Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan jajarannya perlu melakukan telaah dimensi virtual pengawasan partisipatif pemilu dalam mengawal penyelenggaraan pemilu bersama rakyat di tengah atau pascapandemi Covid 19. Ini sejalan dengan fungsi pengawasan pelanggaran pemilu Bawaslu yang melibatkan stakeholder dan masyarakat secara independen dan masif. Metode yang lebih baik dibutuhkan agar proses dan hasil pemilu demokratis dan kuat legitimasi tercapai.
Dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu menyatakan bahwa kegiatan kepengawasan pemilu diatur dengan adanya transformasi bawaslu. Bawaslu yang semula hanya sebagai “hakim garis”, sekarang Bawaslu akan tampil lebih powerful. Karena terdapat beberapa pasal dalam UU Pemilu yang memberikan tugas dan wewenang baru bagi Bawaslu dalam mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang lebih adil, bersih, dan demokratis.
Dengan demikian bentuk kepengawasan pemilu telah bertranformasi menjadi bersifat partisipatif. Pengawasan pemilu partisipatif merupakan sebuah pesta demokrasi yang seyogyanya menjadi ruang keterlibatan rakyat untuk saling menjaga setiap prosesnya. Sehingga orientasi tugas Bawaslu bergeser dari sebelumnya, melakukan pengawasan diarahkan pada penemuan pelanggaran, menjadi upaya untuk mengedepankan pencegahan terjadinya pelanggaran.
Pelaksanaan pengawasan partisipatif
Kita semua mempertimbangkan partisipasi masyarakat dalam Pilkada Serentak 2020. Partisipasi di sini tidak hanya pada persentase kehadiran saat pencoblosan saja tetapi mengarah pada pengawalan proses awal pemilihan. Artinya, ada keterlibatan masyarakat dalam pengawasan partisipasi pemilu dalam setiap tahapan pilkada.
Sehingga perlu dibangun sinergitas di antara pengawas pemilu dengan para stakeholder pemilu (tokoh masyarakat, tokoh agama, ormas, mahasiswa, tokoh pemuda, dan pemilih pemula). Prinsipnya semakin banyak orang yang terlibat dalam pengawasan partisipasi pemilu maka semakin tinggi legitimasi hasil pemilu.
Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan pemilu, yang paling efektif adalah mengajak dan mendorong agar masyarakat dapat menjadi pemberi informasi awal bagi pengawas pemilu. Perlunya melibatkan masyarakat, terutama pada setiap tahapan pengawasan pemilu terutama tahapan masa pencalonan, tahapan kampanye , dan tahapan pemungutan dan penghitungan suara.
Demikian halnya juga pengawasan pada kegiatan masyarakat yang seringkali dijadikan ajang kampanye terselubung pasangan calon yang berkontestasi. Maka peran masyarakat dalam pengawasan pemilu partisipatif menjadi penting untuk mereka terlibat dan berani mengambil sikap serta melaporkan dugaan pelanggaran pemilu yang mereka lihat maupun alami.
Rendahnya pengawasan partisipatif
Dalam beberapa pelaksanaan pilkada ditemui bahwa keterlibatan masyarakat dalam upaya melakukan pengawasan partispasi masih rendah. Sebabnya, masyarakat belum sadar pentingnya pengawasan pemilu serta model pengawasan pemilu partisipatif yang masih konvensional.
Salah satunya adalah dugaan pelanggaran pemilu. Dugaan pelanggaran pemilu berupa pelanggaran administratif, pelanggaran tindak pidana pemilu, dan pelanggaran etik belum optimal diperoleh informasinya oleh masyarakat maupun pemilih pemula melalui media sosial dan pemberitaan media online. Sehingga ada kekurangtahuan masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan pemilu apalagi melaporkannya.
Berdasarkan data dari Bawaslu.go.id tentang data dugaan pelanggaran pemilu 2019 menyebutkan ada 24.528 dugaan pelanggaran pemilu, 19.436 (79 persen) dugaan merupakan temuan dari perangkat bawaslu, sedangkan 5.092 (21 persen) adalah laporan dari masyarakat. Melihat data tersebut, proses dugaan pelanggaran pemilu yang diperoleh hampir 79 persen hasil temuan Bawaslu. Di sisi lain keterlibatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan pemilu untuk mencegah pelanggaran masih rendah hanya sekitar 21 persen.
Mengapa bisa terjadi, ditemukan sebabnya karena keterlibatan pengawasan partisipatif dalam pilkada tidak diminati oleh masyarakat. Ada beberapa faktor yang menjadikan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan partisipasi pemilu itu rendah.
Pertama, pengawasan partisipasi konvensional yang tidak mendapatkan perhatian pemilih milenial yang dalam kesehariannya bersinggungan dengan media sosial. Padahal dalam pengawasan partisipasi pemilu, segmen pemilih milenial sangat diperlukan karena mereka memiliki daya kritis dan belum mempunyai kepentingan cocok menjadi informasi awal. Peran pemilih milenial dalam pengawasan partisipasi pemilu virtual sangat penting dengan alasan mereka masih menjaga idealisme, dan belum tersentuh politik pragmatis.
Kedua, belum meratanya penyebaran informasi ke masyarakat berkaitan dengan pemilu dan pengawasannya. Pemahaman masyarakat yang rendah terhadap pemilu dan pengawasan diakibatkan informasi yang diperoleh masyarakat yang kurang optimal. Informasi mengenai pengawasan partisipatif pemilu masih terbatas kurang diptimalkan penyampaiannya melalui media elektronik, cetak, online, dan media sosial. Kegiatan masih lebih banyak dalam bentuk konvensional seperti tatap muka, pertemuan serta obrolan-obrolan pengawasan pemilu secara langsung ke masyarakat pemilih.
Ketiga, kurangnya konten pada dimensi virtual dalam pengawasan partisipatif pemilu yang menjadikan masyarakat enggan dan kurang berani melaporkan dugaan pelanggaran pemilu apalagi terlibat terlibat langsung dalam proses pencegahan pelanggaran. Ini disebabkan karena proses laporan yang cukup rumit dan langsung. Masyarakat pun takut terhadap ancaman yang beredar jika melakukan pelaporan. Masih banyak masyarakat yang belum mempunyai keberanian dalam melaporkan dugaan pelanggaran pemilu.
Solusi
Landasan Hukum partisipasi masyarakat dalam dalam pemilu adalah UU 7/2017 tentang pemilihan umum pasal 448. Dengan landasan hukum yang kuat, seharusnya masyarakat bisa berpartisipasi secara aktif pada pemilu. Namun pada faktanya justru partisipasi masyarakat masih tergolong rendah terutama di pengawasan. Ada beberapa solusi agar dalam Pilkada 2020 masyarakat berperan dalam pengawasan partisipatif pemilu.
Pertama, menjadikan dimensi virtual dalam pengawasan partisipasi pemilu dan melibatkan masyarakat. Hal ini penting terutama bagi pemilih milenial yang berpartisipasi aktif dalam pengawasan pemilu melalui media sosial dan online.
Menjadikan pemilih milenial sebagai pemberi informasi awal melalui konten yang unik di media sosial. Bentuknya bisa gambar, video, atau bahkan kegiatan-kegiatan berbasis generasi milenial seperti komunitas WAG, Facebooker, Instagram, e-sport dan lainnya.
Kedua, dimensi virtual dalam melakukan pendidikan politik. Melalui media sosial dan online, penting menyampaikan informasi seputar regulasi pemilu, pengawasan pemilu partisipatif, dan sanksi-sanksi dalam pelanggaran pemilu. Dari sini diharapkan timbul minat para pemilih pemula untuk berpartisipasi dalam pengawasan pemilu dalam Pilkada minimal menjadi pemberi informasi awal.
Untuk mencapai konsep di atas butuh komitmen bersama penyelenggara pemilu dan stakeholder pemilu. Semoga semua dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu menyertakan pengawasan partisipastif virtual. Keterlibatan nyata dari masyarakat termasuk kaum milenial dapat membantu upaya-upaya serius penyelenggara pemilu terutama Bawaslu. Semoga pengawasan pemilu partisipatif yang lebih efektif bisa terwujud sehingga proses dan hasil pemilu kita lebih demokratis. []
JOHNNY ALEXANDER SUAK
Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (Ja-DI) Sulawesi Utara
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Utara 2012-2017