Penting mengatur ulang jadwal pilkada dengan membagi tahapan keserentakan berdasarkan kondisi penyebaran Covid-19 di daerah sebagai upaya menghindari munculnya kluster baru Covid-19 dalam tahapan pilkada.
Dalam tulisan berjudul ”Desain Pilkada Era Normal Baru” (Kompas, 15/6/2020), Juri Ardiantoro menyampaikan, potensi risiko menyelenggarakan pilkada pada Desember 2020 atau mengundurnya sampai 2021 tetaplah sama karena tidak ada yang bisa memprediksi kapan pandemi akan berakhir. Menurut dia, karena pandemi tidak akan berakhir dalam waktu dekat, masyarakat harus didorong untuk memulai kebiasaan-kebiasaan baru (new normal), termasuk pilkada. Tulisan Juri Ardiantoro ini menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.
Secara umum, saya sepakat dengan tulisan Juri. Namun, yang luput dari tulisan Juri adalah pelaksanaan pilkada tidak bisa dipukul rata antara daerah-daerah dengan kondisi penyebaran Covid-19 yang masih tinggi dan daerah-daerah dengan tingkat penyebaran mulai melandai atau sedang. Daerah dengan tingkat penyebaran Covid-19 yang masih tinggi sangat berisiko melaksanakan pilkada pada 9 Desember 2020 dibandingkan dengan daerah yang penularannya sudah rendah.
Penentuan daerah mana saja yang dapat melakukan pilkada harus diputuskan menggunakan pendekatan ilmiah. Risiko penularan Covid-19 jauh lebih besar jika menyamakan posisi daerah dalam penanganan Covid-19. Saya melihat perlu dilakukan pengaturan ulang jadwal pilkada dengan memperhatikan sejumlah indikator, terutama indikator kesehatan, agar pilkada tak jadi kluster baru penyebaran Covid-19.
Bagi daerah dengan angka Covid-19 yang masih tinggi tentu riskan menyelenggarakan pilkada pada Desember 2020. Hal itu akan membuat terbelahnya fokus kepala daerah, terutama kepala daerah petahana yang kembali maju dalam pemilihan: antara tugas publik untuk menangani Covid-19 dan tugas sebagai calon dalam pilkada. Padahal, dalam kondisi sulit seperti ini, kita butuh kepemimpinan yang kuat dari kepala daerah.
Bagi daerah dengan angka Covid-19 yang masih tinggi tentu riskan menyelenggarakan pilkada pada Desember 2020.
Peluang
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 masih terbuka peluang untuk mengatur ulang jadwal keserentakan penyelenggaraan pilkada dengan kesepakatan tripihak: KPU, Kemendagri, dan DPR. Memaksakan pilkada secara serentak di 270 daerah saat situasi pandemi masih tinggi tentu sangat berisiko dilakukan.
Perlu dilakukan pelaksanaan pilkada secara bertahap sesuai dengan indikator penyebaran Covid. Artinya, ada daerah-daerah yang melaksanakan pilkada pada 9 Desember 2020 dan ada yang melaksanakan pada Maret 2021 atau bahkan September 2021.
Memaksakan pelaksanaan pilkada secara bersama di 270 daerah, tanpa mempertimbangkan aspek epidemiologi, tentu akan sangat berbahaya dan mengganggu fokus kepala daerah petahana dalam menangani Covid-19. Jalan keluar yang dapat dilakukan adalah menjadwalkan ulang pelaksanaan pilkada berdasarkan zona atau tingkat penyebaran Covid-19 di setiap daerah. Hal ini penting dilakukan karena adanya variasi penanganan dan situasi Covid-19 pada setiap daerah yang akan melaksanakan pilkada.
Bagi daerah-daerah dengan kondisi Covid-19 sudah pada zona hijau yang ditandai dengan terjadinya penurunan kasus-kasus Covid-19, terdapat kapastitas rumah sakit dan tenaga medis yang memadai, mungkin dapat melaksanakan pilkada pada Desember 2020. Namun, bagi daerah-daerah yang masih berada pada zona kuning dengan kasus yang masih tinggi dan kurangnya kapasitas rumah sakit, lebih tepat jika pelaksanaannya diundur menjadi Maret 2020.
Pemerintah, KPU, dan DPR serta pemangku kebijakan lain perlu menetapkan indikator yang sama untuk menilai kesiapan daerah dalam menyelenggarakan pilkada dalam normal baru. Beberapa aspek yang bisa digunakan adalah aspek kesehatan, anggaran, dan lokasi wilayah.
Pada aspek kesehatan, beberapa variabel pengukuran yang bisa dipakai adalah melihat tingkat penyebaran Covid-19, kapasitas rumah sakit, dan kemampuan melakukan tes Covid-19 setiap harinya. Selain itu, perlu juga dilihat bagaimana status pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di tingkat lokal. Sejumlah daerah masih menerapkan kebijakan perpanjangan saat tahapan sudah dimulai pada Juni ini.
Sejumlah daerah masih menerapkan kebijakan perpanjangan saat tahapan sudah dimulai pada Juni ini.
Aspek kedua adalah pemetaan berdasarkan aspek kesiapan anggaran pada setiap daerah. Meskipun pemerintah pusat sudah berkomitmen untuk menambah alokasi dana pilkada untuk alat pelindung diri (APD) dan protokol kesehatan, di sejumlah daerah masih terjadi kesulitan anggaran.
Data Kemendagri, seperti yang ditulis harian ini, menunjukkan, terdapat 57 daerah yang menyampaikan kesulitan untuk memenuhi anggaran tambahan bagi KPU dan Bawaslu (Kompas, 10/6/2020). Pelaksanaan pilkada pada Desember 2020 berpotensi memunculkan ketidakpastian alokasi anggaran karena terjadinya pergeseran waktu pencairan anggaran yang bersamaan dengan laporan fiskal pada Desember 2020 (Tjandra, 2020).
Dua aspek tersebut sebaiknya digunakan untuk menentukan daerah mana saja yang dapat menyelenggarakan pilkada pada Desember dan mana yang diundur sampai 2021. Pola seperti di atas lebih terukur dan ilmiah untuk melaksanakan pilkada dalam keadaan normal baru daripada menyamaratakan kondisi semua daerah.
Inovasi tambahan
Untuk mengurangi potensi penyebaran kasus Covid-19, inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan pilkada perlu dirumuskan dengan terukur pada setiap tahapan pilkada. Terutama pada tahapan yang membutuhkan interaksi antara penyelenggara dan kandidat dengan pemilih.
KPU sudah melakukan sejumlah perubahan regulasi dalam pilkada, di antaranya mengurangi jumlah pemilih di setiap TPS dari 800 pemilih per TPS menjadi 500 pemilih dan pelarangan kampanye umum yang melibatkan banyak pemilih secara terbuka.
Masih terdapat sejumlah perubahan lagi yang bisa dilakukan oleh penyelenggara dan DPR untuk memperkecil risiko penularan Covid-19 dalam setiap tahapan. Di antaranya memperpanjang waktu pemungutan suara dari pukul 07.00 sampai 13.00 menjadi pukul 14.00 atau 15.00 dengan merevisi Pasal 92 UU No 1/2015 sehingga tidak terjadi penumpukan massa pada hari pemungutan suara.
Hal lain, memperpendek waktu kampanye dari 71 hari menjadi 30 atau 45 hari saja. Hal ini penting untuk mengurangi kontak langsung antara calon dan masyarakat. Selain itu, juga dapat mengurangi beban kerja penyelenggara dalam mengawasi tahapan kampanye yang panjang.
Hal lainnya, memperpendek waktu kampanye dari 71 hari menjadi 30 atau 45 hari saja.
Pilihan lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengubah metode verifikasi faktual calon perorangan yang diatur dalam Pasal 48 Huruf (6) UU No 10/2016. Dalam pasal ini disebutkan bahwa verifikasi dilakukan dengan metode sensus dengan menemui langsung setiap pendukung calon menjadi verifikasi melalui sampel. Penyelenggara bisa juga menetapkan kuota sampel tertentu per unit administratif dengan menetapkan jumlah persentase berdasarkan distribusi dukungan calon perseorangan.
Dari sisi kandidat perlu dilakukan adaptasi-adaptasi, terutama bagaimana melakukan kampanye yang efisien dan efektif memanfaatkan teknologi informasi meski dalam batas-batas tertentu terjadi digital divide yang masih tinggi antardaerah di Indonesia.
Regulasi untuk menghindari kompetisi yang tak fair, seperti dikatakan Juri, dengan melarang kepala daerah merangkap sebagai ketua gugus tugas Covid-19 di daerah perlu direalisasikan, mengingat petahana dapat memanfaatkan distribusi dana bantuan sosial untuk mengurangi dampak negatif jika ia berkinerja buruk dalam penanganan Covid-19.
Akhirnya, pengaturan ulang jadwal pilkada dengan membagi tahapan keserentakan berdasarkan kondisi penyebaran Covid-19 di daerah adalah alternatif untuk menghindari munculnya kluster baru Covid-19 dalam tahapan pilkada.
Arya Fernandes, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS.
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 19 Juni 2020 di halaman 6 dengan judul “Mendesain Ulang Pilkada di Era Normal Baru” . https://kompas.id/baca/opini/2020/06/19/mendesain-ulang-pilkada-di-era-normal-baru/