Rekayasa penyederhanaan partai politik melalui sistem pemilu proporsional mengalami kegagalan. Beralih ke sistem pemilu campuran perlu mulai dipertimbangkan.
Sistem pemilu proporsional yang dianut Indonesia selalu menghasilkan sistem kepartaian multipartai ekstrem—terdapat lebih dari lima partai di parlemen. Hasil penelitian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memperlihatkan angka Effective Number of Parties in Parlemen (ENPP) dari pemilu ke pemilu selalu berada pada kategori multipartai ekstrem. Angka ENPP pada Pemilu 2014 menunjukkan angka 8.2 sementara pada Pemilu 2019 angka ENPP tercatat 7.5. Ini tidak jauh berbeda dengan Pemilu 2004 dan 2009 yang angka ENPP-nya berkisar di angka 6 dan 7—masih dalam kategori multipartai ekstrem.
Tidak ada pula partai pemenang mayoritas minimal—partai yang meraih kursi lebih dari 25 persen. Sistem proporsional yang telah diterapkan dalam lima kali pemilu selalu menghasilkan pemenang pemilu yang persentase raihan kursinya stagnan pada angka maksimal 21 persen.
Dua hal tersebut mengganggu jalannya penyelenggaraan sistem pemerintahan presidensial. Studi Sartori (1976) mengungkap sistem kepartaian multipartai ekstrem menghasilkan polarisasi dimana perdebatan antara partai politik bersifat fundamental akibat rentang ideology partai yang berjauhan dan tersebar ke banyak partai politik sehingga menghasilkan fragmentasi politik.
Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (P2P LIPI) merekomendasikan agar Indonesia mulai melirik sistem lain yang mampu menyederhanakan partai politik secara alamiah sekaligus mendorong partai pemenang pemilu secara minimal sebagai salah satu syarat penguatan sistem presidensial. Sistem proporsional sudah tidak bisa digunakan untuk merekayasa sistem kepartaian.
“Pemilu dengan sistem proporsional sudah stabil. Kita akan mengalami kesulitan kalau skema proporsional ini digunakan untuk upaya penyederhanaan partai. Karena jumlah partai yang akan dihasilkan oleh sistem pemilu proporsional ini rata-rata ENPP 8-9 partai. Kita akan selalu masuk pada kategori multipartai ekstrem,” kata Moch. Nurhasim, peneliti senior P2P LIPI (30/9).
LIPI merekomendasikan sistem pemilu campuran atau paralel dalam buku Adaptasi Sistem Pemilu Paralel bagi Indonesia. Buku itu memuat kumpulan naskah hasil riset yang sudah dijalankan LIPI selama tiga tahun.
Sistem pemilu campuran pada dasarnya adalah memilih anggota parlemen dimana sebagian dipilih melalui sistem proporsional dan sebagian dipilih melalui sistem mayoritarian. Sistem pemilu campuran ini disebut-sebut mampu menggabungkan kelebihan dari dua sistem sekaligus. Dia akan mendorong kebaikan dari sistem proporsional dan di sisi lain juga akan menerapkan tingkat kebaikan dari sistem mayoritarian.
“Gabungan dari keunggulan dua sistem ini yang diterapkan pada pemilu campuran,” tegas Moch. Nurhasim, peneliti senior P2P LIPI, pada acara bedah buku Adaptasi Sistem Pemilu Paralel bagi Indonesia (30/9).
Cara kerja sistem pemilu campuran
Sistem pemilu campuran ini ada dua yaitu mixed member proportional (MMP) dan mixed member majoritarian (MMM). Dalam sistem pemilu campuran, proporsional yang digunakan adalah proporsional tertutup. Sejumlah negara yang menerapkan sistem campuran pasti menggunakan proporsional tertutup. Kombinasi dengan proporsional terbuka hampir tidak ada. Memilih calon akan dilakukan melalui sistem mayoritarian.
Cara kerja sistem ini pada tahap pertama adalah menentukan proporsi kursi parlemen. Berapa proporsi parlemen yang akan dipilih melalui sistem proporsonal dan melalui sistem mayoritarian. Pilihan pembagian kursi antara proporsional dan mayoritarian bisa berbeda-beda—bisa 70-30, 60-40, 50-50, dan lain-lain. Kebutuhan ini bergantung dari tujuan untuk apa sebenarnya pemilu campuran itu dilakukan.
Pada tahap kedua adalah menentukan atau menetapkan rumus konversi suara khususnya untuk proporsional tertutup—apakah menggunakan kuota atau divisor. Untuk mayoritarian, konversi suara bisa menggunakan majority, winner takes all, plurality, atau yang lain.
Tahap ketiga menentukan apaka perlu ada kompensasi atau tidak. “Jadi sistemnya menggunakan kompensasi dalam pengertian kalau ada partai yang memperoleh proporsional jumlah tertentu atau ditentukan 10 persen tapi dia tidak memperoleh kursi distrik atau mayoritarian maka dia harus diberikan kompensasi sejumlah dengan perolehan proporsionalnya. MMP dengan kompensasi ini sangat rumit dan kompleks,” jelas Moch. Nurhasim.
Tahap keempat adalah menentukan cara pemilihan. Cara pemilihan akan membedakan mana sistem yang akan diterapkan—apakah MMP atau MMM. Perbedaannya, MMP membolehkan pemilih memilih partai manapun di proporsional dan juga diberi keleluasaan untuk memilih partai manapun di mayoritarian. Pada sistem MMM, pemilih memilih partai manapun di proporsional tetapi pada mayoritarian diwajibkan untuk memilih calon dari partai yang dia pilih di proporsional.
Simulasi
LIPI, dalam buku tersebut, mensimulasi penerapan sistem pemilu campuran ini dengan menggunakan data hasil pemilu 2009 dan 2014. Desain besarnya, dari 560 kursi, 70 persen dipilih melalui proporsional tertutup dan 30 persen dipilih melalui mayoritarian. Kursi yang dipilih melalui proporsional berjumlah 392 dan kursi yang dipilih melalui distrik berjumlah 168.
Rincian lain, distribusi kuota kursi proporsional ke provinsi menggunakan 3-10 seperti yang berlaku pada pemilu 2009 dan 2014. Distribusi kuota kursi mayoritarian ke setiap provinsi. Rumus penentuan kuota kursi serta konversi suara proporsional menggunakan d’Hondt divisor. Kemudian pada simulasi ambang batas parlemen tidak diberlakukan.
“Hasilnya ada perubahan. Simulasi dengan menggunakan hasil pemilu 2009 itu menunjukkan ada perbedaan tingkat hasil. Demikian pula dengan simulasi menggunakan hasil pemilu 2014. Sistem pemilu paralel itu punya potensi untuk bisa menyederhanakan dan mendorong partai memiliki kekuatan mayoritas minimal di parlemen,” tegas Moch. Nurhasim.
Partai mayoritas minimal muncul ketika sistem campuran diterapkan pada pemilu 2014 dengan perolehan kursi 26.1 persen. Hasil pemilu 2014 dengan menggunakan sistem proporsional, partai mayoritas minimal tidak ada. Di pemilu 2009, dua partai mayoritas minimal muncul dengan raihan kursi 34.3 persen dan 26.4 persen. Hasil pemilu 2009 dengan menggunakan sistem proporsional, hanya memunculkan satu partai mayoritas minimal dengan raihan kursi 26.78 persen.
Penyederhanaan partai juga terjadi secara alamiah. Nilai ENPP di pemilu 2009 6.1 tetapi ketika simulasi paralel dijalankan, nilai ENPP menjadi 4.3. Di Pemilu 2014 nilai ENPP mencapai 8.1 tetapi bisa jadi 6.3 ketika sistem pemilu paralel diterapkan.
Litbang Kompas juga melakukan simulasi sistem campuran ini. Bedanya, Kompas menggunakan basis data pemilu 2019. Hasilnya, perubahan perolehan kursi terjadi jika membandingkan kedua sistem pemilu ketika diterapkan pada hasil pemilu 2019. Partai-partai papan atas mengalami perubahan positif dengan penambahan kursi.
Sistem pemilu campuran lebih membuka peluang munculnya partai politik dengan kursi mayoritas minimal. Hal ini tidak terjadi di penerapan sistem pemilu proporsional murni selama ini, setidaknya sejak pemilu 2004.
“Dengan munculnya partai dengan kursi mayoritas minimal akan membuka peluang penyederhanaan partai politik di parlemen. Hal ini akan mendukung sistem presidensial karena akan terbentuk partai mayoritas utama yang akan memudahkan pengambilan keputusan bagi seorang presiden dan kabinetnya tanpa menghadapi kendala akibat adanya koalisi partai yang paragmatis akibat tidak adanya partai mayoritas utama,” kata Yohan Wahyu, peneliti Litbang Kompas (30/9).