November 28, 2024

Mendesain Kelembagaan Penyelenggara Pemilu

Konstitusi Indonesia menyebut pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dalam praktiknya, “suatu komisi pemilihan umum” merujuk pada tiga lembaga—yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)—sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan hal tersebut dalam putusan Nomor 11/PUU-VIII/2010.

Kelembagaan KPU, Bawaslu, DKPP

Pascaputusan tersebut, Bawaslu dan DKPP menjadi lembaga yang punya sifat dan kedudukan yang setara dengan KPU. Ini memberi keleluasaan pada pembentuk undang-undang untuk terus mengutak-atik desain kelembagaan penyelenggara pemilu beserta kewenangannya masing-masing. Akibatnya, lembaga-lembaga ini seringkali berbeda pendapat dan saling berkompetisi untuk menjadi paling hebat dalam satu urusan: penyelenggaraan pemilu.

“Indonesia adalah negara dengan jumlah lembaga terbanyak yang ngurusin soal Pemilu,” kata Topo Santoso, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), pada kuliah umum berjudul “Paradoks Penegakan Hukum Pemilu di Indonesia” untuk memperingati usianya yang ke-50 (5/7).

Topo mencontohkan, KPU kerap disibukkan oleh panggilan-panggilan oleh Bawaslu ketika dianggap melanggar administrasi, dipanggil oleh DKPP ketika dianggap melanggar etik, atau bahkan dipanggil kepolisian ketika dianggap melakukan tindak pidana. Fokus KPU dalam menjalankan fungsi utama menyelenggarakan pemilu kerap harus terganggu oleh urusan yang mengharuskan KPU mempertahankan putusan dan keputusan dalam penyelenggaraan pemilu yang sebetulnya sudah merupakan kewenangan KPU.

Sementara Bawaslu juga dinilai tidak punya fokus yang jelas dalam sistem penegakan hukum pemilu. Ia mempunyai dua fungsi yang bertolak belakang. Di satu sisi, Bawaslu punya fungsi sebagai pemutus penyelesaian suatu sengketa proses dengan ajudikasi. Di sisi lain Bawaslu juga punya fungsi pengawasan yang bisa menemukan pelanggaran administrasi atau sengketa proses.

“Bayangkan kalau Bawaslu dalam pengawasan aktifnya menemukan ada suatu sengketa lalu diselesaikan sendiri melalui mediasi, ajudikasi, dan yang memutuskan bahwa ini pelanggaran itu dia sendiri,” kata Topo.

Dalam bukunya, Penegakan Hukum Pemilu (2006), Topo Santoso merekomendasikan untuk tidak mempertahankan lembaga pengawas pemilu dan menyerahkan fungsi pengawasan sepenuhnya ke publik. Ferry Kurnia Rizkiyansyah, pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), sejalan dengan gagasan ini. Menurutnya, pengawasan yang diserahkan kepada publik akan merangsang partisipasi politik publik dan juga inovasi.

Feri Amsari, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH Unand), memandang Bawaslu bisa bertransformasi menjadi peradilan Pemilu. Feri menjelaskan, jika sudah menjadi peradilan pemilu di bawah Mahkamah Agung, Bawaslu akan fokus pada peradilan dan tidak bisa menjadi penyelenggara pemilu. “Karena konstitusi kita tidak bisa kemudian mencampuradukkan lembaga peradilan dan lembaga penyelenggara Pemilu,” kata Feri Amsari saat menjadi pembicara dalam acara “Membedah Pemikiran Topo Santoso tentang Penanganan Pelanggaran dan Lembaga Penyelenggara Pemilu” (7/7).

Selain kelembagaan KPU dan Bawaslu, Topo Santoso juga memberi pandangan soal kewenangan DKPP yang menurutnya perlu dibatasi. DKPP tidak bisa menjerat individu atas keputusan yang sebetulnya diambil secara kolektif kolegial. Kontrol atas suatu keputusan cukup di pengadilan. Kewenangan menjerat pelanggaran etik cukup pada penyelenggara pemilu yang diduga bertemu atau menerima sesuatu dari peserta pemilu untuk mempengaruhi keputusan.

Menanggapi hal tersebut, Didik Supriyanto, anggota DKPP, menilai model kelembagaan etik idealnya sama dengan model yang ada pada lembaga lain. Ia mencontohkan majelis etik yang ada di Mahkamah Agung (MA). Meskipun di bawah MA, keputusan majelis etik itu bersifat final dan mengikat.

“Kelembagaannya sama saja dengan DKPP sekarang tapi dimasukkan lagi dalam KPU dan/atau Bawaslu dengan tupoksi yang jelas,” kata Didik Supriyanto, di acara “Membedah Pemikiran Topo Santoso tentang Penanganan Pelanggaran dan Lembaga Penyelenggara Pemilu” (7/7).

RUU Pemilu

Revisi Undang-undang Pemilu yang sedang berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah saat yang tepat untuk mendesain ulang kelembagaan penyelenggara pemilu. KPU, Bawaslu, dan DKPP harus mengambil momen ini untuk merefleksikan kembali bentuk dan kewenangannya. Sejalan dengan itu, para peneliti dan pegiat pemilu juga dituntut untuk mencermati isi dari draft Undang-undang Pemilu tersebut.

“Semua teman-teman stakeholder kepemiluan itu mesti berangkat dari memperbaiki kerangka hukum pemilu. Problem di pelaksanaan itu hanya akibat dari kerangka hukum yang tidak tepat,” tandas Topo.