October 15, 2024

Tak Kunjung Ada Kepastian Hukum, Dampak Penundaan Pilkada Bisa Bertambah

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menagih janji Pemerintah untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 yang semula akan dikeluarkan akhir April 2020. Perpu yang hanya boleh dikeluarkan jika terdapat hal ihwal kegentingan, dinilai telah memenuhi syarat untuk dikeluarkan. Ada kebutuhan hukum mendesak untuk mengatur di dalam perpu perihal sistem penundaan Pilkada 2020 akibat pandemi korona, dan ketentuan di dalam Undang-Undang Pilkada tak cukup untuk mengatur pelaksanaan Pilkada 2020 ditengah pandemi. Revisi UU Pilkada tak memungkinkan sebab memerlukan waktu lama.

“Tidak begitu jelas, apa sesugguhnya alasan presiden, sehingga belum juga menerbitkan perpu yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah ini. Padahal, jika dilihat kondisi ihwal kegentingan memaksa yang menjadi latar belakang presiden mengeluarkan Perpu sudah sangat terpenuhi,” tandas Manajer Program Perludem, Fadli Ramadhanil, kepada rumahpemilu.org (4/5).

Fadli meminta agar Pemerintah mengatur tiga substansi di dalam perpu. Satu, kewenangan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan penundaan Pilkada di seluruh daerah pemilihan. Dua, merevisi jadwal pelaksanaan Pilkada 2020 yang diperintahkan pada September 2020. Tiga, konsekuensi anggaran Pilkada yang ditunda.

“Di 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada 2020, masing-masing sudah mengalokasikan anggaran melalu Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dengan Pemerintah Daerah masing-masing daerah. Dengan kondisi Pilkada yang hampir pasti ditunda, tentu akan berakibat pada waktu pertanggungjwaban anggaran, serta kemungkinan kekurangan anggaran karena inflasi dan alasan-alasan fiskal lainnya. Oleh sebab itu, perlu diatur secara eksplisit di dalam perpu terkait d konsekuensi anggaran Pilkada sebagai akibat dari pandemi Covid,” jelas Fadli.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan bahwa penerbitan perpu yang berlarut dapat memperparah dampak yang ditimbulkan akibat ketidakpastian penundaan Pilkada. Titi memprediksi tiga dampak akan terjadi. Pertama, dampak teknis. Hal ini berkaitan dengan masalah status syarat dukungan yang telah dikumpulkan oleh bakal calon perseorangan, daftar pemilih, dan penyelenggara adhoc yang telah dibekukan.

“Bagaimana status syarat dukungan yang telah diserahkan bakal calon perseorangan? Jika ada pendukung yang bergeser tempat tinggalnya, misal dia diisolasi atau meninggal dunia, karena kan ada durasi jarak. Lalu status data pemilih, kalau ditunda menjadi Desember 2020, kan perlu ada penyerahan DP4 (Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan) baru dari Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri),” terang Titi pada webkusi “Pilkada Ditunda, Adakah Dampak dan Implikasi Politiknya?” (4/5).

Kedua, dampak politik. Penundaan Pilkada akan merubah konfigurasi politik daerah. Status mandat yang telah diberikan oleh partai politik kepada calon dapat berubah.

“Sangat mungkin ketika dia petahana, kerjanya dalam penanganan Covid kurang berprestasi, lalu partai ingi merubah mandat. Jadi, penundaan Pilkada pasti akan sangat terasa. Bisa jadi muncul figur-figur yang kuat, yang secara politik, dirasakan punya pengaruh lebih untuk jadi calon,” ucap Titi.

Titi juga menduga, jika kian tak ada kepastian hukum, calon kepala daerah akan terdorong menggunakan uang untuk pemenangan Pilkada secara tidak akuntabel. Telah ada kasus politisasi bantuan sosial bagi masyarakat ditengah korona.

“Semakin gak jelas hari H, uang bisa semakin banyak dikeluarkan. Dan, akuntabilitas dana yang dikeluarkan semakin bias. Kan kita ingin dana untuk pencalonan akuntabel. Tapi di tengah situasi yang tidak jelas, itu bisa memicu uang-uang itu makin terdistribusi dengan tidak akuntabel. Termasuk terjadinya politisasi penanganan Covid-19 oleh beberapa oknum yang kita sudah tahu,” tegas Titi.

Selain itu, dampak sosial juga akan terjadi. Jika Pilkada diselenggarakan di masa pandemik, fokus Pemerintah akan terbagi dua. Kondisi darurat Covid-19 membutuhkan kepala daerah definitif yang memiliki wewenang penuh untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis penanganan Covid-19.

“Makanya kita usul, Pilkadaditunda setidaknya ke Juni 2021, agar penanganan Covid bisa dipimpin oleh bupati definitif, karena progam-programnya strategis. Harus solid. Memang ada konsekeunsi, kekosongan jabatan, tapi ini kan soal membuat prioritas,” tutup Titi.