November 27, 2024

Desain Pilkada Era Normal Baru OLEH JURI ARDIANTORO

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota ditandatangani Presiden Jokowi menjadi UU, 4 Mei 2020.

Perppu itu memuat dua isu penting terkait penundaan pilkada yang disebabkan berbagai kedaruratan, termasuk bencana non-alam Covid-19. Perppu ini mengubah waktu pelaksanaan pemungutan suara dari September 2020 sebagaimana diperintahkan UU No 10/2016 menjadi Desember 2020.

Selain itu, Perppu juga mengatur jika pemungutan suara lanjutan tak dapat dilaksanakan karena bencana non-alam belum berakhir, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali. Menindaklanjuti ketentuan dalam perppu ini, 27 Mei lalu DPR bersama KPU dan pemerintah menyetujui secara resmi pemungutan suara pilkada serentak lanjutan dilaksanakan 9 Desember 2020, meski keputusan dan forum serupa pernah diambil di rapat 14 April 2020.

Salah satu alasan kuat melaksanakan pilkada 2020, agar tak banyak kekosongan jabatan kepala daerah hasil pemilihan langsung sehingga diisi oleh pelaksana tugas kepala daerah. Bukan saja legitimasi tak kuat dalam mengendalikan pemerintahan, tapi juga lemah dalam eksekusi kebijakan penanganan Covid-19 di daerah masing-masing.

Keputusan ini diambil di tengah protes beberapa kalangan yang menolak pilkada lanjutan dilaksanakan tahun ini karena alasan pandemi masih berlangsung. Kelompok yang menamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat, misalnya, menggalang petisi penundaan Pilkada 2020 melalui gerakan www.change.org/janganpilkadadulu.

Aliansi beranggotakan beberapa NGO berpengaruh di bidang kepemiluan seperti Netgrit, Netfid, Perludem, PuSako FH Unand, Puskapol UI, Fatayat NU, Rumah Kebangsaan, Kopel, JPPR, KIPP Indonesia, dan PPUA Disabilitas ini mendorong KPU, DPR dan pemerintah menetapkan pilkada serentak dilaksanakan 2021, paling lambat September.

Pemerintah melalui Mendagri menyatakan, opsi diundur ke Maret atau September 2021 tak menjamin pandemi akan berakhir. Menurut WHO, korona masih tetap ada selama vaksin belum ditemukan. Jika vaksin ditemukan pun harus dilanjutkan dengan uji coba, produksi massal, distribusi dan pelaksanaan vaksinasinya butuh waktu panjang.

Berbagai kekhawatiran

Apa saja risiko yang mungkin dihadapi jika pilkada dilaksanakan sementara wabah belum berakhir? Pertama, masalah keamanan atau keselamatan petugas dan pemilih dari ancaman penularan Covid-19, karena pilkada yang meliputi beberapa tahapan penting memungkinkan bertemunya banyak orang.

Kedua, tingkat partisipasi pemilih akan rendah. Dengan alasan menghindari kerumunan bisa jadi pemilih enggan datang ke TPS untuk gunakan hak pilih.

Ketiga, berbagai modifikasi atau pembatasan dalam pelaksanaan tahapan pilkada dikhawatirkan akan menurunkan kualitas pilkada itu sendiri.

Salah satu yang sering disuarakan, faktor keberuntungan petahana. Dengan fasilitas jabatan yang dimiliki maupun momentum membagi berbagai bansos, petahana dapat dikatakan di atas angin berhadapan dengan penantangnya. Selain itu, pemilih tak mendapatkan ruang memadai untuk menilai secara adil calon-calon yang ada karena minimnya informasi yang diterima.

Keempat, masalah kecukupan anggaran. Pilkada di masa Covid-19 diasumsikan akan menambah anggaran secara signifikan, terutama untuk pengadaan alat pelindung diri guna memenuhi protokol kesehatan bagi petugas di seluruh tingkatan. Padahal saat ini saja sebagian daerah masih kesulitan karena APBD telah dialihkan peruntukannya dalam penanganan wabah.

Mitigasi faktor risiko

Tanpa mempertentangkan keputusan penetapan pilkada lanjutan 9 Desember 2020 dengan kalangan yang meminta penundaan, pertanyaannya apakah pilkada Desember 2020 benar-benar penuh risiko jika dibandingkan pilkada 2021? Jika pandemi benar-benar belum berakhir di 2021, maka potensi risiko tetap sama. Berbagai kekhawatiran itu wajar adanya, namun jangan lantas tak ada kepastian kapan pilkada dilaksanakan. Toh, jika terpaksa tak dapat dilaksanakan Desember 2020, perppu mengatur dapat ditunda lagi.

Poin pentingnya, baik pilkada Desember 2020 maupun 2021, pandemi harus sudah dapat dikendalikan secara baik dan dalam pelaksanaannya tetap dengan protokol kesehatan secara ketat.

Kekhawatiran ini juga jadi pertanda baik dan bisa modal sangat penting untuk memetakan permasalahan pilkada saat pandemi, dan memitigasi potensi risiko-risiko itu. Jalan pertama yang perlu dipahami, pandemi ini tak akan berakhir dalam waktu dekat, sementara aktivitas kehidupan sosial, ekonomi dan kegiatan lain masyarakat harus berjalan meski dalam pembatasan. Inilah yang sering dinamakan era kenormalan baru (new normal) atau adaptasi kebiasaan baru.

Era ini jadi momentum bagi masyarakat untuk “tetap produktif dan aman dari Covid-19”, seperti sering kali disampaikan Presiden Jokowi. Perspektif adaptasi kebiasaan baru yang produktif dan aman Covid-19 ini juga harus jadi spirit di tengah upaya percepatan penanganan Covid-19, di saat yang sama mendorong masyarakat memulai kebiasaan-kebiasaan baru, perliaku baru, tata kelola baru dalam urusan publik, termasuk pelaksanaan pilkada.

Jalan selanjutnya, mendesain pilkada pada level teknis pengaturan dan praktik pelaksanaannya. Pertama, mengenai keselamatan petugas dan pemilih. Tanpa mengurangi kualitasnya, pilkada harus dilaksanakan dalam kenormalan baru, yakni dengan disiplin tinggi dalam menerapkan protokol kesehatan di seluruh tahapan yang dijalankan oleh petugas maupun masyarakat pemilih. Protokol kesehatan itu bertitik tolak pada usaha mencegah penularan virus dengan mencegah kerumunan, jaga jarak, jaga kebersihan tangan, menggunakan masker.

Protokol yang bisa disiapkan misalnya untuk tahapan pemutakhiran data pemilih bisa melalui aplikasi daring atau tatap muka berjarak. Kampanye dalam bentuk pengumpulan massa seperti rapat umum, pertemuan terbatas dan tatap muka, bisa ditiadakan. Kampanye difokuskan pada kampanye di media, pemasangan alat peraga dan bentuk lain yang tak mengumpulkan massa. Debat calon dapat dilakukan dengan jumlah orang terbatas. Pendukung dan masyarakat bisa melihat lewat siaran media.

Kampanye dalam bentuk pengumpulan massa seperti rapat umum, pertemuan terbatas dan tatap muka, bisa ditiadakan.

Saat pemungutan dan penghitungan suara, TPS bisa diatur dengan membatasi jumlah pemilih yang berada di TPS dengan mengatur waktu kedatangan, jumlah kursi tunggu terbatas dan berjarak minimal satu meter, disediakan air dan sabun cuci tangan di pintu masuk dan keluar TPS, penggunaan masker bagi petugas dan pemilih. Saat rekapitulasi, cukup disaksikan petugas dan saksi. Tahapan lain juga demikian.

Kedua, problem partisipasi pemilih pilkada yang cenderung terus menurun dan saat pandemi diprediksi kian menurun. Penyelenggara pilkada, KPU dan Bawaslu beserta peserta pilkada dituntut kreatif mengajak pemilih bahwa dengan disiplin protokol kesehatan saat datang ke TPS akan tetap aman. Persiapan 5-6 bulan bisa dijadikan momentum membangun pemahaman pemilih untuk datang memberikan suaranya di TPS.

Ketiga, mencegah kontestasi tak adil antara petahana dan penantang sehingga risiko menurunnya kualitas pilkada dapat dicegah. Perlu aturan yang rigid dan penegakan hukum yang tegas, terutama mengenai apa yang boleh dan tak boleh dilakukan calon. Misalnya, petahana sementara tak lagi boleh menjabat sebagai ketua gugus tugas Covid-19, termasuk dalam pembagian bansos.

Penyaluran bansos bisa dilakukan unsur lain di pemerintahan. Demikian juga pengaturan lain yang dapatdiputuskan bersama oleh pemerintah lewat Gugus Tugas dan Kemendagri, DPR dan penyelenggara pilkada untuk mengawal dan memastikan fairness pilkada.

Keempat, pemerintah telah menjamin alokasi anggaran pilkada di daerah tak termasuk yang direalokasi untuk penanganan Covid-19. Kekhawatiran kekurangan anggaran karena keharusan penerapan protokol kesehatan, dapat dicarikan jalan keluarnya, apakah harus ada penambahan anggaran atau cukup melakukan efisiensi anggaran yang ada?

KPU dan Bawaslu dapat melakukan efisiensi anggaran, untuk pemenuhan kebutuhan protokol kesehatan.

KPU dan Bawaslu dapat melakukan efisiensi anggaran, untuk pemenuhan kebutuhan protokol kesehatan. Misalnya di pos kampanye, karena tak semua metode kampanye dijalankan. Pos pengadaan logistik pilkada juga sering tersisa, percetakan di luar surat suara dapat dikurangi. Pos-pos lain yang selama ini dialokasikan untuk seremoni dapat dihapus. Beberapa tahapan bisa disingkat waktunya, sehingga hemat biaya.

Singkatnya, penyelenggara dan pemangku kepentingan pilkada harus berpijak dan bekerja dari pemahaman sama, bahwa pilkada Desember 2020 adalah pilkada dalam situasi tak normal atau normal dalam bentuk baru (new normal) sehingga dalam mendesain pilkada perlu penyesuaian agar tak terbelenggu pakem pilkada sebelum-sebelumnya. Pilkada juga tak lagi disebut “pesta demokrasi” dalam arti sebagai momen euforia dan kemeriahan dengan perayaan yang melibatkan banyak orang, namun, kualitas dan legitimasi pilkada tetap terjaga.

JURI ARDIANTORO
Mantan Ketua KPU, sekarang bekerja di Kantor Staf Presiden

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 15 Juni 2020 di halaman 6 dengan judul “Desain Pilkada Era Normal Baru” .