August 8, 2024

Risiko-risiko Kampanye di Media Sosial dan Pedoman Etik untuk Pilkada 2020

Hari-hari ini dan beberapa minggu ke depan adalah waktu yang sangat krusial dalam tahapan kampanye Pilkada 2020. Sebab, dalam rentang waktu dua minggu ke depan iklan kampanye di media sosial itu baru diperbolehkan, meskipun iklan kampanye itu sudah banyak beredar sebelum waktu yang ditentukan. Selain iklan kampanye, metode kampanye lain juga akan kian gencar seiring makin dekatnya hari pemungutan suara 9 Desember 2020.

Sembilan risiko paling rentan

Terdapat sembilan risiko yang paling rentan yang berpotensi terjadi—atau mungkin sudah terjadi—di media sosial dalam tahapan kampanye Pilkada 2020 ini. Risiko ini dipetakan berdasarkan penilaian terhadap dua indikator. Indikator yang digunakan untuk menilai adalah, pertama, kemungkinan untuk diatasi melalui kebijakan, inisiatif, dan konsensus yang sudah ada. Kedua, dampaknya terhadap kredibilitas dan kualitas demokrasi.

Sembilan risiko itu adalah, pertama, penyebaran hoaks, berita palsu, dan disinformasi yang sengaja dibuat-buat dan disamarkan sebagai kebenaran. Kedua, misinformasi atau informasi keliru yang tidak dimaksudkan untuk menyesatkan tetapi tersebar dan berpotensi menurunkan integritas dan kredibilitas penyelenggaraan pemilu. Ketiga, perilaku non-autentik yang terkoordinasi (coordinated inauthentic behavior) dengan menggunakan akun palsu/anonim yang terkoordinasi untuk menyesatkan pengguna platform media sosial. Keempat, kampanye hitam terkoordinasi yang bertujuan untuk merusak reputasi lawan dengan menyerang personal. Kelima, penggunaan bot atau sistem yang mensimulasikan manusia untuk mengarahkan topik yang sedang tren. Keenam, influencers maupun buzzers yang mendorong topik/isu tertentu agar populer. Ketujuh, aliran dana kampanye yang tidak transparan, khususnya terkait dengan belanja iklan di media sosial yang memungkinkan penargetan mikro (micro-targeting). Kedelapan, promosi “atmosfer polarisasi” yang mendorong politik identitas. Kesembilan, penggunaan akun palsu/anonim.

Sementara itu, regulasi yang ada saat ini belum memadai untuk menanggulangi sembilan risiko ini. UU Pilkada hanya mengatur larangan secara umum—tidak khusus di media sosial. Pasal 69, misalnya, hanya mengatur larangan kampanye seperti mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan; dan ketentuan lain. Di regulasi yang lebih teknis seperti Peraturan Komisi Pemilihan Umum, pengaturan masih berkaitan dengan teknis seperti pendaftaran akun, larangan beriklan di waktu tertentu, jumlah iklan, dan lain-lain.

Pedoman etik kampanye politik di media sosial

Oleh karena tidak adanya regulasi yang memadai ini, pedoman etik kampanye politik di media sosial dibutuhkan sebagai solusi taktis mengisi celah hukum agar dapat menanggulangi risiko tersebut. Pedoman etik ini adalah dorongan moral yang jika dibandingkan dengan regulasi memang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga tidak bersifat memaksa.

Oleh karena sifatnya yang tidak memaksa itu, keterlibatan dari berbagai pihak untuk saling menjaga, memantau, dan memastikan pemenuhan pedoman etik menjadi sangat krusial. Tanpa mendiskreditkan kebijakan dan kesepakatan yang telah ada, pedoman etik dibuat dan didasari dari kebijakan dan kesepakatan yang ada sebagai pelengkap yang diadopsi sebagai komitmen multipihak dalam rangka mitigasi risiko media sosial dalam kampanye politik.

Beberapa pihak mungkin akan memandang terlalu terlambat menyusun pedoman ini agar bisa dijadikan kesepakatan dan bisa ditandatangani oleh multipihak—kandidat, platform media sosial, penyelenggara pemilu, media, masyarakat sipil—sebagai komitmen bersama.

Namun, meskipun tidak bisa ditandatangani multipihak, pedoman ini tetap penting disampaikan kepada publik untuk menumbuhkan kesadaran bahwa ada risiko yang jika terjadi—atau bahkan sudah terjadi—akan sangat membahayakan demokrasi. Bahwa risiko-risiko ini menjadi urgent call bagi pembuat kebijakan—anjuran agar kampanye itu berpindah ke media sosial semata-mata untuk menghindari kerumunan masa di lapangan itu tidak cukup tanpa menyiapkan aturan yang jelas yang bisa memitigasi risiko-risiko yang mungkin terjadi di media sosial.

Pedoman ini bisa jadi panduan bagi semua pihak agar kampanye di media sosial itu beretika, terutama untuk Pilkada 2020 ini. Tentu inisiatif ini juga tidak boleh berhenti hanya di Pilkada 2020. Pedoman ini mudah-mudahan bisa menjadi embrio untuk pengaturan media sosial terutama yang digunakan pada saat kampanye—bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi tapi menjadikan media sosial itu ruang yang sehat bagi pemilih mengakses atau mendapatkan informasi yang setara dan juga jelas tentang penyelenggaraan pemilu maupun kandidat-kandidat yang akan mereka pilih agar demokrasi ke depan tetap dan makin sehat.

MAHARDDHIKA
Peneliti Perludem dan Pengelola Rumah Pemilu