DEMOKRASI telah menjadi pilihan yang terinternalisasi dalam berbagai sendi tata kelola pemerintahan kita. Tidak hanya ditandai perhelatan pemilu setiap lima tahun sekali, tapi juga menjadi bagian dari sistem nilai untuk membangun suatu sistem politik yang berdasarkan pada prinsip-prinsp kebebasan, dan kesetaraan untuk semua orang (Tomas Meyer, 2020).
Oleh karena itu, demokrasi harus ditopang seperangkat sistem hukum agar demokrasi tidak tergelincir dan sebatas menjadi alat legitimasi kepentingan suara terbanyak, yang bisa menegasikan martabat manusia ataupun pemenuhan hak-hak kelompok rentan.
Sayangnya, demokrasi masih menghadapi tantangan berupa pemerintahan yang belum bebas dari korupsi dan kesetaraan gender, yang masih jauh dari kondisi minimal. Berdasar data International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA), melalui Global State of Democracy Index yang dirilis akhir 2019, dengan kecepatan kemajuan 10 tahun terakhir, dibutuhkan 45 tahun lagi, untuk mencapai paritas gender di parlemen. Saat ini, secara rata-rata, hanya 24% kursi parlemen di dunia yang diduduki perempuan.
Animo meningkat
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk mengejar capaian keterwakilan politik perempuan dalam mengisi berbagai posisi publik dan pemerintahan yang ada. Apalagi, saat ini, kita sedang mempersiapkan agenda besar pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota di 270 daerah pada 9 Desember mendatang.
Data KPU merilis, sebanyak 159 perempuan maju sebagai kontestan pilkada dari total 1.482 calon yang ada, atau setara 10,73%. Meliputi 2 calon gubernur, 3 calon wakil gubernur, 70 calon bupati, 58 calon wakil bupati, 15 calon wali kota, dan 11 calon wakil wali kota.
Meskipun pemilihan terlaksana di masa pandemi, ternyata ada peningkatan jumlah perempuan yang menguji peluang politik mereka di Pilkada 2020. Meski tidak banyak, angka itu melampuai jumlah perempuan calon di pilkada-pilkada sebelumnya (2015, 2017, dan 2018).
Animo politik perempuan yang meningkat mutlak dibarengi upaya sungguh-sungguh dari negara dan seluruh pemangku kepentingan untuk menghadirkan kompetisi yang jujur, adil, dan demokratis. Jaminan sistem hukum yang terefl eksi dalam pengawasan dan penegakan hukum pemilihan yang berkeadilan harus dipastikan hadir dari organ-organ penyelenggara dan penegak hukum yang terlibat dalam prosesnya.
Sementara itu, dari daftar pemilih tetap yang dirilis KPU pada 27 Oktober lalu, di Pilkada 2020 terdapat sebanyak 100.359.152 pemilih. Terdiri atas 50.164.426 jiwa atau 49,98% pemilih laki-laki dan 50.194.726 jiwa atau 50,02% pemilih perempuan. Artinya, perempuan melampaui setengah dari jumlah pemilih Pilkada 2020.
Ini modalitas bagi praktik demokrasi elektoral Indonesia sebab berdasar pengalaman pemilu dan pilkada terdahulu, perempuan menunjukkan loyalitas lebih tinggi untuk menggunakan hak pilih mereka daripada pemilih laki-laki. Misalnya, pada Pemilu Presiden 2019, dari total 158.012.499 pengguna hak pilih, sebanyak 80.849.808 (51,17%) di antaranya ialah perempuan. Jadi, tantangan besarnya ialah bagaimana memastikan loyalitas partisipasi politik perempuan ini menjadi suatu yang bermakna dan tidak dicurangi, atau dimanipulasi pihak mana pun.
Keadilan elektoral
Konsep keadilan elektoral (electoral justice) merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilihan yang bebas, adil, dan jujur (International IDEA, 2020).
Keadilan elektoral didesain untuk menjamin bahwa setiap tindakan, prosedur, dan keputusan terkait dengan proses pemilu sesuai dengan kerangka hukum; melindungi atau memulihkan hak pilih, dan memungkinkan warga yang meyakini bahwa hak pilih mereka telah dilanggar untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan mendapatkan putusan.
Konsep keadilan elektoral itu sangat krusial bagi eksistensi perempuan politikus (calon, tim kampanye, atau relawan), perempuan penyelenggara pemilihan, maupun pemilih perempuan. Itu disebabkan kecurangan atau pelanggaran pemilihan yang terjadi berpengaruh dan punya dampak lebih besar terhadap kelompok perempuan.
Sebut saja, perempuan sebagai calon, mereka kebanyakan hadir dengan limitasi modal, dengan kecenderungan politik etis yang lebih dominan untuk berkompetisi sesuai dengan aturan main dan etika politik yang ada. Kecurangan dan manipulasi pemilihan sangat mencederai kesempatan perempuan untuk mengakses kompetisi yang adil dan setara.
Selain itu, proteksi terhadap pemilih perempuan untuk menjadi pemilih yang mandiri, bebas dari kebohongan, intimidasi, pengaruh yang menyesatkan, dan tekanan dalam bentuk apa pun merupakan keniscayaan yang harus dihadirkan negara.
Tujuannya agar suara perempuan hadir sesuai dengan kemurnian kehendaknya. Karena itu, keadilan elektoral harus jadi komitmen yang mampu dihadirkan penuh oleh elemen negara, yang menjadi bagian dalam pengawasan dan penegakan hukum pemilihan.
Pengawas diharapkan memiliki perspektif yang memadai untuk memberikan rasa aman dan perlin dungan pada perempuan atas ha dirnya pemilihan yang bebas dan adil. Selain itu, aparat penegak hukum mampu menghadirkan penegakan hukum pemilihan secara proporsional dan adil tanpa melemahkan partisipasi politik perempuan.
Afirmasi bisa dihadirkan pengawas pemilihan, misalnya dengan menyediakan layanan pengaduan dan pelaporan pelanggaran ramah perempuan. Kecenderungannya selama ini ada keengganan dari pemilih dan perempuan calon untuk melaporkan pelanggaran pemilihan karena merasa laporan mereka akan mengganggu kohesi sosial dan bisa memperburuk relasi personal dan keluarganya dengan lingkungan sekitar mereka.
Sistem hukum pemilihan yang ada pun dianggap belum memberikan jaminan rasa aman terhadap potensi munculnya gangguan dan intimidasi sebagai ekses dari laporan yang mereka buat itu. Karena itu, sosialisasi dan upaya afi rmasi menyediakan prosedur yang inklusif bagi perempuan perlu dihadirkan bukan sebagai bentuk diskriminasi, melainkan wujud kehadiran negara untuk melindungi mereka yang jadi bagian kelompok rentan guna mendapatkan keadilan dan kesetaraan perlakuan.
Dengan demikian, saat keadilan elektoral terwujud, perempuan akan makin percaya bahwa demokrasi ha dir dan tidak meninggalkan mereka.
TITI ANGGRAINI
Dewan Pakar Kaukus Perempuan Politik Indonesia, Pembina Perludem
Dikliping dari artikel yang terbit di https://m.mediaindonesia.com/opini/365905/perempuan-dan-keadilan-elektoral