August 8, 2024

Oligarki dan Demokrasi, Satu Keping Mata Uang?

Oligarki, satu kata yang sering disebut oleh mulai dari pengamat politik, pegiat demokrasi, pemerhati pemilu, aktivis politik, akademisi, politisi, hingga sang oligark sendiri. Kita telah tahu sama tahu siapa saja oligark di Indonesia. Hampir semua mengeluhkan dan menghujat oligarki, namun, apa sebetulnya oligarki itu dalam demokrasi Indonesia?

Dalau tinjauan teori, Jeffrey Winters, profesor bidang politik Nortwestern University Amerika Serikat mendefinisikan oligarki sebagai politik mempertahankan kekayaan material. Terdapat dua kata kunci dari definisi tersebut, yaitu politik pertahanan, dan kekayaan material. Seorang oligark mestilah memiliki kekayaan material yang mudah dialih-ubah dalam kepentingannya mempertahankan kekayaan. Jadi, seorang oligark pastilah punya kepentingan untuk mempertahankan kekayaan.

Masih menurut Winters, oligarki terjadi karena adanya ketimpangan dan konsentrasi kekayaan. Karena seseorang sangat kaya raya sementara orang lain sangat miskin, maka orang-orang yang sangat kayalah yang diuntungkan secara politik. Ia memiliki sumber daya material untuk membeli massa, untuk berkampanye memenangkan posisi yang dipilih dalam pemilu yang bebas dan adil, atau untuk membeli figur penentu di kekuasaan untuk melancarkan bisnis-bisnis yang membuatnya berlimpah kekayaan material.

“Para oligark adalah segelintir orang yang punya kekuasaan karena memiliki uang yang lentur dan serbaguna. Uang berguna membeli barang dan jasa, dan punya status khusus dalam sumber daya kekuasaan. Formulanya sederhana, orang yang punya banyak uang, sekaligus punya banyak kekuasaan politik karena barang dan jasa politik juga ada harganya,” papar Winters dalam webinar “Memahami Oligarki, Apek Ketatanegaraan, Ekonomi, dan Politik Pemberantasan Korupsi”, Selasa (9/6).

Cukup berbeda dari Winters, teoritikus berperspektif ekonomi-politik Marxis, Richard Robison dan Vedi Hadiz mendefinisikan oligarki sebagai sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektifnya. Ada satu kunci yang sama dengan Winters, yakni pertahanan. Namun, dalam definisi ini, oligarki mensyaratkan ketakterpisahan antara kekuasaan (politik) dengan kepentingan untuk mempertahankan konsentrasi kekayaan (ekonomi) (Robison & Hadiz 2013: 35).

Secara ringkas gambarannya yakni sebagai berikut: politik ekonomi kita di dalam sejarah awal kemerdekaan bangsa telah menguntungkan segelintir orang-orang kaya pemilik modal. Program Banteng yang digagas Soekarno faktanya telah menyiapkan borjuasi nasional. Para borjuasi ini lantas, ketika ekonomi kita tersambung dengan ekonomi global dan pasar global, lalu muncul perusahaan-perusahaan multinasional yang menjalankan skema ekonomi kapitalistik, semakin diuntungkan. Kekayaan material mereka terakumulasi sedemikian rupa sehingga muncul lah oligarki-oligarki pribumi yang tersambung dengan bisnis oligarki di negara-negara lain, yang semakin memperparah konsentrasi kekayaan.

Dengan demikian, oligarki merupakan produk ekonomi-politik: politik yang dirancang oleh para borjuis untuk menopang jalannya ekonomi kapitalistik sebagai sistem ekonomi yang efektif untuk mengakumulasi kapital orang-orang yang diuntungkan oleh politik ekonomi. Pola seperti ini tak hanay terjadi di Indonesia, melainkan banyak negara-negara demokrasi di dunia, seperti Amerika Serikat.

Tesis dengan pendekatan Marxis tersebut terbukti. Dari paparan yang disampaikan oleh ekonom Indonesia, Faisal Basri, pada webinar “Memahami Oligarki, Apek Ketatanegaraan, Ekonomi, dan Politik Pemberantasan Korupsi”, dua pertiga kekayaan para oligark berasal dari bisnis kroni. Apa saja bisnis kroni itu? Antara lain kasino, batubara, minyak sawit, timah, pertahanan, investasi perbankan, infrastruktur, pipa gas, gas, minyak, bahan-bahan kimia, bandara, properti, pertambangan, dan layanan komunikasi.

Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Mineral dan Batubara (Minerba), dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi potret betapa politik digunakan untuk kepentingan ekonomi para oligark. Faisal Basri mencatat, jika dulu oligark masih malu-malu dengan hanya berdiri di belakang para politisi, juga tak tercatat dalam laporan dana kampanye pemilu dan keuangan partai politik, kini oligark itu tampil dengan percaya diri. Mereka memiliki partai politik, ikut dalam momen-momen pemilu, menjadi pejabat eksekutif.

Dalam tulisan Geger Riyanto dalam buku “Oligarki, Teori dan Kritik” (2020), barangkali karena sikap permisif masyarakat, oligarki langgeng di Indonesia. Masyarakat bersikap permisif terhadap oligark dan oligarki. Oligark terampuni dengan nalar bagi-bagi uang sebagai bentuk kepedulian sosial, dan bahwa penting memilih orang kaya agar tak korupsi saat terpilih.

Oligarki, dalam potret politik Indonesia, memang berkelit-kelindan dengan praktik-praktik demokrasi elektoral. Tak heran jika para penulis “Oligarki, Teori dan Kritik” (2020) meyakini bahwa demokrasi tak bertentangan dengan oligarki. Dengan melihat sejarah politik hukum demokrasi di Amerika Serikat dan Inggris, ada kecurigaan bahwa sistem demokrasi merupakan sistem yang sengaja dibangun oleh para borjuis-pemilik modal (seperti yang digambarkan oleh Ellen Meiksins Wood dalam Democracy Against Capitalism) di tengah kondisi ketimpangan ekonomi, untuk mempertahankan kekayaan mereka. Jadi, dengan kata lain, oligarki inheren dalam demokrasi.

Para pemikir Marxis menganggap bahwa demokrasi semestinya berfungsi sebagai sistem politik yang dapat menciptakan kesetaraan akses dan partisipasi, dimana rakyat mayoritas yang berkepentingan, dapat mencegah terjadinya ketimpangan kekayaan. Namun, dari praktik-praktik yang diangkat Winters di dalam karyanya Oligarchy (2011), demokrasi justru menjadi sistem yang memperkaya kalangan kaya. Oligarki menghambat redistribusi kekayaan dan laju mobilitas sosial.

Bahwa oligarki menghambat redistribusi kekayaan dan laju mobilitas sosial nyatanya teruji. Data Credit Suisse Global Wealth Databook 2019 yang disampaikan oleh Faisal Basri menunjukkan bahwa 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6 persen kekayaan nasional, dan 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 74,1 persen kekayaan nasional. Konsentrasi kekayaan pula yang menyebabkan tingkat pertumbuhan jangka panjang Indonesia terus melemah, yakni dari 8 persen di dekade 1970an, menjadi 5 persen selama 2014-2020. Indeks mobilitas sosial Indonesia yang terbit pada 2020 menurut World Economic Forum hanya di angka 49,3 persen, urutan ke 63 dari 83 negara.

Winters pun nampaknya tak keberatan dengan pandangan tersebut. Ia mengatakan pada webkusi yang diadakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (9/6), bahwa demokrasi dan oligarki adalah dua sistem yang berjalan bersama di Indonesia. Jika demokrasi baik, tidak otomatis oligarki menurun. Namun, ia kemudian buru-buru memisahkan antara oligarki dan demokrasi. Dari segi basis kekuatan, basis kekuatan demokrasi adalah hukum, kebebasan bersuara, dan kesetaraan, sedangkan basis kekauatan oligarki adalah konsentrasi uang atau kekayaan material. Lalu dari segi tujuan, demokrasi bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dan kekuasaan bagi semua orang. Tujuan oligarki mempertahankan akumulasi dan konsentrasi kekayaan.

Tawaran resep untuk sakit kronis oligarki

Winters dari kubu Weberian, mengajukan cara untuk mengurangi pengaruh oligarki dalam politik, yakni mendesain sistem demokrasi yang dapat mengekspos kekuatan oligark. Hal tersebut dapat dimulai dengan tiga hal. Satu, membuat pembiayaan dana politik dan dana kampanye menjadi lebih transparan. Dua, mengalihkan semua pembiayaan politik dan kampanye dari individu atau swasta kepada pembiayaan oleh publik. Tiga, memperkuat penegakan hukum. Hukum yang tak pandang bulu dan efektif akan membuat pelaku transaksi kebijakan tak berani melakukan kejahatan politik berbau kepentingan ekonomi.

“Di Amerika Serikat, kita punya calon presiden Bernie Sanders (tokoh Demokrat progresif). Dia kumpulkan semua uang kampanye hanya dari uang kecil dari masyarakat langsung. Sebenarnya cara untuk membiayai kampanye ini masih belum berkembang sepenuhnya di Indonesia. Sebenarnya hampir 100 persen oligark,” kata Winters.

Resep dari Winters patut ditebus di “apotik” politik. Saya bahkan mau menambahkan dua resep tambahan yang sebetulnya tidak baru: satu, mempermudah syarat pembentukan partai politik dan syarat menjadi partai politik peserta pemilu agar pembiayaan partai politik tak terlampau mahal; dua, menghapus ambang batas pencalonan presiden/kepala daerah.

Dosen Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menyampaikan bahwa mencalonkan presiden sebetulnya tak perlu berkoalisi. Hanya di Indonesia, para politisi menarasikan bahwa untuk menciptakan sistem presidensialisme yang kuat, partai politik mesti berkoalisi untuk mencalonkan presiden. Sebuah narasi yang anehnya diaminkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sang penjaga demokrasi, dalam pertimbangan hukumnya pada putusan atas juidicial review ambang batas pencalonan presiden.

Tak hanya resep politik, resep ekonomi pun wajib ditebus untuk tak hanya mengurangi pengaruh penyakit oligarki, namun juga menghilangkan. Resep itu, meminjam tawaran kelompok Marxis, dan sebetulnya juga Winters di kubu Weberian (dituliskan oleh Winters dalam bukunya Oligarchy), adalah redistribusi kekayaan. Jika oligarki muncul karena adanya konsentrasi kekayaan yang terjadi akibat akumulasi kekayaan orang-orang yang diuntungkan secara politik ekonomi, sebuah hasil produk sejarah politik ekonomi bangsa, maka sistem ekonomi yang melahirkan konsentrasi kekayaan itu mestilah diubah. Tawaran kelompok Marxis, tentulah sosialisme.

Ellen Meiksins Wood menyebutkan bahwa sosialisme adalah demokrasi yang sebetul-betulnya atau yang sejati. Sebab, tak hanya hak untuk memilih yang sama rata, namun juga hak berdaya untuk dapat dipilih dan hak untuk berdaya secara ekonomi.

 

Referensi:

Mudhoffir, Abdil Mughis dan Coen Husain Pontoh. 2020. Oligarki, Teori dan Kritik. Serpong: CV Marjin Kiri.

Robison, Richard dan Vedi Hadiz. 2013. The Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia. Jurnal dapat diakses di https://ecommons.cornell.edu/bitstream/handle/1813/54629/INDO_96_0_1381338354_35_58.pdf?sequence=1.

Winters, Jeffrey A. 2011. Oligarchy. New York: Cambridge University Press.

Wood, Ellen Meiksin. 1995. Democracy Against Capitalism. Buku dapat diunduh di https://cominsitu.files.wordpress.com/2016/01/ellen-meiksins-wood-democracy-against-capitalism-renewing-historical-materialism-1995.pdf.

https://www.weforum.org/reports/global-social-mobility-index-2020-why-economies-benefit-from-fixing-inequality