November 27, 2024

Pilkada 2020: Taruhan Reputasi OLEH R SITI ZUHRO

Di tengah desakan kuat rakyat akan penundaan pilkada serentak 9 Desember 2020, DPR dan pemerintah tetap bergeming. Pemerintah sepertinya yakin tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena akan ada penegakan hukum keras bagi pelanggar protokol kesehatan, mulai dari teguran hingga ancaman diskualifikasi. Keyakinan ini diragukan banyak pihak: Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Komnas HAM, akademisi, aktivis pemilu/pilkada, Komite 1 DPD, NU, dan Muhammadiyah.

Pertama, Covid-19 belum mencapai puncaknya, makin meluas, dan tersebar di semua provinsi. Jumlah korban terus bertambah. Kedua, pilkada adalah bentuk kontestasi yang melibatkan rakyat secara langsung sehingga dapat dipastikan akan ada peningkatan pergerakan penduduk yang signifikan.

Sementara secara medis ada korelasi positif antara naiknya mobilitas penduduk dan tingginya penambahan kasus positif Covid-19 sehingga besar kemungkinan akan muncul kluster pilkada sebagaimana peringatan yang pernah disampaikan Presiden Joko Widodo.

Keraguan publik kepada pemerintah dalam menegakkan peraturan protokol kesehatan cukup berdasar. Jauh sebelum masa kampanye, data Kemendagri per 8 September 2020 menyebutkan, ada 69 calon kepala/wakil kepala daerah yang mendapat teguran karena melanggar protokol kesehatan saat tahapan pilkada. Saat pendaftaran, 260 dari 650 bakal paslon melanggar protokol kesehatan.

Di tengah desakan kuat rakyat akan penundaan pilkada serentak 9 Desember 2020, DPR dan pemerintah tetap bergeming.

Lalu bagaimana jadinya dengan masa kampanye hingga masa tahapan pemilihan dan penetapan pemenang pilkada? Oleh karena itu, kebijakan untuk tetap melaksanakan pilkada merupakan taruhan reputasi besar bagi pemerintah. Tanpa pilkada saja, dampak Covid-19, khususnya di bidang ekonomi, telah membuat kepercayaan rakyat pada pemerintah turun.

Bukan sekadar ritual

Sebagai pilar penting demokrasi, idealnya pilkada mampu menghasilkan proses konsolidasi demokrasi dan mampu mewujudkan demokrasi yang semakin sehat dan bermartabat bagi daerah. Dengan itu diharapkan lahir pemimpin terpilih yang berkualitas dan mampu memperbaiki tata kelola pemerintahan daerahnya. Sayang jika pilkada yang berbiaya mahal hanya melahirkan demokrasi prosedural dan penguasa.

Sejauh ini proses konsolidasi demokrasi melalui pilkada langsung serentak sulit terwujud karena reformasi dan pelembagaan partai belum memadai sehingga rentan terhadap konflik internal. Selain itu, parpol juga masih belum mampu merespons tuntutan publik yang sangat dinamis, termasuk era disrupsi yang penuh ketidakpastian sekarang ini.

Sebagai sarana komunikasi politik, dalam konteks pilkada, parpol punya tanggung jawab untuk turut menciptakan pilkada yang aspiratif, partisipatif, transparan, dan akuntabel. Bukan yang elitis dan mem-fait accompli rakyat untuk memilih pilihan elite. Karena semestinya parpol jadi kepanjangan tangan rakyat dan sejatinya rakyatlah pemilik pilkada dan pihak yang paling berkepentingan dengan proses suksesi pemimpinnya.

Dengan kompleksitas masalah yang dihadapi pilkada tahun ini, permasalahan krusial yang patut dicermati adalah bagaimana membangun reputasi pemerintah dan parpol. Bagi parpol, Pilkada 2020 penting dalam konteks Pemilu 2024.

Karena semestinya parpol jadi kepanjangan tangan rakyat dan sejatinya rakyatlah pemilik pilkada dan pihak yang paling berkepentingan dengan proses suksesi pemimpinnya.

Pilkada via DPRD

Di tengah Covid-19 yang masih meluas, rakyat berharap pemerintah bisa menunjukkan empati kuat akan nasib kesehatan dan keselamatan rakyat. Pemerintah perlu mempertimbangkan pentingnya penundaan pilkada hingga batas waktu yang layak menurut pakar kesehatan yang memang punya otoritas soal pandemi ini.

Di era disrupsi yang penuh ketakpastian, pemerintah harus mengedepankan kebijakan berbasis sains sehingga keputusannya rasional, bermanfaat (tak kontroversial), lebih terukur, dan bisa dipertanggungjawabkan ke publik.

Jika pandemi belum juga bisa dikendalikan setelah batas penundaan, sebagai jalan tengah rakyat dan pemerintah perlu mencari bentuk pilkada lain yang tak mengundang banyak kerumunan. Dalam konteks ini, sebenarnya prinsip memilih kepala daerah sudah dipayungi secara hukum di Konstitusi. UUD 1945 Pasal 18 Ayat (4): ”Gubernur, Bupati, dan Wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.

Di tengah Covid-19 yang masih meluas, rakyat berharap pemerintah bisa menunjukkan empati kuat akan nasib kesehatan dan keselamatan rakyat.

Jelas sekali konstitusi secara eksplisit tidak menyebutkan pilkada langsung atau pilkada langsung serentak maupun pilkada tak langsung. Titik tekan amanat konstitusi adalah ”dipilih secara demokratis”. Artinya, tidak mempermasalahkan mekanisme yang digunakan.

Karena pilkada pilar penting demokrasi daerah, mekanisme pilkada yang diterapkan di daerah harus memberikan korelasi positif dan bermanfaat. Bukan sebaliknya, malah menggerus nilai-nilai budaya lokal atau bahkan sering abai pada nilai-nilai penting Pancasila.

Pengalaman empirik selama ini menunjukkan banyak praktik pilkada yang bersifat distortif dan memunculkan konflik sosial, kerusuhan, dan menghasilkan bad governance atau divided governance, pemerintahan yang tidak efektif. Pilkada langsung dan tak langsung masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan serta dampaknya.

Pilkada langsung melibatkan masyarakat langsung (demokrasi partisipatoris), sedangkan pilkada via DPRD melibatkan wakil rakyat (demokrasi perwakilan). Karena itu, pilkada via DPRD kiranya patut dipertimbangkan jadi solusi jalan tengah karena sifatnya lebih mengurangi pergerakan rakyat ketimbang pilkada langsung. Sekali lagi, ini dalam konteks darurat kesehatan seperti saat ini.

Wacana pilkada via DPRD sebetulnya bukan hal baru dan pernah disuarakan NU (2012) dan Muhammadiyah (2014). Alasannya bukan karena pandemi, melainkan karena pilkada langsung dinilai lebih banyak mudarat ketimbang pilkada via DPRD. Salah satunya, maraknya korupsi kepala daerah.

Sebagai alternatif di masa darurat Covid-19, bentuk pilkada via DPRD cenderung lebih compatible (berkesesuaian) karena tak mengundang banyak kerumunan. Akan tetapi, untuk itu, perlu dibuat ketentuan pilkada via DPRD yang mampu menyerap aspirasi rakyat.

Bangsa Indonesia harus bijak dalam menetapkan keputusan pilkada, khususnya, terhadap masalah kemanusiaan (nyawa manusia) dan harmoni sosial di daerah. Jika pilkada serentak memang untuk rakyat, keberpihakan pada isu kemanusiaan dan krisis kesehatan harus mengedepan. Suara, aspirasi, dan kepentingan rakyat mesti diutamakan. Bukan sebaliknya, kepentingan elitenya saja atau pertimbangan keuntungan ekonomi dan kekuasaan belaka.

R Siti Zuhro, Profesor Riset LIPI.

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2020 di halaman 7 dengan judul “Pilkada 2020: Taruhan Reputasi” https://www.kompas.id/baca/opini/2020/10/05/pilkada-2020-taruhan-reputasi/