partai buruh ini harus turun atau terdegradasi.
Tentu sangat sulit mencapai semua hal tersebut. Hukum adalah produk (partai) politik. Poros kekuasaan legislatif saat ini bukan hanya berisi partai politik yang ingin mempertahankan kekuasaannya tapi juga tidak mau menciptakan partisipasi dan kontestasi pesta demokrasi yang inklusif. Naif jika partai lokal dan liga partai politik sekonyong-konyong direkomendasikan dalam revisi undang-undang pemilu di DPR.
Penting partai buruh mengoptimalkan buah Reformasi bernama Mahkamah Konstitusi (MK). Pilar kekuasaan yudisal ini berwenang menguji undang-undang berdasar undang-undang dasar. Tantangannya, bagaimana meyakinkan sembilan Hakim MK bahwa syarat pembentukan partai politik harus bersifat nasional dan syarat kepesertaannya di pemilu merupakan persyaratan yang inkonstitusional. Kepemilikan kantor dan kepengurusan 100% provinsi, 75% kabupaten/kota, 50% kecamatan dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu merupakan syarat yang bertentangan dengan konsitusi yang menjamin HAM kebebasan berserikat dan berkumpul serta kebebasan berpolitik.
Yang penting partai buruh menyepakati konsep dan tujuan itu. Amat mungkin, perjuangan atau upaya perubahan berakhir gagal karena kesalahan konsep dan cara berpikir. Tenaga, keringat, darah, dan air mata amat sayang jika tak dikelola dengan baik. Jika partai buruh selalu kalah sebelum bertanding maka teriakan “buruh bersatu tak bisa dikalahkan” akan menjadi slogan semu. []
USEP HASAN SADIKIN