September 13, 2024

Melindungi Hak Pilih dalam Kenormalan Baru

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang penundaan Pilkada 2020 telah ditandangani Presiden dan mencapai kesepakatan akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Di tengah situasi pertarungan melawan pandemi pelaksanaan pilkada menjadi tantangan besar bagi demokrasi elektoral Indonesia saat ini. Pilkada dalam Kenormalan Baru bukan saja dituntut menjaga kedaulatan pemilih namun juga perlu menjamin keselamatan dan kesehatan seluruh warga Negara. Dengan meminjam perkataan Cirero “Salus Populi Suprema Lex Exto”, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Singkat kata, problem utama elektoral di tengah pandemi adalah bagaimana praktik pilkada beradaptasi dalam pandemi. Melindungi seluruh hak dan kewajiban para pemilih merupakan tanggungjawab konstitusional penyelenggara negara. Pada sisi yang lain praktik elektoral harus menjalankan protokol kesehatan demi tercapainya keselamatan dan kesehatan demi berjalannya pilkada yang berdaulat dan berkualitas.

Dapat kita katakan, kenormalan baru telah memunculkan tatanan peradaban baru dalam menjalani pola kehidupan sosial. Sebut saja work from home (WFH), sosial distancing, dan physical distancing merupakan pola perilaku kehidupan di era new normal. Hal ini juga berdampak pada praktik penyelenggaraan pilkada yang mengedepankan standar kesehatan demi keamanan dan keselamatan diri warga negara.

Problem partisipasi dalam pandemi

Melihat potret global pemilu dalam pandemi, terdapat 70 negara yang bersiap menyelenggarakan pemilu di tengah wabah virus corona. Hasil laporan International Democracy and Electoral Assistance (IDEA) menunjukkan di beberapa Negara mengalami tren penurunan partisipasi pemilih. Pemilu di Australia (Queensland local election) pada 28 maret menunjukkan partisipasi menurun dari 83% ke angka 77,5%. Di Prancis pada 15 maret menunjukkan menurun partispasi pemilih dari 64% menjadi 44%. Di Iran pada 21 Februari, tingkat partisipasi turun dari 60% menjadi 42 %. Di Mali 29 Maret 2020 pemilu legislatif turun drastis sekitar 43% menjadi 7,5%. Pemilu Jerman (Bavaria local election) pada 15 maret menunjukkan penurunan partisipasi sebesar 58,3% menjadi 55%.

Namun yang menarik adalah pemilu Korea Selatan. Di saat pemilu dalam pandemi di negara lain mengalami penurunan partisipasi pemilih, Pemilu Korea Selatan 2020 mengalami peningkatan partisipasi pemilih.  Bahkan, angka partisipasi 71,9% merupakan yang tertinggi sejak 1992 (Media Indonesia.com). Dengan demikian, Korea Selatan menjadi negara yang dianggap berhasil melaksanakan pemilu dalam pandemi yang patut menjadi contoh dalam melaksanakan pilkada serentak di Indonesia.

Apabila kita kembali memeriksa sejarah pilkada serentak di Indonesia, dari laporan KPU pada Pilkada Serentak 2015 di 269 daerah menunjukkan partisipasi pemilih sebesar 70% secara nasional dengan jumlah total 96.165.966 pemilih di seluruh Indonesia (kompas.com). Pada pilkada serentak yang dilaksanakan pada 2017 di 101 daerah dengan partisipasi pemilih nasional sebesar 77,50% dari 41.205.115 pemilih di seluruh Indonesia (beritasatu.com). Dan pilkada serentak 2018 yang digelar 171 daerah partisipasi pemilih berada di angka 73,34% dengan jumlah pemilih 152.079.997 seluruh Indonesia.

Walaupun mengalami kenaikan beberapa tahun terakhir, namun pilkada serentak dalam kenormalan baru yang penuh ketidakpastian merupakan keadaan yang amat berbeda dari pilkada sebelumnya. Tantangan terbesarnya tentu saja partisipasi pemilih.

Risiko ancaman penularan wabah menjadi kekhawatiran dan berdampak pada kondisi psikologis warga negara. Kemungkinan ini jadi alasan partisipasi pemilih akan rendah dan berpengaruh terhadap kualitas demokrasi.

Pilkada serentak bisa menerapkan standar kesehatan melalui pola perilaku baru seperti social distancing dan phisycal distancing. Tapi, efek psikologis menjadi faktor berpengaruh. Apalagi dengan alasan munculnya kewaspadaan pemilih untuk menghindari kerumunan dan takut terinfeksi wabah. Hal ini akan menjadi pertimbangan para pemilih untuk tidak memberikan suaranya atau golput pada pilkada serentak nantinya.

Tahapan pilkada syarat akan interaksi dan berkumpul dengan banyak orang. Keadaan ini bisa dikatakan bertolak belakang dengan protokoler kesehatan yang berpengaruh terhadap jumlah partisipasi pemilih di hari pemungutan suara. Semua jadi tantangan besar pilkada serentak dalam kenormalan baru.

Mengubah metode pemungutan suara       

Mendorong partisipasi pemilih dalam kenormalan baru bukan hal yang mudah. Tentu diperlukan desain dan prosedur untuk meningkatkan kesadaran pemilih agar dapat berpartisipasi dengan mengikuti pola tatanan interaksi yang baru. KPU perlu mengakomodir, memberikan, menjamin, dan melindungi hak serta kewajiban seluruh warga negara dengan membentuk mekanisme pemungutan suara atau model voting yang lebih inklusif tanpa diskriminasi.

Diperlukan desain pemungutan suara yang melindungi suara pemilih serta berdampak pada meningkatnya partisipasi pemilih. Semua ini untuk menjaga kualitas pilkada serentak.

Metode pemungutan suara early voting bisa jadi pilihan. Pemungutan suara awal ini dapat dijadikan perhatian penting sebagai sebuah metode untuk mengatasi kemungkinan rendahnya partisipasi pemilih dalam kenormalan baru.

Secara terminology, early voting didefenisikan sebagai serangkaian mekanisme yang memungkinkan warga negara dapat memberikan suara (voting) secara langsung ke tempat pemungutan suara (TPS) sebelum pemilihan (ballotpedia.org). Sedangkan tujuan utama dari mekanisme metode early voting yaitu untuk mengakomodir hak pilih lebih luas dan memberikan kenyamanan yang lebih besar kepada seluruh pemilih. Yang lebih penting metode ini untuk meningkatkan partisipasi pemilih yang banyak dirugikan oleh hambatan-hambatan di hari pemilihan (Courtney 2010, Neeley & Richardson Jr 2010).

Keberhasilan Korea Selatan melaksanakan pemilu dalam pandemi salah satunya karena menggunakan mekanisme early voting. Penyelenggara pemilu memberikan kesempatan pada seluruh warga Korea Selatan untuk memilih lebih awal sebelum hari pemilihan (dunia.rmol.id).  Strategi ini bisa dikatakan sebagai upaya badan penyelenggara pemilu agar pemilih terhindar dari antrean panjang dan kerumunan warga yang kerap terjadi di TPS. Early voting dapat meminimalisir hambatan rendahnya partisipasi untuk warga negara yang menghindar dari kerumunan orang banyak.

KPU telah membuat kebijakan baru dengan mengurangi jumlah pemilih setiap TPS, dari 800 menjadi 500 pemilih. Namun, keadaan ini tetap saja ada kekhawatiran besar yaitu akan bertumpuknya massa pemilih di TPS pada hari pemilihan yang memiliki risiko besar terhadap penyebaran wabah.

Lebih lanjut, dengan early voting warga negara tidak lagi dihadapkan kekhawatiran berkumpul pada hari pemilihan. Namun ada opsi lain yakni KPU memberikan kesempatan kepada warga memilih pada H-6, H-4, dan H-2. Tentu saja pemilihan mengikuti pedoman kesehatan tim kesehatan yang dilibatkan KPU melakukan sterilisasi TPS pada H-5 dan H,3. []

AENAL FUAD ADAM

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Musamus Merauke