Kampanye Pilkada yang dilakukan pada masa tidak pandemi Covid-19 tentu sangat berbeda. Kampanye bisa dilakukan terbuka dengan mengumpulkan masa dan partai politik yang mendukung dengan tidak melanggar peraturan undang-undangan. Dalam kampanye terbuka hendaknya menyampaikan visi, misi, maupun program-program. Kampanye bukan berarti menjelek-jelekkan pasangan lain atau hal yang menimbulkan isu SARA apalagi pengerahan massa yang dibayar dengan sejumlah duit.
Oleh karena itu aktifitas kampanye yang dilakukan sebaiknya mampu lebih efektif dan efisien, serta mendidik masyarakat. Sebab kondisi yang terjadi saat ini dalam pelaksanaan kampanye terbuka lebih banyak menampilkan unsur hiburan dibandingkan memberikan pendidikan politik. Masyarakat juga menjadi terbiasa bersifat pragmatis, asal ada amplopnya mereka mau datang begitupun sebaliknya. Ini kan menjadi penyakit dari pemilu ke pemilu. Politik uang, membawa anak-anak berkampanye, dan isu SARA harus dihindari.
Masyarakat pada saat kampanye akan selalu melihat figur. Siapa yang datang? Apakah mereka mengenal atau tidak? Belum lagi pertanyaan pertanyaan ada duitnya nggak? Atau siapa artis penghiburnya? Ketika penyampaian visi dan misi justru masyarakat terkesan acuh tak acuh. Seharusnya kampanye terbuka ini menjadi momentum mendekatkan calon kepala daerah dengan pemilihnya, termasuk mengenalkan aktivitas dan kerja yang sudah dilakukan sehingga mendidik menjadi pemilih yang cerdas.
Harus diakui bahwa dalam situasi yang tidak normal seperti saat ini, pelaksanaan kampanye bagi calon atau peserta pilkada adalah hal yang tidak mudah dilakukan. Keterbatasan waktu sulit tidak mendukungnya situasi, jelas membuat calon kesulitan mengumpulkan massa. Padahal, kampanye dalam proses elektoral di Indonesia identik dengan pengumpulan massa.
Maka sebab itu, pilihan kampanye saat ini menjadi hal krusial untuk dibahas. Ini termasuk aturan kampanye di media sosial di mana calon akan diberi kesempatan luas berkampanye tanpa mengumpulkan massa.
Pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi ini harus bisa mendorong para calon kepala daerah untuk berkampanye secara simbolik dan tanpa melakukan mobilisasi massa. Penggunaan aplikasi teknologi akan sangat membantu proses kampanye tanpa dilakukan dengan tatap muka dengan kerumunan massa dalam jumlah besar. Karena itu, calon kepala daerah harus mulai terbiasa dengan cara ini. Pandemi COVID-19 ini bisa dijadikan sebagai momentum kebangkitan kampanye narasi yang dipenuhi dengan ide dan gagasan yang didialogkan secara santai dan nyaman.
Media sosial dipastikan menjadi pilihan sebagai jembatan komunikasi efektif. Hindari fitnah dan saling mencela serta kedepankan etika dan kesantunan. Hanya dengan cara ini kita benar-benar hendak menciptakan pemilih-pemilih yang cerdas. Begitupun dengan pendidikan politik yang harus dilakukan dengan menunjuk personil tertentu yang berkompeten. Mereka harus dapat menjadi pemandu dalam kerangka keikutsertaan dalam pemilu sehingga mewujudkan masyarakat yang memahami tujuan pemilu/pilkada sekaligus menjadi masyarakat sadar politik.
Semua elemen harus menyadari bahwa pilkada yang akan melahirkan pemimpin berkualitas adalah pilkada yang menghadirkan “perang program” serta adu visi dan misi. Berbeda pilihan adalah hakikat dari proses demokrasi. Namun perbedaan itu kita yakini akan membawa kebaikan jika lahir dari para pemilih yang cerdas, yang tidak mengingkari kemajemukan.
Pemilih cerdas
Pemilih yang cerdas adalah mereka yang memiliki sejumlah karakteristik perilaku memilih pemimpin. Pertama, antipolitik uang. Pemilih yang menentukan pilihannya tidak karena motif imbalan materi atau menerima suap sejumlah uang atau pun bentuk material lainnya dari pihak atau paslon tertentu. Namun, pilihannya didasarkan atas ketajaman dan kejernihan hati nuraninya. Iming-iming sejumlah uang bagi pemilih tipe ini hanya dipandang sebagai “godaan iman” yang segera berlalu, kemudian segera “bertaubat” untuk kembali mengikuti suara hati nuraninya.
Kedua, tidak asal pilih. Pemilih menentukan calon pemimpin daerahnya tidak sekedar menggugurkan hak/kewajiban-nya sebagai warga daerah. Pemilih secara bertanggung jawab memperhitungkan dengan matang serta pilihannya yang diyakini mampu membawa kemajuan, kemaslahatan daerahnya.
Ketiga, visi, misi dan platform yang diusung partai/koalisi partai dan calon kepala daerah, menjadi pertimbangan utama untuk memutuskan pilihan. Sehingga, hanya calon kepala daerah yang memiliki visi dan misi yang logis dan membumi yang dipilih. Karena tipologi calon seperti itu biasanya akan menghindari jebakan janji-janji politik yang berlebihan serta abai terhadap realitas di lapangan.
Keempat, pemilih yang belajar dari pengalaman empiris. Ini penting karena banyaknya pejabat daerah yang tersandung kasus pidana korupsi.
Marilah kita kembali pada prinsip dasar demokrasi. Mari bersaing secara sehat. Mari pula kita kembali pada nilai-nilai keadilan dan kejujuran serta etika politik untuk mempertahankan Indonesia dengan segala sifat baiknya. []
SAPARUDDIN
Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Daerah Pasaman